Tommy Djaja

Video ceramah Ustadz Abdul Somad (UAS) tentang “Jin kafir” dalam salib menuai beragam tanggapan/reaksi masyarakat. Ada pihak yang melaporkan kasus tersebut ke pihak Kepolisian karena dianggap sebagai penistaan agama, ada juga pihak yang tidak setuju kasus tersebut dibawa ke rana hukum diantaranya Majelis Ulama Indonesia, Muhammadiyah, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan tokoh-tokoh agama lainnya yang lebih memilih penyelesaian secara kekeluargaan dan kultural.

Pihak yang membawa kasus tersebut ke ranah hukum menuntut perlakuan yang sama seperti pada kasus Ahok dan kasus TOA. Jadi ini berkaitan dengan rasa Keadilan dan Kepastian hukum. Ternyata ada pihak yang bereaksi terhadap laporan polisi tersebut dengan melakukan demo bela ulama di Batam untuk mendukung UAS. Untung saja demo semacam itu tidak meluas ke berbagai daerah dan tidak ada demo “tandingan” bela salib. Kalau jadi seperti itu, yang ada akan terjadi kejadian seperti berbalas pantun yang berjilid-jilid  dan dalam kondisi demikian sangat rawan ditunggangi, ujung-ujungnya terjadi konflik horisontal.

Dari apa yang terjadi, persoalan tersebut dapat ditinjau dari tiga aspek yaitu:

Pertama, dari aspek Penegakan hukum. Ada tiga unsur yang selalu diperhatikan dalam Penegakan hukum yaitu unsur Kepastian hukum, Keadilan dan Kemanfaatan. Jika mengacu pada unsur Kepastian hukum dan keadilan maka kasus UAS harus dibawa ke ranah hukum tetapi jika mengacu pada unsur Kemanfaatan yaitu manfaat pelaksanaan/penegakan hukum bagi masyarakat, maka kalau kasus tersebut dibawa ke ranah hukum akan lebih banyak mudaradnya dari pada manfaatnya.

BACA JUGA  “Merebut” Ketum di Mubes GPdI, Mau Pakai Kekuatan Apa?

Kedua, dari aspek Pembentukan Undang-Undang. Ada tiga landasan dalam pembentukan Undang-Undang yaitu landasan Filosofis, Yuridis dan Sosiologis (dukungan masyarakat dan manfaat bagi masyarakat).

Jika mengacu pada tanggapan MUI, Muhammadiyah, PGI dan tokoh-tokoh agama lainnya yang merupakan representasi dari umat beragama di Indonesia maka dapat disimpulkan bahwa mayoritas umat beragama di Indonesia tidak lagi menghendaki penyelesaian kasus penistaan agama melalui ranah hukum tetapi melalui ranah kultural, kekeluargaan (kearifan lokal).

Itu berarti pasal penistaan agama telah kehilangan landasan sosiologis, lalu untuk apa dipertahankan kalau hanya menjadi sumber konflik horisontal?

Ketiga, dari aspek Iman Kristiani. Salib bagi umat kristiani adalah sesuatu yang mulia karena di atas salib itu Yesus Kristus menghentikan murka Allah dari atas, agar tidak turun menimpah manusia yang berdosa, dan dari bawah, Yesus Kristus menghentikan dosa manusia agar tidak naik kehadapan Allah untuk dihakimi.

Salib itu agung ustad, itu sebabnya kami tersinggung dan terluka. Tetapi karena Yesus Kristus “Jin Kafir” itu mengampuni UAS maka kami juga memaafkan ustad. Salib mempunyai makna pengampunan dan rekonsiliasi maka jangan jadikan salib yang dihinakan itu sebagai dasar untuk menghakimi/menghukum UAS karena UAS tidak tahu apa yang diperbuatnya.

Memang kasus UAS tersebut seperti makan buah simalakama, mau dibawa ke ranah hukum pasti didemo, tidak dibawa ke rana hukum juga didemo.

BACA JUGA  Polemik GPdI Jl. Hayam Wuruk, Yogyakarta

Solusi yang adil dan berimbang untuk kasus tersebut adalah:

  1. Agar semua pelapor mencabut laporan polisi terhadap kasus tersebut
  2. Agar MUI, Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, PGI, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Perwakilan Umat Buddha Indonesia, Parisada Hindu Dharma Indonesia, tokoh-tokoh agama dan masyarakat, mendesak Pemerintah dan DPR-RI agar mencabut/mengeluarkan pasal tentang penistaan agama dari Undang-Undang.

Setelah pasal tersebut dicabut, pemerintah dapat membentuk Lembaga atau badan atau sejenisnya yang berfungsi menyelesaikan semua kasus-kasus yang dikategorikan sebagai penistaan agama dengan cara kekeluargaan, kultural (kearifan lokal) sesuai dengan keinginan mayoritas umat beragama di Indonesia.

Lembaga/Badan tersebut bisa diberikan kewenangan untuk memberikan sanksi atau merekomendasikan sanksi administrasi, sosial atau sanksi lainnya, tinggal dirumuskan.

Jika pasal penistaan agama tersebut tidak dicabut maka apapun opsi penyelesaian kasus UAS tetap ada potensi konflik horisontal, sekarang atau nanti, kalau penyelesaiannya dirasa tidak adil. Itu sama saja dengan menyimpan bom waktu di dalam kamar tidur kita.

*Tommy Djaja, SH., MH. Pengacara.

Tulisan ini adalah kiriman dari pembaca tabloidmitra.com, isi dari tulisan di luar tanggung jawab redaksi.

Apa pendapat anda tentang post ini ?
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini