YOGYAKARTA – Bagi pembaca setia MITRA INDONESIA cetak pasti kenal dengan wartawan MITRA INDONESIA, Djoko Widagdo. Pasalnya wartawan Djoko Widagdo selain terus memberitakan berbagai kegiatan yang terjadi di lingkungan umat Kristen, juga getol “mengembangkan” MITRA INDONESIA cetak di Solo, Klaten, Sragen, Salatiga dan Yogyakarta, bahkan sampai ke Jawa Timur.
Bagi wartawan – wartawan MITRA INDONESIA cetak, tentu tidak dapat memungkiri, “jasa – jasa” nya Djoko Widagdo atas perjalanan MITRA INDONESIA cetak di Jawa Tengah dan Jawa Timur begitu besar.
Tapi dalam perjalanan, MITRA INDONESIA cetak, tepatnya pada 6 Januari 2017 harus mendapatkan kabar “duka”, Djoko Widagdo dipanggil Tuhan di Rumah Sakit di Solo pada 6 Januari 2017.
Masa hidupnya, Djoko Widagdo sudah membekali putrinya Kartika Nathania Ariesta dengan membawa dan memperlihatkan kerja – kerja jurnalis. Bahkan , Kartika Nathania Ariesta yang akrab disapa Tika ini masih duduk di SMP sudah menjadi penyiar salah satu radio di kota Solo.
Ketika Djoko Widagdo menghadap sang pencipta, Tika seakan tidak mau keluar dari dunia ayahnya. Kepergian ayahnya menghadap sang pencipta, telah memberanikan diri Tika untuk menjadi “wartawan” atau penulis di MITRA INDONESIA cetak.
Seiring dengan waktu, Tika terus mengasa kemampuan jurnalistiknya, sambil terus sekolah – sampai kuliah di Universitas Pembangunan Nasional (UPN) “Veteran” Yogyakarta, jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Pada bulan Juli 2024, semua personil yang ada di media ini ikut mengungkapkan syukur kepada Tuhan dan ikut gembira ketika putri satu – satunya Wartawan MITRA INDONESIA (Alm) Djoko Widagdo, diwisuda bersama lebih dari 800 wisudawan UPN Veteran Yogyakarta, dengan IPK 3.89 (cumlaude/dengan pujian).
Pencapaian Tika dengan IPK 3.89, status Cumlaude tentu tidak mudah. Untuk mengetahui apa dan bagaimana Tika bisa mencapai itu, media ini mendapatkan informasi dari Ibunya, bernama Suharti SR
Bagi Suharti SR, hal yang dicapai Tika, tentu sebuah kebanggaan di tengah keluarga. Tapi hal itu memang sudah dapat dilihat dari pribadi Tika sendiri, yang sejak kecil sudah berani tampil dan memimpin rekan – rekannya dengan cerdas, teliti dalam segala hal.
“Tika selalu mempersiapkan hal – hal dengan mandiri dan teliti serta perfect. Tika mempersiapkan setiap kegiatan yangakan dilakukan jauh-jauh hari dengan detail dan didorong keinginan untuk hasil terbaik. Kalau punya keinginan, dikejar sampai dapat,”ceritera ibunya.
Kelebihan Tika lainnya, ungkap Suharti SR, yaitu Tika sekali diajarin pasti langsung nyantol. Tika juga suka menolong serta perhatian sama teman, bahkan suka memberi hadiah kepada teman – temannya tanpa perhitungan
“Saya sebagai ibu bahagia dan bersyukur saat mendampingi Tika Wisuda. Walau saya harus jujur, seakan tidak percaya. Kenapa? Karena saya harus ungkap bagaimana sulitnya menjalani hidup ini sejak ditinggal ayahnya (Djoko Widagdo). Ayahnya Tika dipanggil Tuhan, saat Tika masih SMP kelas IX
Tapi Saya dan Tika menyadari hidup harus dijalani, dan harus dilanjutkan dengan kuat, penuh sabar tatap ke depan. ”Kalau dulu semua urusan sekolah yang mengurusi ayahnya, sampai berangkat pulang sekolah bareng ayahnya yang kebetulan juga guru mengajar di sebuah SMK Kristen dekat sekolah Tika. Setelah ayahnya berpulang situasi jadi berubah semua saya yang mengantar jemput sekolah, mempersiapkan biaya sekolah dan biaya untuk melanjutkan hidup. Kuliah di Yogya otomatis harus kos, namun kami boleh melalui semua ini hanya karena kebaikan dan kemurahan Tuhan,”
Kepada media ini, Tika mengungkapkan saat menjalani proses wisuda perasaan hatinya campur aduk antara bahagia, bangga, dan haru. Bahagia karena akhirnya berhasil menyelesaikan pendidikan yang diimpikan—yang dilalui dengan berbagai rintangan karena harus bolak balik Jakarta – Yogya – Solo – Bandung. Bangga karena semua usaha dan kerja keras selama ini akhirnya terbayar. Haru karena mengingat perjuangan ibu sebagai single parent yang membiayai sekolah dari SMA sampai lulus kuliah sendiri, serta dukungan Pak Suratinoyo dan keluarga yang sudah membantu dalam banyak hal dari dulu,”.
Banyak duka dan suka yang diungkapkan Tika untuk menyelesaikan pendidikannya sampai Wisuda. “Banyak sekali suka dan duka yang saya alami selama menempuh pendidikan. Sukanya tentu ketika berhasil memahami materi – materi yang sulit dan mendapatkan nilai yang baik, mendapatkan teman-teman baru, mengalami experience yang bermacam – macam melalui berbagai hal seperti magang, organisasi, kepanitiaan dan lain-lain,”
“Duka yang paling terasa adalah tidak hadirnya Ayah dalam proses studiku, kadang juga merasa terpressure karena tidak enak kalau membebani ibu sendiri dalam hal financial atau yang lain. Kadang agak ‘iri’ dengan mahasiswa lain yang mungkin cuman mikir soal studi, tapi aku harus mikir gimana dapat uang tambahan atau mikir gimana supaya cari kerja secepat mungkin. Tapi hal-hal itu juga yang membuat saya semakin semangat untuk menyelesaikan pendidikan ini dengan baik, sebagai bentuk penghormatan kepada ayah dan persembahan untuk ibu,”.
Tika berkata, wisuda yang diperolehnya adalah sebuah bukti dari komitmennya untuk ayahnya yang selalu mendidiknya agar menjadi yang terbaik. Tika mungkin mau mengungkapkan, walaupun tidak ada ayahnya di sampingnya tetapi ia tetap melakukan semua yang pernah ayahnya ajarkan.
“Ayah yang selalu ingatkan agar dalam melakukan harus yang terbaik dalam segala hal dan menjadi yang paling baik/extraordinary tidak boleh yang biasa – biasa saja. Pesan – pesan itu menjadi motivasiku tiap hari dan secara tidak sadar shaping myself menjadi ambisius dalam mencapai sesuatu,”
“Ayah selalu menjadi pendukung terbesar saya, memberikan semangat dan nasehat setiap kali saya merasa kesulitan. Karena ayah selalu yang mengarahkan saya dalam bidang akademik maupun non akademik. Bahkan masuk jurusan HI ini sepertinya sebagian besar juga “hasil doktrin” ayah. Kepergian ayah menjadi titik balik yang sangat berat. Saya merasa kehilangan arah, mungkin tidak sadar seefek itu waktu dulu, tapi langsung mengefek ke akademis, nem UN SMP saya sangat jauh dari ekspektasi dan akhirnya saya gagal masuk SMA favorit tujuan saya (karena waktu itu ayah meninggal waktu saya SMP kelas 9 semester kedua/semester akhir),”
Tika mengakui, justru di situlah ia menemukan kekuatan yang baru. “Saya belajar untuk lebih mandiri dan memotivasi diri sendiri. Setiap kali saya merasa ingin menyerah, saya selalu ingat pesan ayah untuk terus berjuang. Itu yang membuat saya bisa menyelesaikan pendidikan ini dengan baik, seperti berhasil lolos di SBMPTN di PTN, bisa mengikuti program magang kampus merdeka, aktif berogranisasi dan lain-lain. Jadi setiap saya merasa down saya berusaha untuk mengingat perjuangan ibu, nasehat ayah, dan dukungan orang terdekat seperti Pak Suratinoyo,”
Tika menegaskan, kadang ia merasa walaupun Ayah tidak ada, tapi penyertaan Ayah dan Tuhan Yesus ada disetiap langkah hidupnya. “Contohnya sekarang bisa kerja di Kompas Gramedia yang sama – sama perusahaan media, lalu sempat handle komunitas jurnalisme dan bahkan ketemu teman jurnalis ayah dulu. Padahal tidak ada niatan di bidang jurnalistik dan bukan apply di bidang jurnalistik tapi tetep saja tidak menyangka sering bersinggungan dengan hal-hal seputar yang ayah geluti,”ceriteranya.
Seluruh yang ada di MITRA INDONESIA ikut bangga, senang dangan pencapaian Tika, sekaligus mengucapkan selamat dan sukses.