
JAKARTA – Kamis (2/5/2019) digelar acara dialog bersama tokoh-tokoh agama “Merawat Kerukunan Pasca Pemilu 2019” di bilangan Cikini yang dihadiri para tokoh agama termasuk Sekum PGI Pdt. Gomar Gultom.
Pertemuan itu pun masuk dalam berita di media online. Salah satunya, ada media online yang menulis berita dengan judul “Nilai kejujuran hilang dalam Pemilu 2019.” Isinya mengutip dari potongan pernyataan Pdt. Gomar Gultom. “Dari berbagai studi terlihat demokrasi yang paling dekat dengan nilai kejujuran. Karena di dalamnya ada mekanisme terukur yang bisa dilihat dan dinikmati semua,” demikian potongan pernyataan Pdt. Gomar Gultom, yang ditulis media online tesebut.
Lebih dari itu, media online itu menambahkan “Nilai-nilai kejujuran inilah, menurut Gomar, yang hilang dalam pelaksanaan Pilpres dan Pileg 2019. Dan ini problem kita. Bangsa kita perlu belajar demokrasi substansial,” demikian kata yang ditambahkan.
Berita itu pun menjadi viral dan seakan dicoba dibelokkan pernyataan Pdt. Gomar Gultom dengan sebuah opini di mana PGI juga melihat proses Pemilu 2019 yaitu Pilpres dan Pileg, tidak jujur dan penuh kecurangan.
Padahal, dalam dialog tokoh-tokoh agama tersebut, Pdt. Gomar Gultom tidak pernah menyebutkan bahwa nilai-nilai kejujuran telah hilang dalam pelaksanaan Pilpres dan Pileg 2019.
Dalam pertemuan itu, Pdt. Gomar Gultom, membuka pernyataannya dengan berkata memiliki tiga catatan yang harus mendapatkan perhatian bersama terkait dengan proses-proses demokrasi yang telah dan sedang berjalan, yang telah ditempuh sembari menunggu hasil dari pemilihan Presiden dan legislatif.
Catatan pertama dari Pdt. Gomar Gultom, warga bangsa Indonesia telah sepakat menempuh atau mengambil demokrasi sebagai kendaraan, sebagai jalan menuju cita-cita kemerdekaan Indonesia. Memang demokrasi belum merupakan sebuah kendaraan atau jembatan yang mumpuni, tapi bagaimanapun dari berbagai studi terlihat bahwa demokrasilah yang paling dekat dengan nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai kebenaran, nilai-nilai kejujuran dalam kerangka menata kehidupan bersama karena di dalamnya ada kepastian-kepastian, ada mekanisme terukur yang bisa dilihat oleh semua dan dinikmati oleh semua.
“Kalau melihat Pilpres dan Pileg kemarin, demokrasi kita di Indonesia telah kehilangan etika berdemokrasi. Prosedural demokrasi itu dijunjung sebegitu rupa, semua kita ikut dalam prosedurnya dan mekanismenya, (tapi) setelah itu nilai-nilai subsentif dalam demokrasi itu tidak kita ikuti. Kalau kita tidak menang semua elemen-elemen yang ada dalam mekanisme (demokrasi) itu hendak ditiadakan atau dianggap tidak ada. Nah, ini problem kita dalam demokrasi. Oleh karena itu rasa-rasanya ke depan bangsa kita ini perlu belajar lebih banyak lagi tentang berdemokrasi (secara) subtansial, bukan hanya prosedur demokrasi itu sendiri,” tegasnya.
Catatan Kedua Pdt. Gomar Gultom, berkata sepertinya semua orang menginginkan kebenaran berpihak tetapi problem terbesar (adalah) apakah semua orang mau berpihak kepada kebenaran? Dan inilah sekarang yang menjadi problem post truth yang disebut sekarang ini, di mana propaganda-propaganda dilakukan membungkus kebohongan seolah-olah itulah kebenaran. “Saya kira ini sudah dipraktikkan sejak zaman nazi, propaganda-propaganda seperti itu. Dan ini kita pakai lagi sekarang. Tidak hanya di Indonesia tetapi menjadi gejala mondial sekarang ini, berupa hoaks dan sebagainya. Saya kira di sini peran media sangat penting. Tentu kita harus menjamin kebebasan berpendapat, kebebarasan berekspresi. Tetapi kalau publik menelan mentah-mentah informasi yang ada sekarang ini, yakni yang ada di media, apa jadinya bangsa kita ini. Nah, di sini pentingnya media yang berinisiatif damai dan mengedepankan kesejukan. Tentu saja kebebasan berpendapat dan kebebasan berekspresi tetap harus kita jaga,” katanya.
Catatan ketiga, Pdt. Gomar Gultom melihat bangsa Indonesia memiliki persoalan ideologi yang belum tuntas. Sejak 1998 memang Pancasila terkesan terpinggirkan. “Kita menurunkan rezim ketika itu dan pada saat yang sama kita ikut meminggirkan bukan hanya rezimnya tetapi juga ideologi bangsa kita yakni Pancasila karena rezim pada zaman itu memang menggunakan Pancasila menjadi tools dalam rangka memberangus lawan-lawan politiknya,” terangnya dan menambahkan, oleh karenanya–euphoria reformasi yang lalu membuat kita juga ikut menggulingkan Pancasila ketika itu. Akibatnya, terjadi kekosongan ideologi di kalangan angkatan muda. “Mereka tidak memiliki ideologi Pancasila karena sudah hilang dari pendidikan SD, SMP maupun SMA. Nah, kekosongan ideologi ditambah dengan realita terjadinya kemiskinan di tengah-tengah umat dan ketidakadilan masih berlangsung di tengah-tengah bangsa kita, ini adalah kombinasi yang sangat mudah dimanipulasi, diprovokasi oleh kepentingan-kepentingan tertentu.”
Diakhir, Pdt. Gomar Gultom menuturkan tokoh-tokoh agama dapat mengambil peran untuk kembali mengajak umat menghidupi esensi beragama. Bukan agama sebagai simbol-simbol, bukan agama hanya sebagai kulit luarnya tetapi esensi beragama itu sendiri, karena semua agama, baik Kristen, Islam, Budha, Hindu, Katolik, Konghucu adalah dalam kerangka menawarkan damai, menawarkan kemanusiaan, menawarkan kesetaraan dan kejujuran. “Tokoh-tokoh agama, agama apapun, saya undang untuk menghidupi itu dan mengajak umat juga menghidupi nilai-nilai itu,” pintanya.
Setelah itu, ada sesi tanya jawab. Di sesi tanya jawab itupun tidak ada Pdt. Gomar Gultom Gultom mengatakan Pilpres dan Pilpres 2019 berjalan tidak jujur alias curang.
Untuk mengetahui lengkap komentar dari pdt. Gomar Gultom dapat menonton di Youtube
dengan judul Dialog Bersama tokoh-Tokoh Agama Pasca Pemilu 2019. (NBS)
Berkata mengenai hal2 sensitif lebih baik gunakan kalimat pendek yang tepat sasaran. Cegah pihak tertentu untuk mengedit sesuai keinginannya. Kejadian sudah berulang kali. Belajarlah dari situ.
Mitra indonesia harus bisa ber mitra dengan pemerintah, bersinergi, dan selalu terbuka untuk semua denominasi gereja. Baik yang ada di kota maupun di pedesaan. Mengirim koresponden di setiap kota dan pedesaan…salam..TYM..