JAKARTA – Covid-19 yang sudah melanda Indonesia kurang lebih 8 bulan ini membuat banyak orang merasa takut, khawatir hingga stres. Hal ini perlu diwaspadai karena akan menjadi berbahaya ketika rasa tersebut terus berlangsung.
Wanita Bethel Indonesia (WBI) Gereja Bethel Indonesia (GBI) menyadari hal tersebut sehingga membuat sebuah diskusi virtual dengan tema “Menjaga kesehatan mental di masa pandemi” pada Senin (16/11/2020).
Acara yang disiarkan melalui kanal Youtube Sinode GBI Official ini dipandu Maya Montolalu dengan menghadirkan narasumber tunggal dr. Anggia Hapsari, S.pKJ(K) dan dibuka dengan doa yang dipimpin Ketua WBI GBI Pdt Dr Eunike Sadrach.
Dalam pemaparannya, dr. Anggia mengatakan kesehatan mental tidak kalah penting untuk dijaga. Sebab dengan mental yang sehat dan kuat, maka kesehatan fisik akan ikut membaik. “Dampak covid terhadap kesehatan mental yaitu merasa cemas, sedih, stres, bingung, takut dan marah. Ini normal terjadi ketika seseorang meraskaan krisisi. Tapi menjadi berbahaya ketika perasaan ini berkelanjutan,” ungkapnya.
Dalam masa era new normal, dr. Anggia mengingatkan agar setiap orang tetap melakukan rutinitas seperti biasa dengan beberapa penyesuaian, salah satunya dengan menerapkan protokol kesehatan. “Batasi pekerjaan (jangan over), luangkan waktu khusus dengan keluarga dan melakukan me time yang disesuaikan dengan adaptasi perilaku di new normal,” jelasnya.
dr. Anggia menjelaskan ada 3 jenis stres yaitu good stress, acute stress dan bad stress. Good stress biasanya dialami ketika seseorang bersemangat. Sedangkan acute stress (stres akut) biasanya akan memicu respon yang sama seperti good stress tapi penyebabnya belum tentu menyenangkan. “Stres akut umumnya tidak berdampak negatif apabila pemicunya segera ditangani. Bila tidak dapat ditangani, stres akut berpotensi jadi bad stress,” jelasnya.
Bad stress, lanjut dr Anggia akan terjadi ketika seseorang menghadapi tekanan yang begitu berat dan memberikan kelelahan mental berkepanjangan. “Bad stress berpotensi membuat orang menjadi depresi karena tubuh manusia tidak dirancang terus menerus menghadapi tekanan,” katanya.
Lebih jauh, dr. Anggia mengingatkan perlunya memiliki manajemen stres atau stress mindset yang benar. Salah satunya individu perlu memiliki pola pikir stress is enchancing. Ciri individu yang memiliki pemikiran ini adalah tekanan dilihat sebagai tantangan yang dapat menggali potensi diri. Biasanya ketika menghadapi sebuah masalah, orang dengan tipe ini akan segera bangkit.
Hal berbanding terbalik disebut stress is debilitating. Individu yang memiliki pemikiran ini akan langsung tertekan ketika mengalami suatu masalah. Hal tersebut akan membuat individu merasa tidak berdaya dan bisa kehilangan arah hidup.
Sementara itu untuk menghadapi stres yang datang dr. Anggia mengajarkan 4 langkah teknis yang dapat dilakukan. Pertama, napas segitiga yaitu teknik mengambil napas dari hidung selama 3 detik, tahan selama 3 detik dan buang selama 3 detik. Kedua, memiliki pola pikir mindfulness. Ketiga, napas warna yaitu membayangkan warna yang disukai sambil menarik napas dengan teknik napas segitiga.
Keempat, lanjut dr. Anggia titik napas. Caranya yaitu menyentuh 3 titik di dahi dengan 3 jari, lalu satu tangan memegang belakang leher. Sambil sedikit menekan, ambil napas segitiga dan rasakan rileks yang terjadi.
Diakhir pemaparan, dr. Anggia berpesan selain kesehatan mental secara individu, kesehatan mental keluarga juga harus dijaga. “Kesehatan mental keluarga juga harus diprioritaskan, terutama bagi anak-anak. Kita harus mendampingi anak-anak dan ciptakan lingkungan fisik emosional yang sehat (karena) yang dibutuhkan anak selain pemenuhan jasmani juga perlunya kehangatan emosi (dari orang tua),” pungkasnya. (NW)