Wahyu 3:17 “Karena engkau berkata: Aku kaya dan aku telah memperkayakan diriku dan aku tidak kekurangan apaapa, dan karena engkau tidak tahu bahwa engkau melarat, dan malang, miskin, buta dan telanjang.”
Diantara anak-anak Allah hari ini ada kondisi yang sama seperti kondisi gereja di Laodikia di dalam Wahyu 3 :17 yaitu mengira dirinya kaya, namun kenyataannya miskin. Kesulitan terbesar dari orang yang miskin adalah ia tidak mudah mengakui kemiskinannya. Memang ia merasa memiliki, tetapi sedikit. Merasa mengerti dan tahu, tetapi apakah ia benar-benar mengerti dan tahu? Ternyata tidaklah demikian. Dia seperti seorang anak kecil yang memiliki sedikit uang, tetapi mengira bahwa tidak ada yang lebih kaya daripadanya di dunia ini. Padahal Dia tidak tahu bahwa yang ia miliki itu sedikit. Penghalang orang yang miskin adalah merasa sudah puas, merasa sudah cukup, dan merasa dirinya besar.
Kalau miskin itu berada pada orang yang sombong, maka sama sekali tidak ada jalan. Sudah miskin tetapi sombong. Selalu menceritakan ketaatannya kepada Allah, namun, sebenarnya tidak benar-benar tahu apa yang disebut ketaatan. Selalu membicarakan tentang penanggulangan oleh salib, namun sebenarnya tidak tahu apa yang disebut salib. Inilah orang yang miskin! Menyinggung salib, bagaimana membereskan daging, dosa, dunia, mungkin bisa mengatakan cukup panjang lebar, tetapi pengutaraannya menyatakan bahwa dia seorang yang miskin. Allah mengatakan, “Karena engkau tidak tahu, bahwa engkau melarat, dan malang, miskin, buta dan telanjang.” Orang yang miskin tidak tahu apa sebenarnya yang sedang dia ucapkan karena dari perkataannya menunjukkan dia belum menjamah Allah. Orang yang miskin ini mengucapkan perkataan yang dia sendiri tidak tahu, hanya bisa menipu dirinya sendiri dan orang lain. Memang sepertinya orang ini memiliki sesuatu, tetapi yang dimilikinya tidak mempunyai faedah yang begitu besar. Sungguh melarat dan malang!
Miskin selalu bergandengan dengan buta. Orang yang miskin dalam perkara rohani adalah orang yang tidak melihat. Orang yang tidak melihat, mengira dirinya kaya. Orang yang tidak melihat salib, mengira dirinya melihat salib. Bila kita sungguh-sungguh melihat, kita tidak akan berani bermegah dengan mengatakan, “Aku kaya.” Bila mata seseorang tercelik, ia akan melihat dirinya telanjang. Bila orang yang miskin namun tidak melihat bahwa dirinya miskin, inilah yang harus kita waspadai.
Miskin bukanlah masalah banyak atau sedikit, melainkan masalah kualitas, mulia atau hina. Meskipun kita memilkii sesuatu, namun harus mengetahui apa yang kita miliki? Apakah emas, perak dan batu permata yang mulia ataukah setumpuk rumput dan jerami yang hina seperti yang dibentangkan di dalam 1 Korintus 3? Apakah kita bejana emas dan perak ataukah bejana kayu dan tanah di dalam 2 Timotius 2? Jika yang kita miliki itu adalah setumpuk rumput dan jerami, maka kita masih miskin.
Miskin juga berarti dangkal, menganggap pengalaman permulaan itu sebagai keseluruhannya sehingga tidak mempunyai pengalaman yang lebih dalam. Penyebab tidak mempunyai pengalaman yang lebih dalam adalah pengalaman yang permulaan. Pengalaman yang dangkal menghalangi kita mendapatkan pengalaman yang lebih dalam. Pengetahuan yang dangkal menghalangi kita mendapatkan pengetahuan yang lebih dalam.
Karena itu kita harus kaya, memiliki pengalaman yang lebih dalam, memasuki dan melihat wilayah kekayaan rohani lebih dalam. Kekayaan berasal dari penerangan. Begitu terang menerangi kita, kita menjadi kaya.
Kalau kita benar-benar telah nampak di hadapan Allah, kita akan merasakan seolah-olah diri kita adalah orang yang baru beroleh selamat, seolah-olah baru memulai sesuatu. Sebab itu, orang yang kaya, di bawah terang, merasakan bahwa dirinya sama sekali tidak ada apa-apanya, tidak berani mengira dirinya sudah memiliki atau mengira dirinya sudah betul. Orang yang kaya akan melihat suatu bagian Alkitab sekali, dua kali, sepuluh kali, puluhan kali, entah berapa kali, baru benar-benar melihat. Orang yang kaya bukan hanya tahu bagaimana memberitakan kedatangan Tuhan kali kedua dan tanda-tandanya, tetapi juga menantikan kedatangan-Nya
Allah kita adalah Allah yang kaya. Ia tidak menghendaki anak-anak-Nya miskin. Pekerjaan yang Ia inginkan bukanlah pekerjaan rumput, jerami, dan kayu; bejana yang Dia pakai bukanlah bejana kayu atau tanah liat. Kekayaan Allah itu tebal dan dalam, tidak ada tempat yang cukup bisa menampungnya. O, Allah yang kaya ini dapat membuat kita menjadi orang yang kaya. Dia terus memberi kita, dan semakin banyak.
Semoga Allah mengosongkan diri kita, supaya kita benar-benar nampak terang, bisa melihat sehingga kita dapat memasuki kekayaan-Nya.
Oleh: Watchman Nee