JAKARTA – Gereja Kristen Jakarta (GKJ) digugat oleh warga RT 02, 03, 04, 05, 06, dan RW 01 serta para tokoh masyarakat Kelurahan Jelambar, Kecamatan Grogol Petamburan, Kota Adm, Jakarta Barat, yang diwakili oleh Para Ketua RT dan RW setempat dengan menunjuk kuasa hukumnya Ferry Ericson & Partners (“FEP”) di Pengadilan Negeri Jakarta Barat dengan No. perkara : 913/Pdt G/2023/PN.Jkt.Brt sejak 12 Oktober 2023.
Adapun alasan Ketua RT 02, 03, 04, 05, 06, Ketua RW 01 dan para tokoh masayarakat Kelurahan Jelambar, Kecamatan Grogol Petamburan, Kota Adm, Jakarta Barat, kata Kuasa Hukum penggugat, Ferry Ericson, S.H kepada media ini, karena warga menolak adanya pembangunan rumah tinggal di lingkungan RT RW setempat karena sepengetahuan warga lahan tersebut diperuntukkan untuk fasilitas umum dan sosial (dibangun tempat ibadah dan sarana pendidikan).
Para penggugat menilai, kata Ferry Ericson, S.H, tindakan dari GKJ menjual sebidang tanah (Lahan Kosong) kepada Timotius Wong (pembeli) dengan sertipikat HGB induk Nomor : 6543 yang telah terpecah – pecah, yang salah satunya adalah Sertipikat Hak Guna Bangunan (SHGB) Nomor : 08599/Jelambar yang diterbitkan oleh GKJ, atas sebidang tanah sebagaimana diuraikan dalam Surat Ukur tanggal 06-Desember 2022, Nomor 01693/Jelambar/2022, seluas 300 M2, terdaftar atas nama Gereja Kristen Jakarta, dengan Nomor Identitas Bidang Tanah (NIB) 09.03.02.02.11866 dan Surat Pemberitahuan Pajak Bumi dan Bangunan (SPPTPBB) Nomor Objek Pajak (NOP) : 31.74.030.004.022-0296.0 yang terletak di Jl. Hadiah VII Komp. Kav. Polri Blok-D.XIII, Kelurahan Jelambar, Kecamatan Grogol Petamburan, Jakarta Barat adalah merupakan tindakan perbuatan melawan hukum.
Kuasa Hukum para penggugat Ferry Ericson, S.H mengatakan sejarah tanah kosong yang dahulunya milik Yayasan Bhara Raharja tersebut adalah lahan terbuka hijau, kemudian pada tahun 1979 dibangun Sekolah Bhara Trikora yang status lahan bersertifikat 2004.
Selanjutnya pada tahun 2008, dijelaskan Ferry Ericson, S.H, yang akrab disapa Eric ini, tanah milik Yayasan Bhara Raharja itu dihibahkan kepada Gereja Kristen Jakarta. “Bangunan Sekolah Bhara Trikora yang menjadi objek jual – beli dirobohkan tahun 2008. Sejak itu, kurang lebih 11 tahun lahan menjadi kosong serta tidak diurus. Ada kesan, diterlantarkan oleh pihak GKJ, dan lahan tersebut menjadi tempat sampah serta penuh dengan semak belukar,”
Melihat fakta itu, Ferry Ericson, S.H., menuturkan pihak warga di situ, melalui RT dan RW diputuskan untuk membersihkan dan merapihkan agar dapat dipakai untuk sarana olahraga, karena warga sekitarnya tahu itu tanah memang lahan Fasum, intinya untuk kepentingan umum.
Pada tahun 2019 – 2020, kata Ferry Ericson, S.H., lahan kosong yang penuh semak belukar tersebut dimanfaatkan oleh GKJ menjadi lahan parkir. “Pada tahun 2023 lahan kosong dan tidak terurus sebagaimana tercatat pada SHGB Induk Nomor : 6543 patut dianggap sudah diterlantarkan dan tidak pernah dimanfaatkan serta dipergunakan sebagaimana fungsinya oleh GKJ. Sebaliknya dilakukan pemecahan sertifikat, dari SHGB Nomor 08599 dengan menjual 300 meter persegi, seperti dalam akta jual beli Nomor 72/2023,”
Fakta – fakta yang ada, Ferry Ericson, S.H. menuturkan Para Penggugat tidak mau “terlibat” apalagi sampai memberikan izin /rekomendasi kepada pihak pembeli tanah 300 meter persegi untuk mendirikan rumah tinggal pada lahan kosong tersebut.
“Tiba – tiba Gereja menjual tanah ini di tahun 2023, kepada jemaat Gereja Kristen Jakarta (Timotius Wong), seluas 300 meter persegi. Kemudian pembeli menemui RT dan RW untuk meminta ijin mendirikan bangunan, tetapi ditolak karena tidak boleh membangun rumah tinggal atas lahan tersebut sehubungan peruntukannya jelas untuk Fasum.
Merujuk pada Rancangan Detail Tata Ruang (RDTR) DKI Jakarta tahun 2022, kata Ferry Ericson, S.H, sebagaimana diatur oleh Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 31 Tahun 2022 Lampiran VIII Peta Rencana Pola Ruang, objek jual beli dalam AJB No. 72/2023 tertanggal 16 Agustus 2023 dikategorikan sebagai tanah dengan fungsi sebagai zona budi daya dan sub zona sarana pelayanan umum skala kota. Lalu berdasarkan Pergub No. 31/2022 Lampiran VII Klasifikasi Zona dan Sub zona SPU-I,
“Peruntukan ruang yang merupakan bagian dari Kawasan budi daya yang dikembangkan untuk melayani penduduk skala kota yang meliputi sarana Pendidikan, Kesehatan, ibadah, sosial budaya, rekreasi dan olahraga, serta pelayanan umum,” itu kata Ferry Ericson, S.H, menjadi salah satu dasar penolakan warga. “Yang paling utama dalam Pergub ini adalah tidak boleh mengubah kegiatan atau fungsi utama sub Zona, tidak boleh mengubah dari Fasum ke kepentingan pribadi yaitu rumah tinggal. Itu sebabnya kita melakukan gugatan kepada Gereja, pembeli dan juga pada notaris,”.
Kepada media ini, Ferry Ericson, S.H, “menilai bahwa jual beli dari lahan Gereja itu tidak sah, menyalahi peruntukan. “Jadi yang ditunggu – tunggu warga adalah pihak Gereja mengembalikan tanah itu kepada fungsinya yaitu Sekolah ataupun Gereja. Kenapa? Karena bisa bermanfaat buat warga, anak bisa sekolah di situ atau warga bisa beribadah di situ,”.
Tuntutan lainnya, diungkap Ferry Ericson, S.H., warga meminta GKJ mengganti kerugian yang sudah timbul selama ini, jumlahnya 666.000.000, dan rinciannya sudah tercantum dalam gugatan. “Ada dua tuntutan warga. Pertama mengembalikan fungsi lahan kepada Fasum. Kedua, pihak GKJ membayar semua kerugian yang ada. Jadi ada 2 tuntutannya,”ungkapnya.
Bahwa Para Penggugat juga telah menyurati kepada Sudin Jakarta Barat dan Walikota dan jajarannya serta siapapun yang terlibat mengeluarkan Ijin Pembangunan, dapat menangguhkan ijin tersebut sampai ada keputusan tetap dari pengadilan
Sangat disayangkan oleh Ferry Ericson, S.H, pihak pembeli lahan 300 meter persegi, dengan terang – terang tidak menghormati proses hukum di Pengadilan negeri. Buktinya, sehari setelah Pemeriksaan Setempat (PS ) yang dilakukan oleh Hakim Ketua dan Anggota serta Panitera, pihak pembeli rumah malah melakukan peletakan batu pertama. PS dilakukan tanggal 16 Mei 2024, pihak pembeli meletakkan batu pertama untuk pengerjaan pada tanggal 18 Mei 2024 , inikan tidak mau menghormati proses hukum,”.
Dalam perbincangan media ini pada Selasa (18 Juni 2024) dengan Djana Yusuf, Ketua Umum GKJ yang sedang menceriterakan sejarah GKJ, terungkap GKJ memiliki tanah di Jl. Hadiah VII Komp. Kav. Polri Blok-D, Kelurahan Jelambar, dan sedang digugat oleh beberapa orang yang mengatasnamakan warga, karena GKJ melakukan penjualan. “Tahun 2006 ada peraturan Tiga Menteri mengenai pendirian rumah ibadah. Waktu itu isunya Gereja yang di mal tidak punya ijin tidak boleh beribadah. Kita cari tanah, dapatnya di Kav. Polri Blok D, Jelambar, Jakarta Barat. Tanah itu kami beli tahun 2008. Beli karena ada ‘kepanikan’kalau tidak diijinkan bergereja di Mal maka mau ibadah di mana, akhirnya tanah itu kami beli sekitar 5 miliar tahun 2008 dengan luas 2000 meter,”terangnya.
Djana Yusuf, mengakui membeli tanah itu dengan segala pergumulan, sebab kalau membangun Gereja maka diperlukan dana yang tidak sedikit. “Dengan berbagai pertimbangan, GKJ belum membangun Gereja di lahan yang ada di Kav. Polri Blok D, Jelambar, sampai sekarang,”.
Djana Yusuf, menuturkan, tanah yang dibeli tersebut tadinya tanah sarana pendidikan, milik Sekolah Dasar dari Yayasan Bara Trikora. “SD nya tidak aktif sehingga bangunan itu roboh dan hancur. Kita tidak bangun – bangun Gereja di Jelambar karena ibadah GKJ di Seasons City Mall tetap berjalan. Kami melihat dan berpikir tanah di Kav. Polri ini sangat dekat dengan Jelambar. Selain itu karena sangat dekat dengan GKI Jelambar, hanya berjarak kurang lebih 500 meter,” tuturnya.
Lahan GKJ di Jelambar, karena lama tidak dibangun bangunan kata Djana Yusuf, oleh beberapa orang yang ada di situ dianggap tanah Fasilitas Umum (Fasum). “Waktu kami mau bangun pastori atau menjual tanah kepada jemaat yang membutuhkan, oleh beberapa warga yang mengatasnamakan pihak warga, pada tahun 2022 melakukan gugatan di Pengadilan Negeri, Jakarta Barat. Proses hukum (gugatan) di pengadilan sampai sekarang masih berlangsung,” ungkapnya dan menambahkan oleh beberapa warga tersebut, menuntut Gereja agar tanah tersebut tidak boleh dijual karena Fasilitas Umum (Fasum), dan hanya bisa dibangun taman.
“Mestinya yang mereka tuntut itu pemerintah Jakarta Barat. Pertama, kenapa harus keluarkan sertifikat. Kedua, kenapa bisa mengeluarkan ijin bangunan PBG. Ketiga, kenapa sertifikat bisa pecah? Dan kenapa peruntukan itu bisa berubah? Sekarang peruntukannya sudah boleh dibangun rumah, pastori atau apapun,” kata Djana Yusuf.
Ditambahkan, Djana Yusuf, oknum – oknum warga itu tidak punya hak menuntut. Mestinya yang menuntut GKJ itu pihak Pemda tapi tidak, karena sudah sesuai prosedur. “BPN, dan Notaris mengatakan oknum – oknum warga tidak punya hak menuntut, yang boleh menuntut GKJ adalah Pemda, tetapi Pemda sudah memberikan ijin untuk bangun rumah. Jadi tuntutan itu mestinya batal demi hukum,”
Media ini bertanya, “Kenapa tidak bangun Gereja? Kenapa dijual kepada perorangan untuk bangun rumah tinggal?” Djana Yusuf, berkata sebenarnya bukan tidak ingin bangun Gereja. Tetapi ada beberapa alasan sampai pembangunan itu diurungkan, di antaranya mempertimbangkan dekat, hanya 300 – 500 meter dari lahan milik GKJ ada GKI. “Kami tidak bangun Gereja karena di lingkungan itu ada GKI. Kalau kami bangun Gereja, apa tidak crowded di satu lingkungan ada 2 Gereja,”.
“Kenapa GKJ tidak manfaatkan tanah itu untuk kehidupan masyarakat seperti sekolah?” tanya media ini. Dijawab oleh Djana Yusuf, dikarenakan keberadaan tanah milik GKJ di Kav. Polri di Jelambar itu berada di tengah komplek. Selain itu, jalan masuknya tidak terlalu besar, kalau mobil – mobil masuk untuk menjemput anak – anak maka crowded jadinya—mobil warga akan terganggu, bisa mengganggu kenyamanan warga. “Akhirnya kita pikir bertahan dengan kondisi kosong mendingan jual, dananya kita cari tempat lain yang memadai,”.
“Kenapa Gereja jual?” jawab Djana Yusuf, semua sudah sesuai aturan dan kebutuhan, baik ditingkat Gereja dan ditingkat pemerintah. “Gereja menjual tanahnya sudah sesuai aturan, itu sebabnya pembeli bisa mengurus ijin pembangunan,”.
Wartawan mendatangi pihak pemerintah pada Kamis (20 Juni 2024), Jumat (21 Juni 2024) dan pada, Senin ( 24 Juni 2024), dalam hal ini Suku Dinas Cipta Karya Tata Ruang dan Pertanahan Kota ADM Jakarta Barat, tetapi selalu bilang kepalanya sedang tidak ada di tempat.
Bahkan diarahkan untuk ke Kecamatan Grogol Petamburan yang ada di Palmerah, Jakarta Barat, karena pihak Kecamatan yang akan menjadi saksi terkait. Setelah didatangi pada Senin (24 Juni 2024), di tingkat kecamatan, bertemu dengan seorang ibu yang mengaku bernama Nia Rosianti “Yang dapat memberikan jawaban masalah soal tanah Gereja di Jelambar, Bapak Efendi sebagai Staf Pengawasan, tapi sedang keluar, ada rapat Dinas di Walikota,”katanya.
Media ini meminta nomor HP Bapak Efendi tetapi tidak diberikan oleh Ibu Nia Rosianti karena belum mendapatkan ijin dari Bapak Efendi. Media ini terus berusaha agar mendapatkan keseimbangan berita dari pihak pemerintah pemberi ijin. “Bu, kalau begitu ini saya tuliskan beberapa pertanyaan, dan tolong sampaikan kepada Bapak Efendi,”kata wartawan media ini, “Siap, sekaligus nomor telepon bapak (wartawan) ya ditulis nanti saya kasih ke bapak Efendi,”kata Ibu Nia Rosianti.
Sebelum meninggalkan kantor kecamatan dari ruangan Tata Ruang dan Pertanahan, media ini meminta agar bapak Efendi dapat memberikan jawaban lewat telepon ataupun pesan WA. Tapi sampai berita ini diturunkan, media ini belum mendapatkan jawaban, terkait pertanyaan masalah Tanah yang dijual oleh Gereja dan berubah fungsi.
Pemandangan lahan di lahan milik GKJ di Jl. Hadiah VII Komp. Kav. Polri Blok-D.XIII, Kelurahan Jelambar, Jakarta Barat, waktu didatangi wartawan, tampak memang mengundang perhatian, pasalnya telah “diramaikan” dengan spanduk – spanduk, klaim dari pihak – pihak.
Ini perkara jadi lucu. Ada disebut merujuk Pergub No 31 Tentang tata ruang Provinsi DKI Jakarta Tahun 2022. Yang diomongin cuma lampiran 7. Kenapa tidak sebut lampiran 10 uang menyebut Sub zona SPU-I bisa dibangun rumah tinggal? Lalai atau sengaja?