Pertanyaan yang segera muncul dibenak kita selaku warga gereja, relevan dan seberapa pentingkah gereja diakreditasi? Siapa yang berhak melakukan proses akreditasi, apa standarnya, bagaimana mekanismenya lalu yang terpenting apa manfaatnya? Sekali lagi jika ini saya tulis di kolom ini, tidak lain betapa sesungguhnya gereja dalam mengelola pelayanan sudah dan harus bergerak ke arah tata kelola berorganisasi yang baik. Jujur harus diakui, bahwa dalam satu standar ini saja banyak varian yang ditemukan di lapangan. Ada gereja yang sudah sangat profesional tata kelolanya dan menerapkan parameter pelayanan hampir setara dengan standar ISO 9001 tapi banyak lagi yang masih belepotan untuk sekedar memenuhi ukuran minimal. Institusi gereja modern tidak bisa berdalih bahwa dengan tanpa standar saja sudah bisa beroperasional dengan baik, lalu untuk apa ikut-ikutan membuat standar pelayanan?
Gereja dan Standar Pelayanan
Jauh sebelum institusi modern menerapkan parameter kualitas pelayanan, gereja sudah lebih dulu memilikinya. Apa yang dirumuskan tri tugas panggilan gereja yakni koinonia (bersekutu), diakonia (melayani) dan marturia (bersaksi) adalah grand standart pelayanan yang mestinya dapat dengan mudah diturunkan menjadi beragam varian indikator yang dapat menolong mengukur tingkat keberhasilan dan kegagalan pelayanan.
Faktanya, beberapa gereja modern di pekotaan meski tidak diungkapkan secara terus terang banyak yang sudah dikelola super modern dengan fasilitas yang sangat nyaman. Tata kelolanya seperti perusahaan. Hubungan pendeta/pastur dengan jemaatnyapun mirip relasi bagaimana memperlakukan jemaat yang merupakan customer dalam sebuah perusahaan. Laiknya, gereja sebagai sebuah institusi sedang mencitrakan diri sebagai ‘spritual company’ dengan menerapkan standar ISO 9001. Salah satu standar manajemen mutu layanan yang diadopsi dari International Organization for Standardization (ISO). Menurut standar ini, sebuah organisasi harus menunjukkan kemampuan untuk memenuhi atau melampaui kepuasan pelanggan dalam hal fungsi produk, kualitas, dan kinerja.
Apakah praktik seperti itu salah? Sama sekali tidak. Tidak ada jemaat yang justru sedih jika gedung gerejanya bersih, tertata rapi, adminitasi tertib, keuangan gereja akuntabel, relasi jemaatnya akrab dan pengurus gereja responsif jika ada komplain. Justru ‘good practices’ seperti ini harus didistribusikan sehingga tidak hanya monopoli dan hak eksklusif gereja-gereja tertentu yang mapan dan kaya.
Semakin hari urusan gereja semakin kompleks. Tidak sekedar urusan spritual sebagai core bussines-nya tetapi juga aspek lain. Terlebih jika gereja sudah mengembangkan sayap usaha ke sektor ekonomi, pendidikan, hukum dan politik. Urusan tidak semakin simple, tapi makin rumit karena perlu tata kelola yang profesional.
Mari kita bayangkan bahwa gereja masih konservatif dengan urusan kerohanian. Itu saja jika secara maksimal dikerjakan, urusan berjemaat luar biasa padatnya. Gereja masih terjebak problem internal yang didominasi urusan koinonia dan diakonia. Misi gereja untuk melaksanakan tugas-tugas marturia yakni memberitakan Injil Kerajaan Allah untuk semua bangsa (Mat 24:14; Kisah 20:24) seolah masih terasa berat dilaksanakan.
Sepatutnyalah PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia) yang membawahi beragam denominasi yang ada di Indonesia berpikir agak progresif, menata bagaimana standar kualitas pelayanan yang baik secara umum sebagai tolok ukur. Sekedar contoh untuk mengukur bagaimana kualitas layanan perguruan tinggi di Indonesia BAN-PT menerapkan sekurangnya tujuh jenis standar. Mulai standar 1 (visi, misi, dan strategi pencapaian), standar 2 (tata pamong, kepemimpinan, sistem pengelolaan, dan penjaminan mutu), standar 4 (SDM), standar 5 (Kurikulum), standar 6 (pembiayaan, sarpras) serta standar 7 (tridarma dan kerjasama).
Tujuh standar BAN-PT tersebut tidak ada perkecualian berlaku untuk semua PTN/PTS dikawasan kota metropolis hingga pelosok kabupaten di Papua sana. Tentu tidak berlebihan jika himpunan organisasi gereja mengembangkan instrumen sejenis sesuai konteks dan kebutuhan pada masing-masing organisasi. BAN-PT bisa melakukan itu karena operasionalnya dibiayai APBN.
Lalu jika itu ditiru PGI yang notabene swasta murni bagaimana eksekusinya? Jangan salah, nantinya akreditasi PTN/PTS juga akan dilakukan Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM) yang sekarang juga sudah dipraktikan di institusi pendidikan bidang kesehatan. Hemat penulis, jika gereja memiliki komitmen kuat tidak ada perkara yang mustahil untuk dilakukan. Pada saat ini institusi gereja yang tertata baik dikelola dengan manajemen yang modern adalah sebuah keniscayaan. Tidak mungkin itu terjadi jika orgnisasi induk payung gereja berteduh tidak berani menginisiasi.
Oleh: Gatut Priyowidodo, Ph.D. Asessor BAN-PT Kemristek Dikti dan Dosen Tetap Program Studi Ilmu Komunikasi UK Petra Surabaya.
Sangat baik bila dijalankan yang terpenting standar nya sdh ada, suka tdk suka pasti dijalankan untk mutu pelayanan ,
Biar jemaat akan merasa senang dlm bergereja.