JAKARTA – Adanya tindakan represif yang dialami mahasiswa Papua, pada 17 Agustus 2019, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) tidak tinggal diam. PGI lewat humasnya, Irma Riana Simanjuntak mengirim siaran pers PGI kepada media.
Isi siaran pers PGI dimulai dengan menceriterakan kronologi yang diperolehnya. Pada saat memasuki perayaan kemerdekaan Republik Indonesia ke-74, ironisnya sejumlah mahasiswa asal Papua mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan atas tuduhan merusak bendera merah putih dan membuangnya ke selokan pada 16 Agustus 2019 di Surabaya, Jawa Timur.
Kekerasan dalam bentuk verbal dan fisik pun dialami mahasiswa Papua saat terjadi pengepungan di Asrama Papua Surabaya oleh aparat dan massa. Pada tanggal 17 Agustus 2019, Polisi bersenjata lengkap masuk ke dalam asrama dan membawa 43 mahasiswa Papua ke Markas Kepolisian Resort (Mapolres) Surabaya yang disertai suara tembakan dan tindakan kekerasan.
Tindakan represif juga dialami oleh mahasiswa Papua di sejumlah daerah lain seperti Malang, Ternate, Ambon, dan Jayapura. Setidaknya 19 mahasiswa Papua terluka dalam kejadian tersebut, sementara lainnya ditangkap kepolisian.
Atas kejadian tersebut, Majelis Pekerja Harian Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia menyatakan:
- Menyesalkan tindakan represif yang dilakukan oleh aparat dalam menangani masalah ini sehingga jatuhnya korban mahasiswa asal Papua.
- Meminta Kepolisian Ressort Kota Besar Surabaya, KODIM Surabaya dan Pemerintah bertanggungjawab atas pembiaran tindakan pengepungan dan perusakan dengan nada rasis dan diskriminasi. Hal ini merupakan persekusi dan melanggar UU No. 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnik.
- Meminta seluruh masyarakat untuk menghentikan rasisme dan menghargai warga Papua sebagai sesama dan Ciptaan Tuhan. Karena setiap WNI, apapun latarbelakangnya, berhak mendapat perlakuan yang manusiawi sesuai dengan amanat konstitusi dan nilai-nilai Kristiani: “Kasihilah sesama mu manusia seperti dirimu sendiri.”
- Penyelesaian masalah Papua memerlukan pendekatan kultural bukan hanya oleh pemerintah, tetapi juga segenap masyarakat terutama di luar Papua. Hanya dengan demikian masyarakat Papua dapat merasakan bagian integral dari masyarakat Indonesia. Sebaliknya, segala bentuk stigma, diskriminasi dan kekerasan terhadap masyarakat Papua akan melahirkan lingkaran kekerasan dan kebencian dan sudah pasti menciderai kemanuasiaan.
- Meminta kepada semua masyarakat untuk manahan diri dari segala bentuk provokasi yang hanya menimbulkan benturan, dan mengakibatkan korban sia-sia. Demikian siaran pers yang dikeluarkan PGI, 19 Agustus 2019 di Jakarta.
Lewat tabloidmitra.com, Sekretaris Umum (Sekum) PGI Pdt. Gomar Gultom menyampaikan keprihatinan mendalam atas bentrok dan kekerasan yang dialami oleh mahasiswa di Surabaya dan Malang. “Saya mengajak semua pihak untuk mengedepankan dialog dalam menyelesaikan berbagai masalah. Tindakan main hakim sendiri dengan tindak kekerasan tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Saya semakin prihatin dengan adanya pelecehan faktor kesukuan dari para mahasiswa tersebut,” katanya.
Pdt. Gomar Gultom mengimbau aparat negara untuk mengusut tuntas kasus ini dengan juga memperhatikan amanat UU no 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnik.
“Peristiwa ini semakin memperkeruh penyelesaian masalah Papua yang sudah cukup ruwet selama ini. Sejatinya, penyelesaian masalah Papua memerlukan pendekatan kultural bukan hanya oleh pemerintah, tapi juga oleh segenap lapisan masyarakat, terutama masyarakat di luar Papua. Hanya dengan demikian masyarakat Papua dapat merasakan bahwa mereka adalah bagian integral dari masyarakat dan bangsa Indonesia,” tegasnya dan menambahkan, sebaliknya, segala bentuk stigma, diskriminasi, dan kekerasakan terhadap masyarakat Papua hanya akan melahirkan lingkaran kekerasan dan kebencian, dan sudah pasti menciderai kemanusiaan. (NBS)