Jakarta – Waria (lakuran dari kata wanita dan pria) atau Wadam (lakuran dari kata Hawa dan Adam) adalah laki-laki yang lebih suka berperan sebagai perempuan dalam kehidupan sehari-harinya.
Secara fisik, terlihat laki-laki karena memiliki alat kelamin layaknya laki-laki. Tetapi dalam laku atau mengekspresikan identitas gendernya nampak sebagai perempuan. Namun demikian, tidak semua Waria dapat diasosiasikan sebagai homoseksual. Pilihan menjadi Waria sama sekali tidak berhubungan dengan kondisi biologis (seksual), melainkan berhubungan dengan “kebutuhan” untuk mengekspresikan identitas gendernya.
Bersamaan dengan itu, seakan menempel “stigma”, Waria yang dianggap melanggar kodrat Tuhan. Dilihat dari Chanal YouTube katolikana, yang mengadirkan pembawa acara Jempa dan Tata, membahas tema “Waria di Mata Gereja: Sudah Sama atau Masih Berbeda” dengan nada tanya, yang ditayangkan, Minggu (16/5/2021).
Tema yang sudah menarik ini, dibuat makin menarik dengan mengadirkan dua narasumber, mewakili Gereja Katolik, Rm. Alexius Andang L. Binawan, SJ, yang juga seorang Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta Pusat. Dan, Ketua Komunitas Transpuan Fajar Sikka, Hendrika Mayora Victoria.
Jempa dan Tata membuat acara begitu menarik dengan pertanyaan – pertanyaan yang mewakili keinginan tahuan umat Kristiani (katolik) tentang Waria. “Bagaimana Gereja melihat umat Waria?” tanya Jempa dan Tata kepada Romo Rm. Alexius Andang L. Binawan, SJ, yang disapa Romo Andang. “Emangnya Gereja punya mata, kok bisa melihat,”kata Romo dengan nada canda disertai tertawa.
Pertanyaan Jempa dan Tata itu dijawab secara jelas dan tegas oleh Romo Andang, dengan menjelaskan pengertian dasar LGBTQ+ adalah singkatan dari lesbian, gay, biseksual, transgender, queer, dan lain-lain. Tanda “plus” mewakili identitas seksual lainnya termasuk panseksual dan Two-Spirit.
Kata Romo Andang, untuk LGBT terkait dengan orientasi seksual, berbeda dengan transgender, dalam hal ini termasuk Waria atau Transpuan. Sedangkan, transgender terkait dengan identitas gender yang tidak sesuai dengan yang diterapkan oleh keluarga atau masyarakat, yang berbeda dari dalam yang mungkin berbeda dengan jenis kelaminya.
“Perbedaan di sini harus jelas. Dan ini terkait dengan yang katamu (Jempa dan Tata) perkembangan zaman, baik terkait dengan ilmu biologi, sosiologi dan psikologi. Dalam hal ini perbedaan-perbedaan perlu dipahami lebih baik supaya kita memandang lebih jelas,”terangnya.
“Bagaimana Gereja berkembang?” Jawab Romo Andang, Gereja didalam melihat ajarannya bisa berkembang, dengan tidak menafikkan perkembangan-perkembangan seperti perkembangan biologi, psikologi dan sosialogi.
Walaupun ada perkembangan, Romo Andang, menegaskan bahwa Gereja Katolik selalu berpegang pada ajaran yang tertulis dalam Kitab Suci. “Maka soal tafsir ini tidak boleh begitu saja mengikuti perkembangan zaman, tidak. Harus tetap berada pada pokok – pokok yang ada di dalam kitab suci. Ini harus jernih dalam melihatnya, kitab suci bagi orang Katolik, tidak ditafsirkan dengan sedemikian rupa sekedar untuk mengikuti perkembangan zaman yang disesuaikan dengan pandangan modern, tidak! Yang ada di kitab suci, ya itulah,”tegasnya.
Romo Andang, menambahkan yang harus dilihat dengan jelih adalah teksnya dan kata-katanya serta segala macam. Sebab yang dikecam oleh Santo Paulus dalam surat-suratnya, karena itu yang kita jadikan landasan moral adalah tindakannya bukan kecendrungannya.
“Itu yang terpenting dibedakan. Karena kalau homoseksual tetapi tidak melakukan sesuatu ya, tidak apa-apa. Pada dasarnya yang salah menurut Kitab Suci adalah tindakan seksualnya, dan bukan kecendrungannya,”terangnya.
Dengan kata lain, tutur Romo Andang, terkait dengan transgender, Waria, Transpuan, Gereja Katolik melihat itu sebagai, kalau dilihat dari kemanusiaan tetap manusia yang harus dihargai, yang harus diterima dengan segala macam martabatnya.
“Terkait dengan martabatnya, tidak boleh dilupakan bahwa dalam pandangan Gereja Katolik, martabat manusia itu begitu tingginya sehingga tidak tergantung pada warna kulit, tidak tergantung pada gender, tidak tergantung pada orientasi seksual dan tidak tergantung pada dosa. Maka dosa sebesar apapun di Gereja Katolik, tidak ada hukuman mati,”tuturnya.
Pembicara lainnya, Hendrika Mayora Victoriayang disebut-sebut sebagai transpuan pertama menduduki jabatan publik di Indonesia), menceritakan pengalaman hidupnya sebagai lelaki tapi memiliki orientasi seks perempuan.
“Saya dari kecil sudah keliatan gemulai dan saya suka dengan permainan perempuan. Tapi ketika masuk remaja mulai mengalami stigma dari masyarakat, saya dibilang homoseks,” ungkapnya.
Ketika beranjak dewasa, Mayora memilih menempuh Pendidikan bruder, dengan harapan bisa menjadi lelaki seutuhnya. Tetapi sementara menempuh Pendidikan, dirasakannya dan menyadari memiliki orientasi seks yang berbada.
“Saya sadar tidak bisa sembunyi dari orientasi seksual saya. Saya tidak mampu menjadi lelaki. Saya sempat merasa ingin bunuh diri, Tuhan tidak adil,” ceritanya.
Tapi keadilan Tuhan itupun datang mengampirinya disertai kasih yang nyata. Perlahan-lahan Hendrika Mayora Victoria, mulai mampu menerima jati dirinya. Bahkan, Tuhan mulai memberikan ide-ide yang cemerlang bagaimana ia harus menerobos “stigma negatif” tentang dirinya dan orang-orang yang berperilaku sepertinya.
Terobosan yang dilakukan, salah satunya dengan membentuk Komunitas Transpuan Fajar Sikka dengan mengajak serta mengumpulkan para Waria untuk melakukan berbagai kegiatan positif, sekaligus memberikan edukasi agar tidak melakukan perbuatan yang membenarkan “stigma negatif” yang ditempelkan “masyarakat” pada kaumnya.
Dalam melakukan terobosan itu, Hendrika Mayora Victoria, tidak dapat mengungkapkan rasa syukurnya karena Gerejanya (Katolik) mendukung atau memberikan tempat bagi komunitasnya untuk melakukan pelayanan.
Sampai berita ini diturunkan, Hendrika Mayora Victoria, tentu terus “berjuang” untuk supaya masyarakat dapat membedakan Waria yang pada dasarnya sebagai identitas, dan bukan tindakan seksualnya. Dengan masyarakat mengerti, otomatis dapat menerima keberadaan kaumnya.