JAWA TIMUR – Gereja harus mampu menjadi tempat bagi semua kalangan termasuk anak. Untuk itu sampai ada gerakan Gereja Ramah Anak, yaitu sebuah gerakan agar anak-anak benar-benar dipenuhi segala hak-haknya di dalam gereja.
Anggota Pokja P2A MD Besuki Barat sekaligus DP3AKB Kab. Jember Artiantyo Wiryo Utomo menjelaskan gereja perlu ramah anak karena adanya fakta-fakta berupa bonus demografi tahun 2030, generasi digital (Gen Z & Alpha), multi darurat perlindungan anak (kekerasan seksual pada anak, penyalahgunaan narkoba, pornografi dll), pemerintah punya program IDOLA (Indonesia Layak Anak) 2030 dan regenerasi.
“Gereja harus menjamin terpenuhinya hak-hak anak di gereja dan merumuskan program kegiatan yang memiliki prespektif anak serta responsive terhadap anak,” ungkapnya dalam acara Seminar Online Bulan Keluarga dan Pekan Anak 2020 yang diadakan oleh Dewan Pembinaan Anak & Remaja Pokja Pendampingan dan Perlindungan Anak Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) yang dikutip melalui channel youtube resmi Greja Kristen Jawi Wetan, Jumat (24/7/2020).
Artiantyo mengatakan untuk membuat gereja ramah anak diperlukan 7 indikator yang harus dipenuhi. Indikator tersebut seperti:
Pertama, adanya kebijakan perlindungan anak di gereja/sinode
Kedua, adanya data berdasarkan jenis kelamin dan usia anak
Ketiga, adanya anggaran yang memadai untuk bidang anak (minimal 20%) dari anggaran gereja
Keempat, adanya forum anak di gereja yang dilibatkan dalam pengambilan keputusan
Kelima, adanya program pengasuhan anak yang holistik di gereja
Keenam, adanya sistem perlindungan anak berbasiskan gereja dan adanya sumber daya dalam gereja yang mempunyai kapasitas untuk mendampingi anak yang berhadapan dengan hukum
Ketujuh, tersedianya kelompok belajar/PAUD di gereja yang diintegrasikan di sekolah minggu gereja.
“Gereja ramah anak adalah sistem perlindungan anak berbasis gereja yang menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, bertumbuh kembang, berpartisipasi dalam iman Kristiani dan mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi,” urainya.
Di GKJW indikator tersebut dapat dikelompokan lagi berdasarkan klaster, yaitu klaster I (hak sipil dan kebebasan), kluster II (lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif), kluster III (Kesehatan dasar dan kesejahteraan), kluster IV (Pendidikan, pemanfaatan waktu luang dan kegiatan budaya), kluster V (perlindungan khusus).
“Ini harus diperhatikan bagi setiap gereja, apakah gereja ramah anak ini sudah menjadi bagian penting dalam penyusunan program mereka. Klaster ini bisa menjadi indikator secara umum aakah gereja sudah ramah anak atau belum dari sisi pemenuhan hak anak dan perlindungan terhadap anak,” kata Artiantyo.
Artiantyo memberikan contoh misalnya tentang klaster I (hak sipil dan kebebasan). Gereja dianggap sudah ramah anak ketika gereja sudah memastikan anak jemaat memiliki akte kelahiran, kartu keluarga, KIA, surat baptis dan kewargaan gereja. Gereja juga harus menyediakan informasi layak anak (misalnya: penyediaan bacaan dan informasi yang mendukung pertumbuhan iman dan psikologis).
Kemudian dalam klaster IV, beberapa indikator yang harus dipenuhi supaya gereja ramah anak adalah gereja mendukung program wajib belajar 12 tahun, menyediakan akses Pendidikan bagi anak jemaat yang memiliki keterbatasan akses Pendidikan, anak asuh. Gereja juga harus mampu menyelenggarakan ibadah ramah anak, sekolah minggu, ibadah anak tematik dan kegiatan ibadah kreatif untuk anak.
“Gereja ramah anak sebenarnya bukan sesuatu yang baru di gereja, tapi yang diperlukan adalah bagaimana menyatukan gerakan dari semua komisi di gereja untuk memiliki prespektif terhadap pemenuhan anak dan perlindungan anak,” tuturnya.
Artiantyo berpesan supaya gereja benar-benar menjalankan klaster I sampai klaster IV dengan baik agar gereja tidak masuk dalam klaster V. “Berharap program gereja ramah anak tidak masuk dalam program perlindungan khusus (Klaster V). Karena dalam perlindungan khusus ini isinya anak-anak sebagai korban. Ketika ini muncul, maka tugas kita semakin berat,” tegasnya. (NW)