JAKARTA – Perempuan Tionghoa Indonesia Emas (PTIE) yang beragama Kristiani menggelar ibadah perayaan Natal, pada 17 Desember 2024, pukul 17.00 Wib, di salah satu restoran yang ada di Kelapa Gading.
Mengusung tema “A Time To Love & Share“ bertolak dari ( Filipi 2 : 5 – 7 ), Perempuan Tionghoa Indonesia Emas (PTIE) menunjuk Ps. Markus Boone dari GKY Sunter sebagai pemberita firman Tuhan.
“Setiap etnis ada kelebihan dan ada kekurangan, kita berada di etnis tertentu tidak akan terhindarkan dan tidak bisa menolak—kita menjadi etnis tionghoa bukan kita yang minta, ini tidak bisa terhindarkan,” katanya.
Sebagai Etnis Tionghoa, Ps. Markus Boone, berkata adalah etnis yang fleksibel. “Inilah keunikan etnis tionghoa. Kita lahir di daerah manapun pasti akan berbaur dengan budaya setempat, dan juga tetap dilekatkan sebagai etnis tionghoa. Itu sebabnya kita kemanapun di Indonesia, budaya Tiongoa itu hadir di tengah komunitas budaya lain, dan berbaur,”.
Ps. Maskurs berkata, bila ditelusuri orang yang dari etnis tionghoa sering alergi dengan agama Kristen. “Saya sering ngobrol dengan orang Tionghoa, dan mereka berpendapat Kristen itu agama Barat. Kita bersyukur semua yang hadir di sini, orang Tionghoa yang sudah mengenal kekristenan,”.
Pada kesempatan menyampaikan firman Tuhan, Ps. Markus membeberkan bukti, agama Kristen itu bukan agama barat tetapi agama Asia. Baca, Matius 1 menceriterakan kejadian di Nasaret dan Betlehem—Israel. “Ini jelas, sebab Israel bukan Eropa melainkan Asia. Kita bicara kekristenan, tidak bisa dipisahkan dengan namanya Yesus Kristus yang lahir di Asia. Jadi Etnis Tionghoa yang leluhurnya dari Cungkok, tidak jauh – jauh amat dengan Israel. Itu sebabnya jangan kaget kalau banyak budaya – budaya di Israel mirip dengan budaya negara – negara dari Asia,”.
Lebih jauh, menurut Ps. Markus, Natal itu adalah sebuah kisah kasih daripada Allah kepada dunia ini. Alkitab katakan bahwa manusia itu berdosa, tetapi Allah mengasihi dunia ini. “Ini yang susah diterima oleh budaya tiongkok. Di dalam budaya tiongkok, anak harus berbakti kepada orangtua, bukan sebaliknya orangtua berbhakti kepada anak. Ketika di bawah ke dalam kerajaan, komunitas etnis Tionghoa maka Raja itu adalah urusan langit, anak langit, rakyat harus mengabdi kepada Raja,”
Bertolak dari budaya etnis tionghoa, maka menjadi logis kalau banyak orang Tionghoa, kata Ps. Markus, menolak kekristenan. Apalagi berita Natal, Tuhan datang jadi anak kere, lahirnya di kendang. “Orang Tionghoa bingung, kok anak langit maunya jadi babu? Kok lahirnya di kandang? Maka kemudian, saya mengatakan Firman itu selalu memberikan hal yang mengejutkan dan saya katakan, berita Natal bukan berita dari dunia, melainkan berita dari Surga,”.
Ketua PTIE, Emma Elisabeth, mengatakan PTIE adalah rumah (wadah) bagi perempuan tionghoa Indonesia. “Kita perempuan Tionghoa adalah warga negara yang memiliki kewajiban, tanggungjawab dan hak yang sama di bangsa Indonesia,”katanya dan mengajak PTIE bersama – sama menjadi perempuan yang baik dalam bernegara.
Pembina PTIE, Ibu Jennie Widjaya, menyemangati yang hadir dengan berkata masa depan PTIE di Indonesia semakin mempunyai posisi yang baik, artinya berguna bagi nusa dan bangsa.
Juga ada persembahan drama yang mewakili PTIE, dilanjutkan dengan pemasangan lilin dan penampilan ibu – ibu “cantik” dari Serpong, Tangerang, membawakan pujian.
Sebelum acara berakhir, tepatnya acara bebas, diadakan pemberian kadouw kepada yang menari “terseksi” dan mampu menjawab pertanyaan – pertanyaan yang diberikan panitia. Sambil semua yang hadir menikmati makanan yang disediakan.