JAKARTA – Menteri Agama ( Menag ) Republik Indonesia, Yaqut Cholil Qoumas berencana menjadikan KUA sebagai tempat nikah semua agama—tempat yang tidak hanya melayani satu agama.
“Kita sudah sepakat sejak awal bahwa KUA ini akan kita jadikan sebagai sentral pelayanan keagamaan bagi semua agama. KUA bisa digunakan untuk tempat pernikahan semua agama,” kata Yaqut.
Maksud dari Yaqut keberadaan KUA agar dapat memberikan kemudahan bagi semua agama. “Selama ini kan saudara-saudara kita non-Islam mencatatkan pernikahannya di catatan sipil. Kan gitu. Kita kan ingin memberikan kemudahan. Masa nggak boleh memberikan kemudahan kepada semua warga negara?” ujar Yaqut di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (26/2/2024).
Menurutnya, KUA adalah etalase Kementerian Agama. Kementerian Agama, baginya, adalah kementerian untuk semua agama.
Keinginan atau rencana Yaqut itu kata Sekretaris Umum Persekutuan Gereja – gereja di Indonesia (PGI), Pdt. Jacky Manuputty, pada Kamis ( 14/03/2024) telah membentuk kelompok pro dan kontra, bisa dimengerti, karena gagasan ini dilontarkan tanpa adanya percakapan terlebih dahulu dengan lembaga-lembaga keumatan yang selama ini terlibat langsung dalam peristiwa pernikahan.
Cetusan gagasan ini lanjut Sekum PGI, juga belum disertai penjelasan detail mengenai alasan perpindahan pencatatan nikah dari Dukcapil (untuk umat non-Muslim), maupun mekanisme pencatatan nikah di KUA.
“Banyak kalangan berpendapat, pencatan nikah non-Muslim di Dukcapil selama ini berlangsung baik-baik saja, mengapa harus dipindahkan?”
Kata Pdt. Jacky Manuputty, gagasan Gus Menag untuk revitalisasi KUA sebagai tempat pencatatan nikah semua agama tentu terdengar menarik dan inklusif, karena KUA yang awalnya diperuntukan secara khusus bagi umat Muslim, kini terbuka bagi umat beragama lainnya. Sekalipun begitu ada banyak hal yang harus dipersiapkan dan dijelaskan kepada public sehingga tidak menimbulkan silang pendapat dan kekisruhan.
Pdt. Jacky Manuputty menegaskan dari pandangan PGI, beberapa hal perlu disampaikan, pertama, selama ini pelayanan administrasi kependudukan (Adminduk), baik berupa data maupun dokumen kependudukan, dikelola oleh Dukcapil. Di antara 23 dokumen kependudukan terdapat Akta Kelahiran, Akta Kematian, Akta Perkawinan, Akta Perceraian, Akta Pengakuan Anak, dan Akta Pengesahan Anak. “Data dan dokumen kependudukan inilah yang saat ini digunakan oleh lebih dari 6500 lembaga pusat (2024) baik pemerintah atau swasta yang sudah bekerjasama dengan Ditjen Dukcapil untuk berbagai keperluan, terutama untuk permudah pelayanan public”.
Kedua, Gus Menag perlu menjelaskan latar belakang pemindahan pencatatan dari Dukcapil ke KUA, karena selama ini dalam tata administrative pemerintahan, seseorang baru dianggap sah pernikahannya apabila ia dapat menunjukan Akte Perkawinannya dari Kantor Catatan Sipil dan bukannya Surat Perkawinan Gereja. Dengan kata lain, melalui Dukcapil sebuah perkawinan dinyatakan sah berdasarkan Undang-Undang
Realitas ini kontradiktif dengan UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah RI No.9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No.1 Tahun 1974. Pasal 2 UU Perkawinan berbunyi: 1) perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. 2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketiga, pencatatan dan pengesahan perkawinan di Dukcapil sesungguhnya sejalan dengan pandangan Protestan yang menganggap perkawinan sebagai akta sipil. Gereja hanya memberkati pernikahan yang telah disahkan oleh pemerintah. Pandangan ini berakar pada sejarah panjang perkembangan pemahaman gereja terhadap perkawinan itu sendiri.
Keempat, banyak warga gereja merespon gagasan Gus Menag dengan rasa curiga bahwa implementasi gagasan ini akan menggerus peran gereja dalam pernikahan warga gereja. Bila disimak gagasan Gus Menag, kecurigaan ini tak berdasar karena peran gereja dalam pastoral dan pemberkatan pernikahan tidak diambil alih oleh negara melalui KUA. Sekalipun demikian, dengan memindahkan pencatatan pernikahan dari Dukcapil ke KUA terkesan bahwa pernikahan, yang dalam pandangan Protestan merupakan akta sipil, akan melulu menjadi urusan agama. Idealnya tidak demikian!
Kelima, banyak hal lain yang harus dikerjakan dan dijelaskan pemerintah, antara lain: Bagaimana sinkronisasi tugas antara Kemenag, Kemendagri, dan Kemenkumham menyangkut perubahan dan implementasi gagasan ini? Bagaimana perubahan UU Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaannya yang mengakomodir gagasan revitalisasi KUA ini?