JAKARTA – “Apa yang engkau tabur, akan engkau tuai” adalah satu ungkapan yang tidak asing di telinga kita. Ungkapan ini sering dilontarkan oleh banyak orang terutama dikalangan Kristen karena ada cukup banyak ayat-ayat eksplisit yang tertulis di dalam Alkitab tentang hal ini.
Melakukan sesuatu yang baik, bagi sang pelaku akan menuai apa yang baik dari perbuatannya. Sebaliknya apa yang buruk dilakukannya, yang buruk pula akan dialaminya di kemudian hari. Itulah arti secara umum dari tabur-tuai yang sering dikatakan oleh banyak orang sebagai sebuah hukum sebab akibat.
Hukum adalah satu pola yang terus menerus terjadi secara siklus, seperti satu sistem yang sudah dirancang untuk berjalan dengan sendirinya dan tidak perlu ada yang mengendalikannya. Apakah prinsip tabur-tuai demikian? “Tabur-tuai” sering dianggap mirip, kalau tidak mau dikatakan sama dengan “karma”, oleh tidak sedikit orang, termasuk beberapa orang-orang Kristen sekalipun. Sesungguhnya ada sedikit persamaan antara karma dan tabur-tuai dalam hal yang umum, namun mempunyai perbedaan yang sangat signifikan dalam esensinya.
KARMA
Karma umumnya dipercayai oleh penganut agama-agama timur yang mengajarkan pandangan panteisme. Secara umum, panteisme adalah agama yang mempercayai segala sesuatu yang ada di dalam alam semesta ini adalah allah. Misalnya mempercayai sungai tertentu bisa menyembuhkan penyakit yang diderita apabila meminum air dari sungai tersebut. Dalam hal ini, “sungai” itu adalah allah dalam kepercayaan mereka, dengan kata lain sungai dan allah itu adalah sama. Atas dasar pemikiran ini, “karma” adalah satu hukum di dalam alam semesta, yang memberkati dan menghukum manusia sesuai apa yang dilakukannya.
Apabila seseorang melakukan kejahatan atau kebaikan, dia akan mendapat balasannya atas perbuatannya, bahkan sampai kepada keturunan-keturunannya. Itulah yang disebut dengan hukum sebab akibat atau hukum karma, ada konsekuensi didalam satu perbuatan.
TABUR TUAI
Konsep tabur-tuai dikenal dalam teologi sebagai teologi retribusi. Allah menciptakan dunia dengan tatanan dan hukum-hukum yang teratur, baik fisik maupun moral dan spiritual. Tabur-tuai dipandang sebagai bagian integral dari tatanan moral dan spiritual. Dengan demikian tabur-tuai berkenaan dengan salah satu atribut Allah yaitu keadilan, di mana Allah menciptakan dunia ini dengan satu sistem keadilan. Seperti hukum gravitasi, meski serupa tapi tak sama, sistem tabur-tuai mengatur konsekuensi dari tindakan manusia.
Secara umum, prinsip tabur-tuai adalah satu akibat yang terjadi, pasti ada penyebab yang melatarbelakangi sebelumnya. Apa yang pernah di tabur, itu akan di tuai; apa yang di tuai, itu pernah di tabur sebelumnya. Dalam bagian ini, konsep tabur-tuai itu sama dengan hukum karma. Namun ada perbedaan yang kontras, bahwa di dalam ke Kristenan ada Allah Tritunggal yang berdaulat mengatur segala sesuatunya. Memang tabur-tuai adalah tatanan yang diatur oleh Allah tetapi Allah berdaulat mengendalikan semua yang terjadi. Tepatnya, Allah menetapkan segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini tetapi ada bagian tanggung jawab moral manusia yang melakukannya.
Teologi retribusi adalah konsep dalam Alkitab yang menyatakan Allah adil dan akan mengganjar orang sesuai dengan perbuatannya. Allah itu kasih, sekaligus Dia adil. Dia mengasihi orang yang percaya kepada-Nya tetapi menghukum orang-orang yang menolak-Nya – itulah anugerah dan keadilan-Nya. Kalau Dia tidak mengganjar orang yang berbuat jahat, bukankah Allah yang kasih menjadi Allah yang tidak adil? Meskipun ganjaran yang Dia berikan itu sesuatu yang tidak menyenangkan ketika dialami oleh anak-anak Tuhan, namun bagi mereka, “hukuman” itu adalah bagian dari kasih-Nya dalam bentuk pendisiplinan Allah, dengan tujuan untuk mendatangkan kebaikan. Inilah yang dikatakan dalam Ibrani 12:7-8, Allah mengganjar yang diakui-Nya sebagai anak (anak-anak sah), dan jika dia bebas dari ganjaran, Allah berkata orang itu “anak-anak gampang” (anak-anak haram).
Jelas dibedakan antara “anak-anak yang sah” dan “anak-anak haram”. Arti dari ayat-ayat ini adalah seorang ayah yang baik akan mendidik anak-anaknya jika berbuat kesalahan, tetapi jika bukan anaknya, dia tidak akan mendidik/mendisiplinkan jika berbuat salah. Demikian pula Allah memperlakukan anak-anak-Nya dan bukan anak-anak-Nya. Meski ada penghukuman tapi ada pengampunan bagi anak-anak Tuhan atas pelanggaran yang dbperbuat. (Ibr 12:5-8, 11). Sedangkan dalam hukum karma, penghukuman tanpa ada belas kasihan (pengampunan). Inilah perbedaan tajam antara prinsip tabur-tuai dengan hukum karma.
Tabur-tuai adalah satu prinsip dengan satu pemahaman bahwa Allah itu berpribadi, berbeda dengan hukum karma di mana alam semesta diasumsikan tidak berpribadi. Oleh karena itu hukum karma tidak mengenal yang namanya belas kasihan, karena hukum adalah hukum, tidak memungkinkan pengampunan bagi yang bersalah.
Allah mempunyai sistem keadilan, salah satunya dinyatakan dalam tabur-tuai. Ada keadilan, namun ada juga pengampunan bagi yang bersalah, yang memohon pengampunan dan menerima karya keselamatan Kristus. Meskipun ada pengampunan tetapi itu tidak mengorbankan keadilan Tuhan, ketika orang menyia-nyiakan anugerah-Nya. Karunia Allah dan keadilan tidak berkontradiksi, tetapi sebuah paradoks, yang berjalan secara bersamaan.
PRINSIP TABUR TUAI dalam ALKITAB
Di dalam Alkitab, Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, banyak contoh-contoh tentang prinsip tabur-tuai. Kej 8:22 “Selama bumi masih ada, takkan berhenti-henti musim menabur dan menuai, dingin dan panas, kemarau dan hujan, siang dan malam.”
Ayat ini menekankan bahwa siklus alam, termasuk musim menabur dan menuai, akan terus berlanjut selama bumi masih ada. Prinsip ini, yang juga dikenal sebagai “apa yang di tabur, itulah yang akan di tuai”, menekankan bahwa tindakan dan pilihan setiap orang memiliki konsekuensi, baik positif maupun negatif.
Ams 22:8 “Orang yang menabur kecurangan akan menuai bencana, dan tongkat amarahnya akan habis binasa,”. Hos 8:7 “Sebab mereka menabur angin, maka mereka akan menuai puting beliung; gandum yang belum menguning tidak ada pada mereka; tumbuh-tumbuhan itu tidak menghasilkan tepung; dan jika memberi hasil, maka orang-orang lain menelannya,”. Hos 10:13 “Kamu telah membajak kefasikan, telah menuai kecurangan, telah memakan buah kebohongan. Oleh karena engkau telah mengandalkan diri pada keretamu, pada banyaknya pahlawan-pahlawanmu,”. 2 Kor 9:6 “Camkanlah ini: Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak juga,”. Gal 6:7-8 7 “Jangan sesat! Allah tidak membiarkan diri-Nya dipermainkan. Karena apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya. 8 Sebab barangsiapa menabur dalam dagingnya, ia akan menuai kebinasaan dari dagingnya, tetapi barangsiapa menabur dalam Roh, ia akan menuai hidup yang kekal dari Roh itu,”.
Ini adalah sebagian dari sekian banyak ayat-ayat eksplisit maupun implisit yang tersebar di dalam Alkitab, yang mengindikasikan adanya prinsip tabur-tuai.
DOSA PENIPUAN
Dalam kisah Alkitab, Yakub dikenal pernah menipu dan juga kemudian mengalami penipuan, yang menjadi semacam pelajaran hidup atau “karma” dalam narasi tersebut. Siapa yang pernah ditipu oleh Yakub? Esau, kakak kembarnya sendiri yang ditipu sebanyak dua kali.
Pertama, Yakub memanfaatkan kelaparan Esau dan menukarkan sup kacang merah dengan hak kesulungan Esau (Kej 25:29-34). Kedua, Yakub menipu Esau dengan bantuan ibunya, Ribka, dengan menyamar dirinya sebagai Esau untuk menipu Ishak, ayahnya yang rabun, agar memberinya berkat yang seharusnya diberikan kepada Esau sebagai yang sulung. Pada saat yang sama Ishak, ayahnya juga menjadi korban penipuan Yakub yang berpura-pura menjadi Esau untuk menerima berkat ayahnya. Hal inilah yang membuat Esau sangat marah terhadap Yakub oleh karena tipu muslihatnya yang telah mencuri hak kesulungannya yaitu berkat-berkat rohani maupun jasmani, meliputi pewaris hak kesulungan yang menduduki sebagai pemimpin keluarga. Hak kesulungan juga mendapat warisan yang lebih besar daripada saudara-saudaranya dan banyak hak istimewa lainnya.
Apa yang terjadi kemudian kepada Yakub setelah peristiwa itu? Karena takut dibunuh oleh Esau, Yakub melarikan diri ke rumah pamannya, Laban, di Haran yang kemudian dia jatuh cinta kepada salah satu putri pamannya yaitu Rahel.
Laban menyetujui Yakub menikahi Rahel, dengan syarat harus bekerja kepada Laban terlebih dahulu selama tujuh tahun lamanya. Setelah akhir dari tujuh tahun bekerja dengan Laban, pada malam pernikahannya, Yakub ditipu Laban yang menggantikan Rahel dengan Lea, kakak Rahel (Kej 29:21-25). Yakub terpaksa harus bekerja selama tujuh lahun lagi sebelum akhirnya bisa menikahi Rahel. Kisah ini sering dianggap tabur-tuai sebagai konsekuensi yang dialami oleh Yakub karena telah menipu Esau dan Ishak.
DOSA PERZINAHAN dan PEMBUNUHAN
Raja Daud bukan saja jatuh dalam dosa perzinahan dengan mengambil Batsyeba, tetapi juga jatuh dalam dosa pembunuhan, di mana dia membuat segala macam skenario jahat untuk membunuh Uria, suami Batsyeba.
Daud menulis surat kepada Yoab dengan membuat kejahatan berencana bagaimana supaya Uria mati terbunuh dalam peperangan. Ironisnya, Uria sendiri yang mengantarkan surat itu kepada Yoab, yang isinya untuk menempatkan Uria di tempat terdepan dalam penyerangan ke benteng kota. Yoab memerintahkan pasukan itu maju hingga begitu dekat dengan tembok kota sehingga para pemanah musuh menembakkan panahnya dari tembok kota dan membunuh beberapa tantara termasuk Uria.
Atas kejatuhannya dalam dosa perzinahan dan pembunuhan ini, akhirnya Daud menyesali dosanya melalui nabi Natan yang menegurnya. Tuhan mengampuni dosa Daud ini, namun akibat dari dosa yang dia perbuat, dia mengalami penghukuman yang berakibat penderitaan. Tuhan menghukum Daud dengan serius meski dia sungguh-sungguh bertobat dari kesalahannya.
Beberapa Hukuman yang Dialami Daud Akibat dari Perbuatannya:
- Anak dari hasil perzinahannya dengan Batsyeba meninggal seperti yang telah disampaikan oleh nabi Natan, meskipun Daud telah berpuasa dan memohon kepada Tuhan (2 Sam 12:14-18).
- Tuhan berfirman melalui nabi Natan bahwa “pedang tidak akan menyingkir dari keluarga Daud” (2 Sam 12:10). Ini terbukti kemudian dalam hidup Daud, ketika:
− Anaknya Amnon memperkosa saudara tirinya, Tamar.
− Absalom, anak Daud yang lain, membunuh Amnon.
− Absalom memberontak dan mencoba merebut takhta dari Daud.
- Istri-istri Daud diambil dan ditiduri oleh orang lain secara terang-terangan (2 Sam 12:11-12). Istri-istrinya dipermalukan di depan umum. Ini dilakukan ketika Absalom, dalam pemberontakannya, tidur dengan selir-selir Daud di atas atap istana, di depan mata orang banyak (2 Sam 16:22).
Meskipun Tuhan mengampuni Daud dan tidak membinasakannya, namun konsekuensi dari dosanya sangat berat dan itu berpengaruh panjang terhadap hidupnya dan keluarganya.
Apakah ada Dosa Keturunan dari Orang Tua?
Dalam hukum karma, kesalahan orang tua ditanggung oleh orang tua dan anak-anaknya, sedangkan tabur-tuai hanya ditanggung oleh orang tuanya, tidak kepada anak-anaknya. Akan tetapi mengapa ada ayat dalam Alkitab yang mengatakan Allah membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, bahkan ada yang sampai keturunan yang ketiga dan keempat (Kel 20:5 ; Kel 34:6-7 ; Bil 14:18)? Atas dasar ayat-ayat inilah, ada sekelompok orang percaya bahwa dosa orang tua diturunkan kepada anak-anaknya, yang disebut sebagai “kutuk dosa keturunan”. Oleh karena itu, banyak yang menganggap perlu mengadakan doa pelepasan bagi anak-anaknya dari kutuk kesalahan orang tua. Benarkah pemahaman seperti ini? Jika benar dosa orang tua diturunkan kepada anak-anaknya, bukankah dalam bagian ini, prinsip tabur-tuai sama saja dengan hukum karma yang berpandangan panteisme?
Hal ini sebenarnya bukan pertanyaan orang Kristen saja, tetapi juga ditanyakan oleh orang Yahudi di Alkitab Perjanjian Lama tentang mengapa Tuhan membalaskan dosa ayah sampai kepada keturunan-keturunannya?
Prinsip menafsir yang bertanggung jawab, jangan menafsir ayat-ayat tanpa melihat ayat-ayat lain yang berkenaan dengan hal tersebut di dalam seluruh Alkitab. Teks yang sulit dalam Alkitab, dapat ditafsir dengan melihat teks-teks lainnya didalam Alkitab yang lebih mudah dipahami, sehingga prinsip “Alkitab menafsirkan Alkitab” (firman Allah menerangkan firman Allah) diterapkan.
Ada ayat lain dalam Alkitab yang juga mengatakan orang Yahudi menyindir Allah dengan mengatakan: “…… Ayah-ayah makan buah mentah dan gigi anak-anaknya menjadi ngilu (Yeh 18:2)”.
Sepintas membaca teks ini, pasti memahami ayah yang melakukan kesalahan, tapi anak-anaknya yang menanggungnya. Itu adalah kesalahan cara membaca Alkitab dengan melepas satu atau lebih ayat keluar dan terputus dari konteksnya. Untuk dapat memahami ayat ini, harus membaca seluruh pasal 18 dari Kitab Yehezkiel. Sejatinya, perikop ini menjelaskan mengenai apa arti Allah membalaskan kesalahan orang tua kepada keturunan-keturunannya, bahkan sampai keturunan keempat. Yeh 18:2, adalah satu sindiran yang dilontarkan oleh orang Yahudi kepada Allah yang menghukum sampai kepada keturunan ketiga dan keempat. Atas sindiran ini, Allah dengan tegas mengatakan kepada mereka untuk tidak mengucapkan kata sindiran itu lagi (Yeh 18:3), karena sebenarnya mereka tidak mengerti apa yang dimaksud oleh firman Tuhan itu. Semua jiwa itu miliknya Allah, baik ayah maupun anak, tetapi jika seseorang yang berbuat dosa, ia (pelakunya) yang harus mati (Yeh 18:4), bukan keturunannya – ini berbicara mengenai keselamatan, apakah beriman kepada ALLAH atau bukan?
Kemudian diberikan contoh, seorang ayah yang melakukan kebaikan yaitu keadilan dan kebenaran (Yeh 18:5-9), sedangkan dia mempunyai seorang anak yang melakukan berbagai kejahatan (Yeh 18:10-12), anak itu sendiri yang akan menanggungnya, bukan ayahnya (Yeh 18:13). Contoh sebaliknya ada pada ayat selanjutnya; jika seorang ayah melakukan dosa kejahatan, tetapi anaknya tidak melakukan seperti yang dilakukan ayahnya, ia tidak akan mati oleh kesalahan ayahnya tapi ia diselamatkan (Yeh 18:14-17), bukan karena perbuatannya tapi karena imannya kepada ALLAH. Dengan jelas seluruh Yehezkiel pasal 18 ini menjelaskan bahwa kesalahan atau dosa orang tua tidak diturunkan kepada anak-anaknya!
Siapa yang berbuat dosa, dia sendiri yang menanggung akibat perbuatannya, bukan orang lain. Anak tidak menanggung kesalahan ayahnya, demikian pula ayah tidak menanggung kesalahan anaknya (Yeh 18:18-20). Orang Yahudi menyalahkan Allah dengan mengatakan jika orang fasik bertobat, orang itu akan diselamatkan, sedangkan mereka orang Yahudi ini yang adalah bangsa pilihan Allah, jika berbalik dari kebenaran, tidak akan diselamatkan (Yeh 18:21-24 ; Yeh 33:11).
Di sini letak kesalahpahaman orang Yahudi yang menganggap mereka sebagai bangsa pilihan yang disamakan dengan orang pilihan. Tidak semua bangsa pilihan adalah orang pilihan, demikian pula tidak semua orang yang mengaku dirinya Kristen adalah orang pilihan dan akan diselamatkan. Mereka yang diselamatkan, hanya orang-orang pilihan Allah, yang pasti akan mengalami kelahiran baru yang dikerjakan oleh Roh Kudus, bukan oleh karena pernyataan mereka adalah orang Kristen.
Selamat itu oleh anugerah dari Allah melalui iman kepada Yesus Kristus. Tuduhan orang Yahudi bahwa Allah menghukum sampai kepada keturunan ketiga dan keempat adalah tuduhan “strawman”, atau tuduhan yang bukan Allah maksudkan. Jelas dikatakan, kesalahan dari keturunan-keturunan dari ayah-ayah yang berbuat dosa, juga mengulangi kesalahan yang sama, mungkin dalam bentuk yang lain, seperti yang telah dilakukan oleh ayah-ayah mereka (Yeh 18:25-32). Dan kesalahan yang diperbuat oleh keturunan-keturunan ini berulang sampai kepada keturunan ketiga dan keempat, sehingga keturunan-keturunan inipun dihukum oleh Tuhan. Jadi Tuhan tidak pernah membalaskan kesalahan orang tua kepada anak-anaknya, kecuali anak-anaknya juga mengulang kesalahan yang sama seperti yang dilakukan orang tuanya.
Pandangan adanya “kutuk dosa keturunan dari orang tua”, jelas tidak ada dasar kebenarannya ketika seseorang bertobat, percaya terima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Pertobatan yang sejati tentunya mempunyai iman yang sejati dan dia adalah seorang Kristen sejati. Dia sudah dimerdekakan dari belenggu dosa asal yang diwariskan oleh Adam (Rm 5:12-19) sehingga dia menjadi benar-benar merdeka dari perhambaan dosa (Yoh 8:36 ; Gal 5:1 ; Rm 6:17-18). Diatas kayu salib, Yesus berkata: “Sudah selesai”, yang artinya karya penebusan-Nya bagi umat-Nya yang berdosa sudah selesai dengan sempurna. Dengan demikian, segala belenggu/ikatan dosa ataupun istilah dari penganut “dosa kutuk keturunan”, sudah tidak ada lagi. Ketika orang percaya Yesus Kristus adalah Tuhan dan Juruselamat, dikatakan Tuhan mengampuni segala dosa dan pelanggarannya, bukan sebagian, artinya penebusan Kristus itu telah tuntas dengan sempurna diatas kayu salib (1 Yoh 2:1-2 ; Kol 2:13).
Penebusan Tuhan Yesus bagi umat-Nya dilakukan satu kali dan tuntas untuk selamanya. Jadi praktik doa pelepasan “kutuk dosa keturunan” yang masih sering dilakukan oleh sekelompok orang Kristen, sesungguhnya tanpa disadari mereka telah menyangkali perkataan Tuhan Yesus “sudah selesai” atas pengorbanan-Nya di Kayu Salib itu sudah tuntas. Ini sungguh satu pemahaman yang sangat keliru karena tanpa sadar, mereka telah mendegradasi kuasa karya penebusan Tuhan Yesus di Kayu Salib, yang telah mencurahkan darah-Nya. Mengapa bisa ada pemahaman seperti ini, karena tidak mempelajari firman Allah dengan utuh terintegrasi secara komprehensif, sistimatis dan holistik.
Dalam Alkitab Perjanjian Baru juga pernah dikatakan hal yang mirip mengenai hal ini oleh Tuhan Yesus yang mengecam para ahli Taurat dan orang-orang Farisi (Mat 23:23-36). Mereka membangun makam nabi-nabi dan memperindah tugu orang-orang saleh dan berkata jika mereka hidup didalam zaman nenek moyang mereka, mereka tidak akan ikut membunuh nabi-nabi itu (Mat 23:29-30). Kesaksian mereka ini sebenarnya membuka aib nenek moyang mereka sendiri sebagai pembunuh nabi-nabi (Mat 23:31). Apa yang mereka lakukan ini sebenarnya ingin menutupi kejahatan mereka agar terlihat sebagai orang-orang yang saleh (Mat 23:27-28). Akan tetapi Tuhan Yesus mengecam mereka karena orang-orang yang diutus oleh Tuhan Yesus pun, separuhnya dari orang-orang itu akan mereka bunuh (Mat 23:34), termasuk diri-Nya sendiri yang kemudian mereka salibkan. Jadi, mereka inipun tidak luput dari hukuman neraka (Mat 23:33), bukan karena perbuatan dosa nenek moyang mereka tetapi karena perbuatan mereka sendiri yang mengulang kejahatan nenek moyang mereka. Dalam bagian ini, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, Allah tidak membalaskan kesalahan orang tua kepada anak-anaknya, kecuali anak-anaknya juga melakukan kesalahan yang sama, mungkin dalam bentuk yang berbeda, seperti yang dilakukan orang tua mereka.
Meskipun demikian, bagian ini perlu diperhatikan bahwa anak (keturunan) itu perlu introspeksi diri untuk tidak mengulang perbuatan orang tuanya yang salah. Anak mempunyai kecenderungan “mengcopy” (mengimitasi/meniru) orang tuanya, tapi jangan dimutlakkan, baik dalam hal yang positif maupun yang negatif. Itu bukan kutuk yang diturunkan dari orang tua, tetapi satu kecenderungan anak meniru apa yang diperbuat orang tuanya, seperti yang telah dijelaskan di Yehezkiel 18 dan Matius 23 itu. Dengan demikian, perlu dibedakan antara hukuman dosa dengan dampak dari dosa. Seorang ayah yang berbuat dosa dan mengalami hukuman, bisa berdampak kepada anak-anaknya karena ayah sebagai tulung punggung keluarga.
Ajaran Mengatasnamakan Tabur-Tuai Secara Keliru
Ada ajaran yang mengatanamakan tabur-tuai dengan menjanjikan berkat secara jasmani, karena apa yang ditabur akan dituai berkali lipat, bahkan bisa sampai seratus kali lipat. Ada beberapa ayat yang dirujuk seperti Luk 6:38, Mat 13:8 dan ayat-ayat lainnya, yang semuanya dilepas dari konteksnya.
Luk 6:38 konteksnya tentang menghakimi orang lain, sedangkan Mat 13:8 tentang taburan firman Allah, yang tidak ada kaitannya dengan berkat jasmani. Satu ajaran yang tidak bertanggung jawab dengan memberikan janji dari sang pengkhotbah, bukan janji dari Tuhan, bahwa semakin banyak materi yang mereka yang tabur, semakin banyak tuaian berkali lipat yang mereka terima, karena Tuhan tidak pernah berhutang dan tidak pernah lalai menepati janji-nya (2 Ptr 3:9).
Kembali ayat ini dimanipulasi oleh pengkhotbah-pengkhotbah yang tidak bertanggung jawab, di mana ayat ini sebenarnya berbicara mengenai kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kali. Celakanya, surat yang ditulis oleh Petrus ini, diakhir perikopnya (2 Ptr 3:15-16) dia mengatakan: “Dalam tulisan Paulus ada hal-hal yang sulit dipahami, sehingga orang-orang yang tidak memahaminya dan yang tidak teguh imannya, memutarbalikkannya menjadi kebinasaan mereka sendiri”. Satu peringatan yang sangat tegas dan serius dari Petrus kepada pengikut-pengikut Kristus untuk berhati-hati dalam menafsir firman Allah, tetapi hal ini diabaikan oleh pengkhotbah-pengkhobah yang tidak bertanggung jawab hari-hari ini.
Menabur di dunia ini, kadang Tuhan ijinkan menuai di dunia ini, kadang juga tidak, dan tidak perlu kecewa karena tuaian yang sesungguhnya bukan di dunia ini tetapi ada upah di surga. Menabur di dunia bukan dengan motivasi mengharapkan upah di surga tetapi menabur di dunia adalah panggilan sebagai orang percaya, yang adalah wujud tanggung jawabnya karena sudah memperoleh anugerah keselamatan. Semua itu ada dalam kedaulatan Allah yang memberikannya.
Jangan Memandang Tabur-Tuai Secara Sempit
Tabur-tuai bukanlah sebuah hukum tetapi lebih tepatnya sebuah tatanan yang diatur oleh Allah, tapi Dia berdaulat didalam tatanan-Nya. Allah adalah kasih, adil dan setia. Prinsip tabur-tuai mencerminkan keadilan-Nya, di mana tindakan memiliki konsekuensi yang sesuai. Ini juga menunjukkan kesetiaan-Nya terhadap tatanan yang telah Ia tetapkan dalam ciptaan.
Tabur-tuai jangan dimutlakkan seperti hukum karma karena dalam Kekristenan, kita menyembah Allah yang berpribadi, yang dikenal dengan Allah Tritunggal yang berdaulat, bukan pemahaman panteisme yang tidak berpribadi.
Apa yang dimaksud dengan prinsip tabur-tuai yang dipahami secara sempit, atau juga disebut teologi retribusi sempit? Teologi retribusi dalam arti sempit ini menganggap bahwa Tuhan memberikan “balas jasa” (berkat) kepada orang yang taat dan “ganti rugi” (hukuman) kepada orang yang tidak taat. Teologi retribusi dalam arti sempit dapat diinterpretasikan sebagai bentuk keadilan Tuhan, di mana setiap tindakan memiliki konsekuensi, baik positif maupun negatif.
Kritik Terhadap Teologi Retribusi Sempit
Kisah Ayub dalam Alkitab sering digunakan sebagai contoh untuk memahami teologi retribusi, di mana Ayub, seorang yang saleh, mengalami penderitaan yang luar biasa, yang kemudian diinterpretasikan sebagai hukuman atas dosa-dosanya. Teologi retribusi dalam arti sempit, sering kali menimbulkan tantangan dan kritik menjawab bagian ini, karena penderitaan orang yang saleh seperti Ayub, tampaknya bertentangan dengan konsep Tuhan yang adil dan penuh kasih.
Dalam kitab Mazmur, Asaf pernah iri kepada orang-orang fasik yang hidupnya penuh kejahatan namun mereka tidak mengalami masalah, bahkan hidup makmur diberkati secara materi. Sedangkan dirinya yang berusaha hidup sesuai dengan kebenaran, namun Asaf mengalami banyak masalah dan tantangan dalam hidupnya (Mzm 73:3-16).
Janganlah memandang tabur-tuai dengan pandangan yang sempit karena ada bagian-bagian dalam Alkitab, yang seolah-olah nampak tidak sesuai dengan atribut Allah yang kasih, setia dan adil. Pandanglah teologi retribusi dengan lensa yang lebih luas, dengan melihat penderitaan sebagai bagian dari proses pertumbuhan rohani dan ujian iman, bukan semata-mata sebagai hukuman. Kisah Ayub dapat dipandang sebagai refleksi iman dalam menghadapi penderitaan dan mempertanyakan keadilan Tuhan. Teologi retribusi harus dipandang dengan pemahaman teologis yang lebih kompleks seperti teologi salib, yang melihat penderitaan dan keberhasilan dalam konteks yang lebih luas, termasuk rencana keselamatan Allah yang mungkin tidak selalu dapat dipahami oleh manusia.
John Piper dalam artikelnya “Talking to Your Tears”, dia menulis: “Bukan karena air mata dari penaburan menghasilkan sukacita dari penuaian, tetapi karena penaburan itu sendiri menghasilkan penuaian, dan kamu perlu mengingat ini bahkan ketika air matamu menggoda kamu untuk berhenti menabur”. John Piper menekankan bahwa prinsip tabur-tuai bukanlah mekanisme otomatis untuk memperoleh berkat, melainkan panggilan untuk kesetiaan dalam pelayanan, bahkan di tengah penderitaan.
Hal-hal Penting Dalam Memahami Tabur-Tuai
Tabur-tuai tidak boleh dipahami sebagai mekanisme karma otomatis atau sebagai cara untuk mendapatkan keselamatan melalui perbuatan baik. Keselamatan adalah anugerah Allah (sola gratia) semata melalui iman di dalam Kristus (sola fide).
Namun, tabur-tuai tetap berlaku sebagai prinsip yang mengatur kehidupan di dunia ini dan menunjukkan bagaimana Allah bekerja melalui konsekuensi dari tindakan manusia. Sehingga tabur-tuai tidak dianggap sebagai hukum transaksional untuk “mendapatkan” keselamatan atau berkat Allah. Buah dari iman yang sejati akan terlihat dalam kehidupan yang menabur kebaikan. Prinsip tabur-tuai mencerminkan relasi antara Allah dan umat-Nya. Ketaatan menghasilkan buah yang baik, tetapi ini bersifat respons terhadap anugerah, bukan syarat untuk memperolehnya.
R.C. Sproul mengatakan: “Aktivitas menabur dan menuai sebagai bagian dari mandat penciptaan yang diberikan Allah kepada manusia. Namun, ia menekankan bahwa semua pekerjaan manusia, termasuk menabur dan menuai, harus dilakukan “coram Deo” — di hadapan Allah, di bawah otoritas-Nya, dan untuk kemuliaan-Nya”.
Penutup
Tabur-tuai adalah prinsip alkitabiah yang mengajarkan tanggung jawab manusia dan keadilan Allah, tetapi bukan hukum legalistik. Ia beroperasi dalam kerangka anugerah, di mana keselamatan dan berkat rohani adalah pemberian Allah, sementara kehidupan yang berbuah adalah respons iman yang lahir dari karya Roh Kudus. Dengan demikian, prinsip ini mengarahkan orang percaya kepada ketergantungan pada Allah, bukan pada usaha manusia sendiri.
Prinsip tabur-tuai bukanlah formula untuk memperoleh berkat materi, melainkan panggilan untuk hidup dalam ketaatan, kesetiaan, dan pelayanan yang berakar pada anugerah Allah. Pendekatan yang memanipulasi prinsip ini untuk keuntungan pribadi harus ditolak dan sebaliknya menekankan bahwa segala hasil akhirnya berada dalam kedaulatan dan rencana Allah. Soli Deo Gloria.
Penulis : Harry Mandagi, adalah seorang pemerhati yang memiliki panggilan pelayanan untuk umat Kristiani di Indonesia lintas Sinode Gereja.
MITRA INDONESIA : Bagi Lembaga Gereja, Gereja Lokal, Persekutuan Doa, yang ingin kegiatannya diberitakan di media ini, dapat menghubungi lewat pesan WA : 081717178455. (Ini hanya melalui Pesan, tidak telepon)