Kata pahlawan ternyata bermetamorfosis. Ditafsir dinamis dalam ruang dan waktu yang tidak statis. Pahlawan tidak hanya bermakna rela berjuang, berkorban dan bahkan mati untuk bangsanya. Tetapi, apa sumbangsih yang bisa diberikan pada era digital saat ini. Ketika sosok itu tangkas dan cerdas berkontribusi nyata untuk sekelilingnya, merekapun layak disebut pahlawan. Maka sejatinya dengan tafsir baru itu, banyak anak-anak muda kreatif yang langsung bisa masuk kategori pahlawan ekonomi kreatif. Sebut saja sosok mereka yang sukses di bisnis rintisan (start up bussiness) sekelas Bukalapak, Traveloka, Gojek dan Tokopedia yang asli anak negeri dengan total valuasi lebih dari satu miliar dollar.
Memang mereka tidak memanggul senapan dan menewaskan musuh. Tetapi mereka bisa menghidupi ribuan anak bangsa dari sektor ekonomi digital. Tidak tanggung-tanggung dengan potensi bonus demografi bangsa Indonesia yang lebih dari 50% berusia muda, maka kekuatan ekonomi kreatifnya juga akan bertumbuh sangat besar.
Jack Ma pendiri Alibaba Group saja punya obsesi ambisius bahwa dunia digital memungkinkan ia bisa menciptakan lapangan pekerjaan bagi 100 juta orang. Apakah itu sekedar ilusi? Sama sekali tidak. Bahkan digitalisasi ekonomi, memungkinkan transaksi barang dan jasa melampaui apa yang yang pernah dipikirkan orang. Bayangkan, Alibaba pada 11 November 2018 hanya dalam satu jam bisa meraup transaksi sebesar Rp 145,7 trilyun (Kompas, 12 November 2018). Itu bisa terjadi, ketika dunia perdagangan telah sedemikian rupa terintegrasi dengan jaringan internet.
Sosok-sosok kreatif berpikir dan bertindak melampui sekat kamar. Dunia dan keragamannya dilihat sebagai sebuah kesempatan dan peluang. Mereka, saya yakin tidak berpikir hal-hal sempit yang membelenggu kreatifitas. Tidak penting mereka satu agama atau satu ideologi. Bagi mereka, setiap orang memiliki satu kesamaan ingin hidup sejahtera dan kemudahan akses. Atribut apapun yang melekat sebagai simbol politik identitas, sama sekali tidak berpengaruh.
Konstruksi ideologi pejuang ekonomi kreatif sudah lintas batas. Yang terlintas dibenak mereka adalah co-working space. Tidak ada yang bisa dikerjakan sendiri. Perlu kerjasama dengan pihak lain. Kerjasama tidak melihat atribut simbolik. Tapi mau sama-sama bekerja untuk spirit yang menguntungkan bersama.
Virus kebersamaan itulah yang harus terus disebarkan hingga membentuk koloni endemik. Maka jika sebaran virus itu semakin hari semakin luas, mereka yang masih berpikir dangkal dan pendek nalar, semakin menyadari bahwa itu salah. Indonesia bisa maju, bila anak-anak mudanya saling menopang dan bahu-membahu.
Berani Mengambil Resiko
Tidak ada perjuangan tanpa resiko. Semakin tinggi pohon semakin kecang tiupannya. Semakin besar ambisi kesuksesan, semakin besar pula taruhan konsekuensinya. Itu sudah hukum alam. Istilah yang kerap kali dikutip adalah kalau takut jangan berani-berani, kalau berani jangan takut-takut. Yang maknanya, jangan berani ‘angas-angas’ (pura-pura). Jika berani, harus secara seksama memperhitungkan resiko terjeleknya. Sebab ketika jatuh, tak banyak orang peduli selain dirinya sendiri.
Tapi saya berkeyakinan mereka yang saat ini sudah berhasil dengan predikat Unicorn perjalanan pencapaiannya pun tidak mudah. Jatuh dan bangkit lagi, sudah merupakan makanan sehari-hari. Setiap kegagalan dimaknai sebagai sebuah pembelajaran dan pelatihan untuk maju lagi.
Sebagian yang berhasil akan menjadi inspirasi bagi generasi milenial lainnya. Tapi bersamaan dengan itu, generasi milenial juga sangat leluasa memproduksi sosok imajiner tokoh-tokoh super heronya. Ia bagian dari pembentukan sejarah yang sedang dalam proses. Exposure media digital dan tren jangka pendek yang terus berubah-ubah sangat mungkin berpengaruh besar mendefinisi ulang siapa yang dimaksud pahlawan versi mereka. Jangan salah, kekaguman mereka melekat pada tokoh-tokoh imajinatif hasil rekaan fabrikasi film animasi. Tokoh seperti Kirito, Satoshi atau Ash Ketchum, Son Goku, si Topi Jerami serta beberapa tokoh dalam game of thrones, mobile legends, battle ground dan lain lain barangkali lebih ‘live’ daripada pahlawan pejuang sekelas Tjokroaminoto, Syahrir, Bung Tomo, Bung Hatta dan seterusnya.
Tokoh-tokoh besar Indonesia, akan menjadi artefak budaya belaka jika ingatan kolektif bangsa ini tidak terus disegarkan. Maka pengajaran sejarah perlu diberi sentuhan desain komunikasi visual. Apa yang disajikan Taufik Hidayat dan kawan-kawan komunitas seniman Surabaya dalam pentas dan drama kolosal Surabaya Membara pada malam menjelang selebari hari pahlawan, 10 November 2018, harus dimaknai dalam konteks itu. Peristiwa sejarah adalah peristiwa nyata, yang bisa direkonstruksi dalam perspektif kekinian.
Inisiatif mandiri dari kelompok seniman tersebut harus diapresiasi. Bahwa ada beberapa korban tewas karena terjatuh saat menonton, sepenuhnya itu di luar kontrol mereka. Disiplin dan tempat menonton, terabaikan dan tidak dipatuhi. Sangat disayangkan pasca kejadian Pemprov Jawa Timur dan Kota Surabaya saling berebut untuk tidak mau disalahkan. Kilah mereka tidak ada koordinasi dan informasi. Secara prosedural mungkin mereka benar. Tapi pertanyaannya, mengapa kegiatan akbar di depan kantor Gubernur, jantung kota Surabaya yang melibatkan puluhan ribu massa sampai tidak diketahui?
Saya tidak berpretensi menyalahkan siapa. Tapi poin saya, kreatifitas menghadirkan peristiwa sejarah sedekat pandangan mata adalah lompatan kecerdasan seni panggung. Ia tidak saja mengirim pesan revolusi yang heroik tapi menyalakan api kesadaran bahwa para pejuang itu rela berkorban demi kita. Kita merdeka karena jasa tak ternilai dari mereka.
Ketika kita melihat sosok Tuhan Yesus Kristus tersalib dan mati untuk kita, kita pun diingatkan bahwa pengorbanan itu demi keselamatan manusia. Menghayati iman dalam perspektif penebusan dosa akan semakin menolong tumbuhnya kesadaran baru bahwa kita selamat karena Tuhan Yesus pernah hadir mendeklarasikan itu untuk kita semua. Tuhan Yesus Kristus lebih dari sosok pahlawan. Kemanusiaannya memang tersalib, tapi ke-Allah-anNya tetap hadir selamanya.
Oleh: Gatut Priyowidodo, Ph.D. Ketua Pusat Kajian Komunikasi Petra (PKKP) dan Dosen Tetap Program Studi Ilmu Komunikasi UK Petra Surabaya.