“Jadi Pendeta Bukan Hanya Passion Tapi Harus Ada Panggilan”
Jika dalam pekerjaan sekular dibutuhkan passion, tapi di dunia kependetaan dibutuhkan passion dan panggilan. Meskipun sekarang untuk menjadi pendeta caranya begitu mudah karena banyaknya sekolah teologi, tetapi waktu yang akan menjawabnya. Seperti pria yang bernama lengkap Simon Julianto ini yang memiliki panggilan menjadi pendeta sejak kecil.
Keterpanggilan dirinya menjadi seorang pendeta bermula saat usianya masih 10 tahun. Suatu waktu sekolah minggu di gerejanya yaitu GKJ Sukoharjo tidak ada guru yang mengajar. Melihat hal tersebut, pendeta jemaat mengambil alih dan menjadi pengajar sekolah minggu.
“Saya melihat pendeta itu sosok yang bertanggung jawab. Apalagi ketika mengajar, pendeta saya juga memberikan pertanyan sekaligus motivasi ‘Anak-anak, siapa diantara kalian yang ingin jadi pendeta? Jadi pendeta itu gampang, tinggal pakai jubah pendeta dan setelah itu kalian akan dipakai Tuhan’,” cerita Simon mengingat panggilan mula-mula menjadi pendeta muncul dalam hatinya.
Panggilan jadi pendeta tersebut benar-benar diimani oleh Simon. Dalam dunia pelayanan, jangan ditanya, ia sangat aktif, mengambil setiap bagian pelayanan sampai ia pernah menjabat sebagai Ketua Komisi Pemuda Lokal (Kompalok) GKJ Sukoharjo. Namun sayang, dalam hidupnya, panggilan jadi pendeta tidak sejalan dengan perilakunya sehari-hari.
“Waktu muda saya termasuk nakal, ya nakal sewajarnya anak-anak ya. Saya juga suka berantem mungkin karena karena waktu itu saya ikut karate, sudah sabuk coklat dan pernah mendapatkan piala wali kota Solo. Di gereja juga sama, saya nakal, suka protes,” katanya dengan tersenyum.
Di sisi pendidikan, pria kelahiran Sukoharjo, 30 Juli 1969 ini masuk di Fakultas Teologi UKDW tahun 1988. Simon menjalani masa persiapan selama satu tahun dan mengikuti proses perkuliahan dengan baik hingga bisa lulus tahun 1993. Setelah lulus ia sempat didekati beberapa gereja di lingkungan GKJ, tapi pada masa inilah panggilannya menjadi seorang pendeta diuji. “Di suatu gereja saya pernah sudah hampir ditahbiskan, tapi karena dinamika yang ada di sana, pentahbisan saya gagal. Dari kejadian itu saya marah sama Tuhan, kenapa saya yang sudah menyerahkan diri sepenuhnya, Tuhan gagalkan proses kependetaan saya,” ujarnya.
Dari kejadian itu, Simon mencoba bangkit dengan bekerja di sebuah bank swasta sebagai marketing. Di bidang ini, karirnya melejit tajam, dan menjadi salah satu karyawan berprestasi dengan gaji yang cukup besar waktu itu.
Namun seperti salah satu kalimat bijak “uang bukan segalanya”, itu juga yang dirasakan Simon. Di tengah kehidupan finansialnya yang begitu baik, panggilan menjadi seorang pendeta kembali berkecamuk di dalam hatinya. “Saya hanya bertanya pada diri sendiri, sebenarnya apa sih panggilan hidup saya? Masa hidup saya hanya berakhir di dunia marketing?,” kata ayah dari Harari.
Setelah mengambil berbagai pertimbangan yang matang, Simon memutuskan resign tahun 1996 dan kembali pada panggilannya. Ia pasrah dan berjanji akan menerima gereja manapun yang memanggil dirinya kelak. Dan Tuhan tunjukan jalan melalui GKJ Boyolali. “Saya hanya yakin melangkah untuk menjemput panggilan saya yang dulu yaitu menjadi pendeta. Kurang dari satu minggu-setelah resign GKJ Boyolali memanggil saya dan saya ikuti proses dari awal hingga akhirnya ditahbiskan tahun 1998,” paparnya.
Perjalanan di sinode
Keaktifan dirinya sejak muda dalam bidang pelayanan, secara tidak langsung mendapatkan perhatian dari sinode. Hal tersebut terlihat ketika dirinya mulai melayani di GKJ Boyolali. “GKJ Boyolali ada di sebuah klasis yang waktu itu penuh dengan dinamika. Keberadaan saya di sana rupanya dipantau juga oleh sinode dan menitipkan pesan kepada saya supaya bisa menjadi sosok yang bisa memberikan penguat klasis tersebut,” ungkapnya.
Lewat kemampuan yang dimilikinya, sekitar tahun 2002/2003, Simon diminta tenaga serta pikirannya oleh sinode untuk menjadi Sekum Yayasan Sosial Kristen Salib Putih (YSKSP) di mana saat itu YSKSP sedang menghadapi sebuah masalah yang cukup pelik. Namun semua bisa diselesaikan oleh Simon dengan baik. “Sejak muda pelayanan saya memang selalu berkaitan dengan diakonia, pelayanan bencana dan KesPel (Kesaksian dan Pelayanan),” ucapnya.
Semenjak itu, kiprahnya di Sinode semakin cemerlang. Tahun 2008 dirinya dipercaya menjadi ketua Bidang KesPel (Kesaksian dan Pelayanan). Setelah itu tahun 2012-2015 menjadi Sekretaris Umum (Sekum) dan saat ini menjadi Ketua Umum Badan Pelaksana Harian Sinode (Ketum Bapelsin) XXVI GKJ periode 2015-2019.
Saat ini, Simon juga sedang menempuh pendidikan S3 di Fakultas Interdisiplin Doktor Studi Pembangunan UKSW. Hal ini karena tuntutan tugas sebagai pendeta pelayanan khusus di Fakultas Teologi UKSW.
Kenalkan anak muda dengan lagu-lagu Jawa
Di bawah kepemimpinannya, kira-kira setelah 1-2 bulan ditahbiskan menjadi Ketum Baplesin XXVI GKJ, Sinode GKJ melalui Komisi Ajaran membentuk Puskat GKJ yaitu sebuah pelayanan katekese dan liturgi GKJ, termasuk di dalamnya mempelajari aliran-aliran liturgi yang ada sekaligus melihat liturgi yang disukai oleh berbagai elemen.
“Seperti baru saja bersama kami (BMGJ) menerbitkan Kidung Pasamuwan Jawi (KPJ) yang isinya mengadopsi lagu-lagu pop rohani yang disukai anak-anak muda namun dibuat versi bahasa jawa. Lagu ini bisa dipakai dengan iringan gamelan atau band,” katanya.
Simon bersama tim juga sedang membuat buku pujian gending Jawa, tujuannya supaya anak-anak muda di GKJ tahu bahwa lagu aliran pop juga bisa dimainkan dengan iringan gending Jawa (gamelan). Seperti di beberapa GKJ khususnya di acara-acara tertentu saat ini sudah banyak yang diiringi dengan gamelan. (Nuel)