JAKARTA – Dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun ke 60, Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia (PIKI), tanggal 19 Desember 2023, dan memperingati Hari Ulang Tahun ke-78 Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 2023, serta memperingati HUT ke-184 gedung Gereja Immanuel Jakarta, 24 Agustus 2023, digelarlah Seminar Kebangsaan.
Tema yang diangkat “Membangun Karakter dan Memperkokoh Kedaulatan Bangsa serta Menegakkan Keadilan Melalui Toleransi Beragama Menuju Indonesia Emas”, digelar
Jumat, (25 Agustus 2023), pukul 14.00 – 18.00 WIB di Gereja Immanuel Jakarta, Jl. Medan Merdeka Timur No.10, Gambir, Jakarta Pusat dan diikuti secara online oleh masyarakat lewat DPD dan DPC PIKI seluruh Indonesia.
Ketua Umum PIKI, Dr. Badikenita Putri Br. Sitepu, S.E., M.Si. dalam sambutan pembukaan seminar Kebangsaan atas kerjasama antara DPP PIKI, DPD PIKI DKI Jakarta bersama GPIB Immanuel, terlebih dahulu berterima kasih kepada Ketua Panitia, dalam hal ini Ketua DPW PIKI DKI Jakarta, Royke Turang,S.E, dan Kepada Pendeta termasuk Majelis Jemaat GPIB Immanuel.
Pada kesempatan itu, Dr. Badikenita Putri Br. Sitepu, S.E., M.Si, mengungkapkan PIKI hadir di Indonesia sejak tahun 1963 dan akan berhari ulang tahun 19 Desember 2023 nanti. “PIKI sudah berumur 60 tahun, sudah senior,”ungkapnya dan katanya PIKI juga sudah hadir di 34 Provinsi, dan sekitar 60 Kabupaten/Kota di Indonesia.
Sebagai warga bangsa, di tahun politik ini, Dr. Badikenita Putri Br. Sitepu, S.E., M.Si. mengimbau kepada masyarakat bangsa, di dalamnya ada umat Kristiani untuk ikut ambil bagian dalam pemilihan dan ambil bagian dalam pengawasan jalannya pemilihan umum secara serentak, termasuk pemilihan kepada daerah secara langsung.
Bicara soal seminar yang digelar oleh PIKI dalam rangka HUT ke 60, Dr. Badikenita Putri Br. Sitepu, S.E., M.Si. berharap akan muncul hal – hal baik untuk digunakan dalam berbangsa dan bernegara—khususnya membangun kebersamaan, toleransi di tengah masyarakat yang plural. “Semua yang kita usahakan dan lakukan adalah untuk menuju Indonesia emas di tahun 2045,”paparnya.
Sedangkan Wakil Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Dr. Drs. Karjono, S.H., M.Hum, yang diminta Dr. Badikenita Putri Br. Sitepu, S.E., M.Si, untuk dapat membuka secara resmi seminar, mengajak masyarakat Indonesia menundukkan diri untuk sama – sama menghormati, menjunjung tinggi Sila Ketuhanan yang Maha Esa. “Esa itu tunggal, Esa itu kesatuan, Esa itu persatuan. Ini harus sama – sama kita junjung tinggi terkait Ketuhanan yang Maha Esa,”.
Pada kesempatan itu, Dr. Drs. Karjono, S.H., M.Hum, mengungkapkan Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 4 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan.
“Di dalam PP ini istimewanya, di dalam Pancasila ada kewarganegaraan. Artinya kalau warganegaranya wajib, tentunya Pancasila bisa diterapkan di seluruh sistem. Lebihnya lagi tidak hanya dipendidikan formal saja tetapi non formal dan informal,”paparnya.
Usai memberikan sambutan, Dr. Drs. Karjono, S.H., M.Hum, membuka secara resmi seminar dengan menghadirkan permbicara, Prof. Dr. Musdah Mulia, MA., APU dan Prof. John Titaley, Th.D, dengan moderator Pdt. Abraham Ruben Persang, M. Th (Ketua PHMJ GPIB Immanuel).
Prof. Dr. Musdah Mulia menegaskan kemerdekaan Indonesia bukanlah pemberian tetapi melalui perjuangan yang mengorbankan nyawa. Jauh sebelum kemerdekaan, tepatnya pada Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928 atau 17 tahun sebelum kemerdekaan 1945, para pemuda
sudah berkumpul menyatakan satu keprihatinan, ketertindasan dan ketidak adilan yang dialami bersama akibat dari penjajahan.
Pemuda – pemuda ini kumpul dari semua suku bangsa yang ada dan berkomitmen bertekad untuk bersama. “Itu sebabnya Indonesia ini unik dan harus dipeliharan—itu fakta,”paparnya.
Prof. Dr. Musdah Mulia meminta peserta seminar untuk bersungguh – sungguh mengupayakan semua warga negara Indonesia benar – benar merdeka dari segala bentuk diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan berbasis apapun.
Founder of Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) ini meminta kepada peserta untuk memperhatikan pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945. “Jikalau tuan – tuan terima baik marilah mengambil dasar negara yang pertama, kebangsaan Indonesia. Kebangsaan Indonesia yang bulat, bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Sulawesi atau lain – lain. Tapi kebangsaan Indonesia yang bersama – sama menjadi dasar satu national staat,”
“Jelas, kita semua adalah pemilik sah republik ini. Jadi tidak ada istilah mayoritas dan minoritas—kita semua sepadan sebagai pemilik bangsa ini. Karena itu rumusan yang disepakati dalam proklamasi kita bahwa Indonesia adalah negara demokrasi, bukan negara teokrasi,”
Prof. Dr. Musdah Mulia, mengatakan demokrasi itu esensial, bukan sekedar prosudural. “Saya harus akui Indonesia baru sampai pada demokrasi prosudural belum sampai pada esensial atau subtantif, dimana seluruh warga negara merasakan kemerdekaan dalam hal, hak sipil, hak politik, bebas dari semua bentuk diksriminatif. Termasuk bebas berkepercayaan dan beragama,”.
“Kalau kita bicara demokrasi itu berarti kita bicara Bhineka Tunggal Ika, tentang keberagamaan. Jadi semua upaya penyeragaman itu bertentangan dengan konstitusi, bertentangan dengan inti demokrasi kita,”tuturnya.
Prof. John Titaley, dalam pandangannya lebih mengkritisi kehidupan umat Kristiani dalam memahami tentang agama. Dalam pandangannya umat Kristiani lebih banyak disibukkan dengan yang namanya ibadah dari Minggu sampai Senin.
Ibadah yang diikuti kata Prof. John Titaley, lebih banyak untuk kepentingan dan kepuasan diri sendiri. Padahal memahami Firman Tuhan, beribadah itu adalah juga untuk menyapa orang yang di luar tempat ibadah.
“Gereja harus memperbaiki diri, bukan menjadi eksklusif untuk diri sendiri tetapi harus inklusif. Ubahlah rutinitas ibadah kita menjadi sosial—menyapa orang lain,”pintanya.
Di sisi lain, Prof. John Titaley, meminta peserta yang hadir untuk membela dan mempertahankan Indonesia yang demokratis seperti yang pernah dipraktikkan oleh Bung Karno yaitu memberikan semua warga negara Indonesia kesamaan hak tanpa melihat suku dan agama atau budaya serta bahasa.
Contoh demokratis yang dimaksud Prof. John Titaley, di antaranya Ketika bangs aini memberikan tempat kepada Dr. Johannes Leimena. “Prof.Dr. Leimena dari suku kecil (Maluku), agamanya Kristen (minoritas) dibandingkan dengan Soekarno suku Jawa, agamanya Muslim, tapi Prof.Dr. Johannes Leimena bisa menjadi pejabat—sama seperti Soekarno,”katanya.
Begitupun dengan Pdt. Wilhelm Johannis Rumambi yang diangkat menjadi Menteri. “Adakah lebih baik dari itu yang harus dituntut pada bangsa ini? Tidak ada. Oleh karena itu ketika UU Dasar yang disepakati 18 Agustus 1945, menghasilkan kesetaraan kemanusiaan seperti itu, itu yang harus kita jaga dan bela dalam kehidupan bergereja kita,”jelasnya dan menegaskan hal itu dipahaminya dengan iman Kristiani sebagai pekerjaan Roh Kudus.
Untuk itu, Prof. John Titaley, merasa aneh kalau umat Kristiani dalam hidup bergereja tidak berjuang untuk mempertahankan hal itu melalui kritik – kritik kepada pemerintah soal kesetaraan dan kesamaan hak.
“Itu panggilan kita, bukan sebatas beribadah setiap hari (Senin – Minggu) lewat berbagai pelayanan kategorial yang hanya mengurus diri sendiri, dan tidak mau tahu dengan apa yang terjadi di luar. Tapi Ketika ada gedung Gereja yang diributin kita kaget, salahnya di mana? Salahnya di kita,”kata Prof. John Titaley.
“Mengapa? Karena dasar yang sudah baik itu tidak turun secara tegak lurus seperti tadi saya katakan. Semua orang harus mengalami kemerdekaan. Tapi Gereja tidak melihat itu sebagai masalah karena hanya membaca alkitab, tanpa menyadari di luar alkitab pun Tuhan juga berfirman. Jangan berpikir Tuhan hanya berfirman dari Kejadian sampai Wahyu, di luar itu juga Tuhan berfirman. Di Indonesia saya berpikir dan saya meyakini Tuhan berfirman yaitu untuk menjadikan semua orang setara di bangsa ini,”.