Yogyakarta – Pemilihan pimpinan Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) akan berlangsung dalam waktu beberapa hari ke depan. Sudah tentu warga GPdI berharap kepemimpinan yang baru nantinya akan lebih baik, lebih berkualitas, lebih berwibawa, dan lebih efektif daripada kepemimpinan periode-periode sebelumnya.  Dengan demikian ke depan organisasi GPdI bisa bangkit dan kembali ke CITRA orisinilnya, yaitu gereja yang dinamis, harmonis, memiliki standard hidup kudus, serta spirit pengabdian dan solidaritas sosial yang tinggi. Jika GPdI bisa kembali ke CITRA aslinya, maka ada optimisme yang tinggi di kalangan umat, bahwa GPdI akan muncul kembali bagai mercusuar di antara gereja-gereja di Indonesia. 

Untuk dapat mencuat kembali bagai mercusuar, kepemimpinan 2022 harus diformat sedemikian rupa sehingga menampilkan satu profil kepemimpinan GPdI yang benar-benar IDEAL, terutama dalam konteks dunia di era milenial dan posmodern ini. Pemimpin GPdI terpilih di MUBES harus obyektif dan realistis melihat berbagai realitas sosial yang ada di dalam organisasi GPdI masa kini. Mengabaikan realitas tersebut bisa berakibat fatal tidak hanya bagi kepemimpinan GPdI tetapi juga bagi kelangsungan organisasi GPdI ke depan.

Profile Ideal Kepemimpinan GPdI 2022

Harus disadari bahwa profile kepemimpinan sebuah organisasi, tidak terkecuali organisasi GPdI, kinerja pemimpinnya sangat ditentukan dari kebersamaannya dengan anggotanya dalam menjalankan organisasi. Kepemimpinan GPdI 2022 harus bersikap REALISTIS mengakui dan menerima fakta bahwa organisasi GPdI saat ini sarat dengan kemajemukan. Dalam memformat struktur kepemimpinan GPdI, semua aspek kemajemukan harus dihargai, diakomodir, dan diberdayakan. Jika tidak, maka jangan berharap kepemimpinan 2022 akan lebih baik daripada kepemimpinan sebelumnya, bisa jadi justru akan lebih buruk dan terpuruk. 

Dalam mengkonstruksi sebuah profil kepemimpinan GPdI yang IDEAL tahun 2022, ada beberapa aspek paling esensial yang tidak bisa tidak, harus mewarnai struktur kepemimpinan GPdI baik lembaga Majelis Pusat -MP,  maupun lembaga Majelis Pertimbangan Rohani – MPR.

1. Kemajemukan ETNIS – BUDAYA.

Salah satu kesalahan fatal yang sering dilakukan sebagian besar pemimpin GPdI selama ini adalah menganggap remeh atau bahkan mengabaikan realitas sosial yang ada di dalam organisasi GPdI yaitu kemajemukan Etnis dan Budaya. Selama ini realitas kemajemukan etnis-budaya di GPdI selalu ditutup-tutupi oleh para pemegang kekuasaan dengan menggunakan bahasa-bahasa rohani, sementara sang pemimpin itu sendiri justru memprioritaskan sesamanya. Perlu disadari oleh pemimpin organisasi GPdI bahwa unsur etnis adalah masalah paling sensitif masa kini. Jika masalah ini tidak dikelolah secara bijaksana dan tepat, akan mudah menyalakan api kemarahan. Faktanya, peristiwa-peristiwa perpecahan dalam sejarah GPdI, sebagian disebabkan oleh faktor etnis atau budaya. 

Di era milenial ini pemimpin GPdI harus menyadari bahwa jiwa otonomi atau kemandirian individu, kelompok etnis, kelompok budaya, atau kelompok daerah, semakin menguat. Di dalam organisasi GPdI sendiri jiwa otonomi atau berdiri sendiri sangat kuat karena sudah terbentuk sejak seorang hamba Tuhan merintis jemaat. Gembala-gembala jemaat tidak bergantung pada MD atau pun MP, demikian pula MD-MD tidak bergantung pada MP. Tetapi sebaliknya MP sangat bergantung pada MD-MD, demikian pula MD-MD bergantung pada gembala-gembala jemaat. 

Bila pemimpin GPdI tidak bijak mengelola dan memosisikan kemajemukan Etnis-budaya di dalam struktur kepemimpinan GPdI, dapat dipastikan akan menyinggung perasaan dan harga diri kelompok- kelompok etnis tertentu. Mereka akan merasa tidak dihargai atau merasa eksistensi mereka di GPdI tidak diakui. Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa 50 – 75 % sarana/tempat ibadah saat ini, terutama di pulau Jawa adalah milik pribadi. Jika sudah demikian, maka sangat mudah bagi gembala-gembala atau daerah-daerah untuk eksodus dari rumah GPdI. 

Pemimpin GPdI harus menerima fakta bahwa saat ini warga GPdI yang kurang lebih 2 juta jiwa, terdiri dari berbagai macam suku atau etnis dengan budaya dan tradisi yang berbeda satu dengan yang lain. Setiap etnis atau suku memiliki kebanggaan dan penghargaan terhadap budaya dan tradisinya masing-masing. Maka jika ada spirit monopoli atau dominasi dari etnis atau suku tertentu di dalam rumah GPdI, dipastikan dapat menimbulkan disharmoni dan ketegangan karena hal itu bersinggungan langsung dengan eksistensi, kehormatan, dan martabat etnis atau suku yang lain. 

Jika ingin membentuk sebuah format kepemimpinan GPdI yang ideal, aspek kemajemukan etnis atau suku harus tergambar dan terwakili secara keseluruhan baik di dalam struktur Majelis Pusat, maupun di Majelis Pertimbangan Rohani GPdI 2022-2027. Jangan ada etnis tertentu yang tampak monopoli atau lebih dominan lalu ada etnis tertentu yang sama sekali tidak terwakili. 

2. The Right man in The Right Place.

Walau mempertimbangan etnis harus berada dalam sebuah kepemimpinan, tetapi tidak boleh mengabaikan, yang namanya kemampuan dan keahlian personal. Untuk itu penempatan personal pada sebuah posisi kepemimpinan GPdI harus benar-benar sesuai dengan kemampuan dan keahliannya. Jangan menempatkan seseorang dalam sebuah struktur kepemimpinan karena pertimbangan ekonomi bahwa gerejanya besar dan kuat secara ekonomi dan keuangan. Faktor-faktor hubungan emosional, kedekatan, persahabatan, teman, keluarga, jangan dijadikan dasar untuk memposisikan seseorang.  Demikian pula faktor-faktor kesamaan: satu angkatan, satu daerah, satu suku, satu tempat praktek, harus dihindari. Ada pula faktor hutang budi. Ini yang paling banyak membelenggu pemimpin GPdI selama ini, sehingga terlalu sering ada personal-personal yang sebenarnya tidak memiliki kapasitas tetapi diberi posisi demi membayar hutang. 

BACA JUGA  BERLALUNYA TAHUN KELAM  (-Sebuah Refleksi -) 

Pemimpin yang cerdas dan bijak akan menempatkan setiap personal dengan melihat secara cermat dan tepat akan kemampuan, keahlian, atau spesifikasi seseorang. Di dalam leadership, prinsip ‘The right man inthe right place’ harus benar-benar diperhatikan seorang pemimpin. Hanya jika prinsip ini diterapkan sebagaimana mestinya, organisasi GPdI akan dinamis, berkembang, dan inovatif. Singkatnya, jika pemimpin ingin membuat kepemimpinan di organisasi GPdI ke depan lebih efektif, berkinerja, berwibawa, inovatif, dan reformatif, penempatan personal di suatu posisi harus mengutamakan faktor PROFESIONALISME individual. Hanya dengan cara demikian GPdI bisa muncul ke permukaan sekelas dan sekuat dengan organisasi- organisasi keagamaan lainnya. 

3. Gaya Leadership

Sudah satu abad GPdI dipimpin dengan gaya kepemimpinan Paternalistik. Kepemimpinan paternalistik yang diterapkan di dalam GPdI selama 100 tahun, tepatnya sampai pada saat ini, masih bercorak atau berjiwa kolonialisme. Hasilnya, sejarah kepemimpinan GPdI selama seratus tahun diwarnai oleh Status Quo, krisis kepemimpinan, perpecahan, dan ketertinggalan dalam banyak hal. Kepemimpinan Paternalistiklah yang membuat warga GPdI mengalami ketertinggalan terutama di bidang  pendidikan. Akibatnya tahun 1990 an, para pendeta GPdI baru tersadar dan “GUGUP” ketika para pendeta melihat kenyatan, sebagian besar warga jemaatnya telah menjadi sarjana. 

Untuk mengejar ketertinggalan itu, banyak pendeta yang berusaha meraih gelar-gelar akademik dengan jalan pintas. Mereka memang berhasil menyandang sederet gelar akademik bahkan sampai pada strata tertinggi, tetapi kenyataannya tidak dapat mengejar ketertinggalan khususnya dalam berorganisasi dan leadership, karena sederet gelar akamik yang disandang tidak disertai dengan isi atau kemampuan. Maka jangan heran bila sampai saat ini hal berorganisasi dan leadership di GPdI masih terus dirundung oleh “kekacauan” dan “konflik”. Gaya kepemimpinan paternalistik selama 100 tahun hanya menghasilkan pemimpin-pemimpin yang justru menjadi trouble maker. 

Di era milenial ini, gaya atau model leadership yang dianggap paling sesuai adalah GAYA KEPEMIMPINAN DEMOKRASI. Hal ini sangat beralasan, karena faktanya, di negara-negara yang dahulunya bersifat dinasti, kerajaan pun saat ini sudah beralih ke sistem demokrasi. 

Di dalam GPdI memang sudah menggunakan sistem demokrasi, tetapi baru sebatas pemilihan pemimpin. Tetapi di dalam praktik kepemimpinan atau pengelolaan organisasi, gaya paternalistik masih mencengkram sangat kuat. Faktanya, sampai saat ini banyak keputusan organisasi yang masih bergantung pada kemauan dan selera seorang ketua, bukan hasil musyawarah Majelis, apakah itu di tingkat pusat ataupun di tingkat daerah. 

Dengan demokrasi para pendeta akan bebas mengembangkan gagasan-gagasannya, bebas mengungkapkan pendapatnya tanpa harus kawatir para senior atau pimpinan organisasi tidak setuju. Dengan demokrasi para senior atau para pimpinan produk paternalistik bisa belajar menghargai gagasan-gagasan atau pendapat dari yunior/bawahan. Dengan demokrasi para pendeta dan pemimpin GPdI akan belajar dan terbiasa dengan adanya perbedaan-perbedaan interpretasi dan persepsi tanpa menghakimi mana yang benar dan mana yang sesat. Dan dengan demokrasi para pendeta GPdI akan belajar menerima perbedaan pilihan tanpa ketegangan dan konflik. 

Kepemimpinan GPdI 2022 – 2027, siapa pun pemimpinnya, jika ingin berjalan mulus, dinamis, berhasil, dan bebas dari ketegangan atau konflik, harus membebaskan diri dari mitos-mitos kepemimpinan paternalisitik dan menerima realitas masa kini di era milenial sebagai era kepemimpinan Demokrasi. 

4. Struktur dan Departemen-departemen.

Mengenai personalia dalam struktur dan departemen- departemen kepemimpinan GPdI 2022 – 2027, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan secara serius. Jika tidak, maka kepemimpinan ini akan sama lemahnya seperti kepemimpinan masa-masa lalu, bahkan bisa lebih buruk lagi. 

Di dalam Tabloid  MI sebelumnya, Pdt. HS Gultom, ketua MD GPdI SUMSEL sekaligus ketua Forum Pencerahan Pantekosta (FPP) menyatakan bahwa kabinet 2022 – 2027 harus ramping tetapi efektif dan profesional. Pernyataan beliau tentu memiliki alasan-alasan yang kuat mengingat bahwa beliau juga sudah beberapa kali menjadi anggot MP GPdI. 

– Struktur Personalia

Soal jumlah personalia MP, sudah diatur di dalam konstitusi GPdI yaitu sebanyak-banyaknya 36 personal. Ketentuan ini tidak mungkin diubah, kecuali MUBES 2022 lebih dahulu melakukan AMANDEMEN AD/ART. Tetapi di MUBES 2022 juga sangat kecil  KEMUNGKINANNYA karena MUKERNAS September 2021 telah MEMUTUSKAN bahwa AD/ART tidak akan diamandemen karena yang ada sekarang MASIH RELEVAN dengan situasi dan kondisi masa kini. Selain itu, MD-MD yang tergabung di dalam FPP yang memelopori tidak adanya amandemen di MUKERNAS September 2021 yang lalu, akan TETAP KONSISTEN dengan keputusan MUKERNAS.  

BACA JUGA  Eksklusivisme Para Hamba Tuhan di Kalangan Gereja

Kemudian, jika melakukan amandemen AD/ART hanya untuk mencari landasan hukum demi membagi-bagi kursi dan jabatan untuk membayar hutang pada orang yang dianggap berjasa dalam pemenangan salah satu kandidat, hal ini justru menunjukkan betapa rendahnya kualitas berorgamisasi para pemimpin GPdI, yang mengamandemen AD/ART hanya untuk kepentingan sesaat. Lebih daripada itu, melakukan amandemen hanya untuk kepentingan sesaat dan jabatan, sudah pasti akan MENCORENG INTEGRITAS dan REPUTASI para pemimpin GPdI.

– Departemen-departemen

Kepemimpinan 2022 – 2027 diharapkan akan melakukan perubahan, pembaharuan, perbaikan, dan penataan organisasi sesuai dengan salah satu poin di dalam misinya. Dalam rangka itu, kepemimpinan yang baru harus mengevaluasi atas eksistensi, signifikansi, dan efektifitas setiap departemen. 

Dari pengalaman dan pengamatan terhadap departemen-departemen di dalam kepemimpinan MP, ada departemen yang mubasir, ada yang disfungsi, ada yang nonfungsi, ada yang tidak tahu fungsinya, dan ada pula yang kelihatan berfungsi tetapi menguras dana organisasi untuk pekerjaan jalan-jalan, sebuah pekerjaan yang sebenarnya sudah biasa dilakukan dengan menggunakan sarana digital yang bebas biaya. Mempertahankan departemen-departemen yang demikian sama dengan menggali lubang persoalan bagi kepemimpinan yang akan datang. 

Sebaliknya, melihat konteks dunia masa kini dan mengantisipasi perubahan di masa depan, sangat penting untuk membentuk departemen-departemen baru yang bidang pelayanannya benar-benar sesuai dengan kondisi kebutuhan masa kini dan masa depan. Beberapa bidang tersebut a.l. : 1)Departemen Pemberdayaan Wanita Pantekosta, 2)Departemen Peningkatan kualitas SDM, 3)Departemen Hukum dan Komunikasi, 4)Departemen Usaha Milik Gereja, dll. 

5. Majelis Pertimbangan Rohani. 

Sampai saat ini peran atau fungsi Majelis Pertimbangan Rohani (MPR) di dalam kepemimpinan GPdI seakan hanya sebagai ‘pelengkap penderita’ bagi MP. Selain dari itu, sesuai tradisi kepemimpinan GPdI, personal-personal yang diposisikan di MPR adalah orang-orang yang sudah lansia, yang secara alami banyak orang katakana sudah tidak produktif, tidak dapat lagi berpikir secara kritis dan kreatif, bahkan untuk menulis pun mungkin mereka sudah tidak mampu lagi karena memang kondisi fisik sudah tidak memungkinkan. 

Kedudukan MPR di dalam struktur kepimimpinan GPdI sangat rancu kalau tidak bisa dikatakan “kabur”. Kabur karena, pertama: posisi MPR dalam struktur lembaga kepemimpinan GPdI tidak jelas. Apakah lembaga MPR itu terpisah dari lembaga MP ataukah MPR adalah bagian dari lembaga MP, kedua: kewenangan-

kewenangan apa saja yang ada di MPR, juga lebih tidak jelas. Sejauh ini setiap kali ada masalah atau kasus di lembaga MP, MPR belum pernah turun tangan untuk mengatasi atau memberi sanksi pada oknum-oknum MP yang melakukan pelanggaran.   

Diharapkan kepemimpinan GPdI 2022 – 2027 mampu dan akan melakukan reformasi, termasuk menyangkut kedudukan dan kewenangan MPR, sehingga eksistensi MPR dalam kepemimpinan organisasi GPdI, tidak lagi sekedar menjadi pelengkap penderita, tetapi benar-benar memiliki wilayah kekuasaan dan kewenangan tersendiri, memiliki hak-hak khusus, dan membuat keputusan-keputusan konstitusional yang mengikat. 

Demi membangun sebuah kepemimpinan GPdI yang lebih tertip, bersih, berwibawa, dan berkualitas, maka ke depan, IDEALNYA lembaga MPR dibuat terpisah secara keseluruhan dari lembaga MP. Kemudian, MPR diberi peran, kewenangan, dan kekuasaan sebagai pengawas, pengontrol, dan penasehat bagi MP. MPR berwewenang menjatuhkan sanksi kepada MP termasuk mengimpeachment. Dalam situasi-situasi tertentu, MPR diberi wewenang untuk mengadakan “Sidang Istimewa” yang melibatkan seluruh MD. Oleh karena itu, MPR harus memiliki sistem dan semua kelengkapan administratif sebagai sebuah lembaga kepemimpinan yang berdiri sendiri yaitu, rapat-rapat pleno, ruang kantor, kop surat, stempel, dll…

Jika fungsi, peran, ruang lingkup tugas, dan kewenangan MPR demikian, maka personel-personelnya harus dipilih yang masih produktif, masih memiliki daya berpikir kritis, analitis, sistematis, dan kreatif, sehingga ketika membuat kebijakan atau keputusan, benar-benar bernilai, tepat, dan efektif. Salain dari itu, semua personel MPR diharapkan memiliki nyali yang kuat sehinga mampu bertindak tegas dan tepat bila terjadi penyimpangan-penyimpangan di lembaga MP. Idealnya seperti itu. 

Kembali ke masalah penggantian pemimpin GPdI melalui MUBES 2022. Diharapkan yang terpilih adalah sosok pemimpin yang benar-benar berkualitas, berintegritas, memiliki kapasitas dan kualifikasi sebagai leader yang mumpuni, berjiwa reformasi, dan yang tidak kalah penting adalah menjadi panutan. Dengan profil kepemimpinan yang ideal sebagaimana telah diuraikan di atas, diharapkan tahun 2022 akan menjadi awal dari kebangkitan dan pemulihan GPdI. Semoga….. dan mudah-mudahan…

Dr. S. Tandiassa, M. A. Penulis adalah seorang dosen Sekolah Tinggi teologia Intheos, Surakarta. Juga seorang penulis buku Teologi dan Populer, sudah 12 judul buku. Dan sebagai Ketua Majelis Daerah (MD) Gereja Pantekosta di Indonesia, Daerah Istimewa Jogjakarta

Apa pendapat anda tentang post ini ?
+1
1
+1
1
+1
0
+1
6
+1
0
+1
1
+1
1

3 KOMENTAR

  1. Komentar Pola kepemimpinan Gpdi dinamis tidak bisa di samakan , Sebab itu Hamba Tuhan yg memiliki Gelar Akademi tlg jangan mencampur adukan tata cara Organisasi yg bkn berorientasi Rohani kdlm Gpdi , Hasil Penjaringan ternyata Petahana yg lebih Dominan , bahkan ada figur yg di calonkan mundur’ Karna yg di nilai Kerja yg nyata.

  2. ???untuk menghasilkan kemajuan, sebagaimana rata-rata negara maju yaitu harus mrningkatkan SDM Pemimpin, dengsn salsh satunya mrningkatksn Prndidikan, bukan hsnya cati gelar, tapi pilihlah STT yg benar menyrlenggaraksn pendidikan yg baik, jsngan sbsl-abal, apslagi kita pemimpin harus beri contoh ke Jemsat tentang bersekplah yg benar??

  3. Kajian dan pandangan Pdt. Dr. S. Tandiassa sungguh bermanfaat semoga Pimpinan GPdI serta Semua Hamba Tuhan, Jemaat mampu menjaga Marwah GPdI untuk kemuliaan TUHAN

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini