Jakarta – Jumat (28/5/2021) 10 dari 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) datang ke Graha Oikumene dan bertemu Ketum PGI Pdt. Gomar Gultom. Salah satunya adalah Novel Baswedan.
Dalam pertemuan itu Novel cs bercerita tentang isu taliban dan radikal yang selama ini dihembuskan. Kemudian usai pertemuan, dalam konferensi pers Pdt. Gomar menyatakan akan menyurati presiden Jokowi menyusul keprihatinan atas polemik 75 pegawai KPK berstatus tidak memenuhi syarat (TMS) berdasarkan tes wawasan kebangsaan (TWK). Pernyataan Pdt. Gomar menuai polemik dan PGI dicap mendukung ‘Kadrun’.
Mantan politisi partai Demokrat, Ferdinand Hutahaean mengatakan PGI khususnya Pdt. Gomar Gultom untuk tidak usah mencampurkan urusan gereja pada permasalahan politik.
“Menurut saya PGI terlalu cepat bilang ada pelemahan KPK, sebab indikatornya apa? Kalau kalimat itu keluar hanya karena 75 orang yang TWK yang tidak lulus (itu tidak tepat). (Disebut) pelemahan ketika KPK ada intervensi dari berbagai pihak,” katanya dalam webinar Komunitas Kristen Indonesia “Perlukah Organisasi Gereja Bersikap Terhadap TWK KPK”, Rabu (2/6/2021).
Ia meminta Pdt. Gomar untuk mencari informasi apakah yang disampaikan Nover cs itu benar adanya. Pasalnya, TWK diselenggarakan oleh lembaga negara yang kompeten, termasuk para asesornya.
“Saya melihat pak Gomar buru-buru bersikap dan berpendapat. Seharusnya PGI boleh mengomentari TWK, tapi pendapatnya harus objektif. Ini PGI (seolah-olah) berpihak pada 75 orang yang tidak lulus TWK,” ungkapnya.
Ketua PGI periode 2004-2014 Pdt. Andreas Yewangoe mengatakan omongan orang yang menyebut keluar dari tupoksi tidak tepat. Sebab, sejak tahun 1970 (saat itu namanya masih DGI) dalam konsultasi nasional di Sukabumi dirumuskan bahwa PGI tidak hanya menggumuli hal-hal yang bersifat rohani saja melainkan juga yang menyangkut kebangsaan.
“Lalu sidang DGI tahun 1971 tegas mengatakan bahwa gereja diutus ke dalam dunia. Karena itu Injil di representasikan bahwa kita bukan hanya membahas soal gereja saja tapi juga soal sosial (masyarakat),” ungkapnya.
Soal kedatangan Novel cs, menurut Pdt. Yewangoe itu adalah hal yang biasa terjadi seperti PGI sering juga menerima tamu lainnya. Mereka berhak datang untuk menyampaikan keluhan dan PGI ada untuk mendengarkan keluhan mereka.
“Tapi memang yang perlu digaris bawahi, keluhan itu belum tentu benar 100% dan belum tentu juga salah 100%. Jadi dibutuhkan kepekaan. Paling tidak keluhan itu ditanggapi sebagai sesuatu yang berharga dan kita bertindak menyalurkan keluhan itu kepada pihak-pihak yang berwenang,” kata.
“Dalam kasus ini keluhan-keluhahn ini dicek lagi pada pimpinan KPK. Dan sebagai lembaga (PGI) mencatat, prihatin dan meneruskan kepada lembaga-lembaga terkait. Hingga pada akhirnya yang ditolong adalah KPK itu sendiri,” tambah Pdt. Yewangoe.
Pendeta sekaligus anggota dewan pengarah BPIP ini mengatakan sikap PGI adalah bentuk keprihatin dengan upaya-upaya pelemahan KPK yang terjadi selama ini. “Kita menegaskan kembali supaya KPK pada treknya, karena itu keprihatinan PGI bukan hanya 75 pegawai yang tidak lolos TWK tapi lebih kepada penguatan KPK. Tentu kita memberikan perhatian kepada teman-teman itu dan kita hormati itu sebagai hal yang berharga,” pungkasnya.
Gereja sebaiknya tidak terlibat dalam politik praktis.
Gereja terlibat masalah sosial ,jangan diartikan. Ikut terlibat politik praktis.
Betul itu. ..institusi gereja harus cermat dan wajib jd perdamai. … Kedepan, Gultom cs hrs lebih hati-hati spy terhindar dari jebakan politik yg halus.