
JAKARTA – Tinggal mengitung hari tahun 2020 akan segera berakhir. Sayang, tahun 2020 akan berakhir dengan banyak Pekerjaan Rumah yang tertinggal.
Sekretaris Umum (Sekum) Dewan Pengurus Pusat (DPP) Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia, Sahat MP Sinurat, mengungkapkan Pekerjaan Rumah (PR), mulai dari masalah daerah tertinggal yang ternyata kebanyakan adalah daerah berbasis Kristen. Selain itu, masalah korupsi, stunting dan radikalisme.
“Beberapa daerah tertinggal yang penduduknya kebanyakan beragama Kristen (Protestan dan Katolik) antara lain Kepulauan Nias, Mentawai, beberapa Kabupaten di NTT, Papua, Papua Barat, Maluku, dan lainnya,”ungkapnya.
Sahat MP SInurat, mengungkapkan itu bukan dibuat – buat tetapi bertolak dari Peraturan Presiden no 63 Tahun 2020, tentang Penetapan Daerah Tertinggal Tahun 2020-2024. Dalam Perpres yang diteken itu, terdapat 62 daerah yang ditetapkan sebagai daerah tertinggal.
“Penyelesaiannya perlu adanya pembangunan sumber daya manusia yang disesuaikan dengan kondisi dan potensi daerah. Kemudian ada akses permodalan untuk UMKM lokal yang juga disertai dengan pendampingan agar UMKM lokal tersebut dapat berkembang. Good governance harus diterapkan dalam pemerintahan kabupaten dan desa sehingga pengelolaan anggaran dapat ditujukan untuk kepentingan rakyat dan bukan digerogoti oleh elit pemerintahan,”tegasnya.
Sedangkan masalah korupsi, Sahat MP Sinurat berata korupsi adalah virus (penyakit) yang telah menjangkiti bangsa Indonesia, khususnya korupsi dalam birokrasi yang sudah berlangsung puluhan tahun.
“Tidak jarang kita mendengar korupsi di dalam birokrasi sepertinya sudah berjalan secara sistematis sehingga sulit untuk bisa disembuhkan. Kita harus mengurai, apa yang menyebabkan korupsi ini masih mendarah-daging,”paparnya.
Sahat MP SInurat melihat berjalannya praktik korupsi, pertama karena biaya politik di bangsa ini terlalu mahal. Partai politik dan para peserta pemilu, baik legislatif dan eksekutif harus mengeluarkan biaya yang besar agar dapat memenangkan pemilu dimana masyarakat kemudian terbiasa dengan politik uang dan transaksional.
Kedua, integritas dari para pemimpin, elit politik, dan pejabat negara yang seharusnya melihat jabatan pemerintahan sebagai pelayanan dan pengabdian, bukan untuk memperkaya diri sendiri ataupun kelompok.
Ketiga, sistem yang profesional, transparan, dan penegakan hukum yang tegas. Sehingga kemudian tidak ada celah untuk melakukan tindakan korupsi.
“Persoalan korupsi dihadapi setiap orang tanpa harus membeda-bedakan suku, agama, dan golongan. Di sisi lain, setiap agama mengajarkan tentang kejujuran, integritas, dan kesederhanaan/keugaharian. Oleh karena itu, pertama, pendidikan tentang integritas harus diajarkan secara baik sejak usia muda di sekolah maupun lembaga keagamaan masing-masing. Kedua, lembaga keagamaan tidak permisif kepada tindakan-tindakan koruptif, termasuk memastikan darimana asal dana sumbangan, persembahan, dan bantuan yang diberikan jemaatnya, khususnya yang berjumlah besar,”pintanya.