Pengurus PGTI saat menerima media ini. Dalam pertemuan ini banyak yang dibicarakan.

Jakarta – Aras Gereja Nasional, kata ini sudah sering didengar oleh banyak umat di kalangan Gereja. Apalagi umat yang aktif di Sinode masing-masing dari anggota Aras Gereja Nasional, di antaranya, Persekutan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Persekutuan Gereja-Gereja dan Lembaga-Lembaga Injili Indonesia (PGLII), Persekutuan Gereja-gereja Pentakosta Indonesia (PGPI), dan Persekutuan Gereja-Gereja Tionghoa di Indonesia (PGTI), Persekutuan Baptis Indonesia (PBI), Bala Keselamatan (BK), Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh (GMAHK) Gereja Orthodox Indonesia (GOI).

Dari nama-nama Aras Gereja Nasional di atas, ada satu yang terbilang masih muda, berdiri pada tanggal 1 Agustus 2007, namanya Persekutuan Gereja-Gereja Tionghoa di Indonesia (PGTI).

Berdirinya PGTI, diceriterakan oleh Ketua Umum (Ketum) Bapak Lukas Jethrokusumo, di dampingi Sekretaris Umum (Sekum) Ibu Jane Lim dan Ketua II PGTI Bapak Ibrahim Siddik, kepada media ini di kantor PGTI yang berada di bilangan Kemayoran, Jakarta Pusat.

“Gereja-gereja yang tergabung dalam Pusat Pelayanan Gereja-Gereja Injili Indonesia (PPGII) yang menjadi cikal bakal PGTI berdiri pada tahun 2007. Dalam perjalanannya pada awal tahun 2007, dipanggil oleh Dirjen Bimas Kristen Kementerian Agama Republik Indonesia, Dr. Jason Lase, M.Si. Dalam pembicaraan itu, Dr. Jason Lase memberikan kepercayaan kepada PPGII untuk segera memikirkan mendirikan sebuah organisasi Gereja Tingkat Aras Nasional yang keanggotaannya dari Gereja Suku Tionghoa yang ada di Indonesia,” kata Ketum Bapak Lukas Jethrokusumo.

Lewat pergumulan waktu yang panjang serta diskusi “padat dan ketat” para pengurus PPGII akhirnya memutuskan pada tanggal 1 Agustus 2007, untuk melegalkan PPGII menjadi PGTI, sebagai salah satu Lembaga Aras Gereja Nasional, seperti yang diingini Dirjen Bimas Kristen, Dr. Jason Lase. 

Bapak Lukas Jethrokusumo menceriterakan berdirinya PGTI diharapkan Dirjen Bimas Kristen dapat menaungi gereja-gereja Tionghoa yang ada di seluruh Indonesia. “Ketika nama sudah menjadi PGTI, kami terus bergerak bersama dengan pemerintah untuk menjadi berkat,” kata Ibu Jane Lim dan menegaskan, pada saat masih bernama PPGII juga gereja-gereja Tionghoa di Indonesia sudah melakukan berbagai pelayanan sosial untuk membantu sesama anak bangsa.

Ibu Jane Lim salah satu orang yang duduk dalam pengurus PPGII sampai berganti nama menjadi PGTI, menambahkan, pada Juni 2007, keinginan Dr. Jason Lase untuk hadirnya sebuah lembaga yang beranggotakan gereja-gereja Tionghoa di Indonesia, diutarakan kepada pengurus PPGII.

“Dr. Jason Lase menemui kami (PPGII) dan meminta untuk membentuk wadah seperti Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) tetapi khusus gereja-gereja Tionghoa,” tambah Ibu Jane Lim.

Kepada Dirjen Bimas Kristen waktu itu, Dr. Jason Lase, kata Ibu Jane Lim, pengurus PPGII tidak serta merta menerima. Ada terjadi diskusi, diantaranya pengurus PPGII menyatakan kebanyakan gereja-gereja Tionghoa yang tergabung dalam PPGII sudah menjadi anggota PGI. 

Dalam diskusi itu, tutur Ibu Jane Lim, ada pernyataan dari Dr. Jason Lase, yang membuat pengurus PPGII berani melangkah. “Saat itu Dr. Jason Lase berkata, bila ada Gereja Tionghoa yang sudah menjadi anggota PGI dan juga menjadi anggota Lembaga Gereja Tionghoa, tidak apa-apa. (Mereka), kata Dr. Jason Lase, bisa menjadi anggota di PGI dan juga bisa di PGTI. Alasannya kami ini Gereja Suku, bukan kepercayaan atau apa. Itu sebabnya seperti Gereja Kristus Yesus (GKY) yang memang anggota PGI juga saat ini juga menjadi anggota PGTI,” kata Ibu Jane Lim.

BACA JUGA  GBI Kapernaum yang Digembalakan Pdt. Ferry Kakiay, Menyelenggarakan Natal Melalui Jalan Lain

Mendengar jawaban dari Dr. Jason Lase, pihak PPGII menjadi berani melangkah maju untuk mendirikan Lembaga setingkat Gereja Aras Nasional. “Puji Tuhan kami menindaklanjuti dan pada 1 Agustus 2007, PPGII resmi menjadi PGTI dengan Ijin dari Dirjen Bimas Kristen, Kementerian Agama Republik Indonesia,” lanjut Ibu Jane Lim.

“Cikal Bakal PGTI saat itu PPGII, sudah memiliki cabang di 12 wilayah Indonesia. Tetapi karena baru berdiri, maka semuanya mulai dari baru, termasuk pendaftaran anggota. Pertama yang menjadi anggota, pada Oktober 2007 adalah GKY, disusul Gereja Methodist Indonesia (GMI) dan sampai saat ini sudah memiliki keanggotaan 30 Sinode,” ungkap Ibu Jane Lim.

Bapak Lukas Jethrokusumo menuturkan, Pimpinan pertama PGTI di tahun 2017 – Bapak Pnt. Suhendro Hadiwidjojo. “Untuk menentukan siapa yang menjadi Ketua Umum, kami melakukan Sidang Raya. Suara pemilih dari gereja anggota, yang menjadi utusan,” tuturnya dan menambahkan yang dapat dipilih menjadi Calon Ketum, syaratnya harus Anggota Majelis Pekerja Harian (MPH) PGTI sebelumnya, dan tidak harus pendeta. 

Sedangkan, pengurus yang sekarang kata Bapak Lukas Jethrokusumo, terpilih sebab sebelumnya sudah menjadi pengurus di PPGII—karena dianggap sudah berpengalaman di dalam pelayanan sebelumnya. 

“Sebelum dipilih, calon-calon pengurus diperkenalkan kepada gereja-gereja,” tambah Bapak  Ibrahim Siddik.

Setelah itu, Bapak Lukas Jethrokusumo berbicara “sepak terjang” pelayanan sosial PGTI kepada sesama anak bangsa tanpa melihat latar belakang suku, agama (gereja), budaya ataupun warna kulit. “Tahun 2018, ada kejadian di Suku Asmat, Papua. Saat itu (Saya, Ibu Jane dan yang lainnya) berangkat ke daerah Asmat. Dari Asmat Tuhan berikan kami ladang yang baru lagi, Lombok, Palu, dimana ada bencana kami langsung bergerak memberikan bantuan,” ungkap Bapak Lukas Jethrokusumo, yang mulai memimpin PGTI sejak 2017 bersama Ibu Jane Lim sampai saat ini. 

Bapak Lukas Jethrokusumo berkata pelayanan Sosial PGTI dipimpin Tuhan. Termasuk di daerah-daerah yang bisa dikatakan daerah yang tidak ada orang Tionghoa dan mayoritas umat di sana berbeda agama dengan yang dianut PGTI. 

“Kami bersyukur pelayanan di Lombok, jelas sekali pimpinan Tuhan.  Pada saat bencana kami melayani bukan hanya kepada masyarakat Kristen, tetapi kami masuk ke desa-desa melayani seluruh masyarakatnya.” 

Pelayanan aksi sosial di Lombok itu sulit dilupakan Bapak Lukas Jethrokusumo, karena ada persitiwa dimana saat akan berdoa yang dibawakan oleh seorang ustad. “Pada saat kami melakukan bantuan perbaikan rumah di satu desa, ada seorang Ustad berkata mau berdoa untuk acara kami. Di dalam doa Ustad itu “dia bersyukur hari ini kita bisa melihat sepupu kita datang membantu kita. Sedangkan saudara-saudara kita belum datang,” begitu bunyi doanya.

Hal lain lagi, diceriterakan Bapak Lukas Jethrokusumo, pada saat pelayanan sosial PGTI di Lombok, NTB ternyata didengar oleh Gubernur NTB. Hasilnya pengurus PGTI diundang ke kantornya. Pada pertemuan itu Gubernur NTB mengatakan pelayanan yang dilakukan PGTI harus berkelanjutan, makanya disepakati, dibuatkan perjanjian kerja sama antara Pemprov NTB dengan PGTI.

“Saya kira acara itu hanya tanda tangan di kantor Gubernur saja. Gubernur katakan, tidak, acara penandatanganan itu akan diadakan di HUT Provinsi NTB. Acara itu dihadiri semua pemerintah daerah di seluruh Indonesia.”

BACA JUGA  Di HUT ke 36 GKSI Peroleh Hadiah Tercatat Kembali Sebagai Anggota PGI

“Saat itu Gubernur ‘berani’ mengumumkan bahwa ada penandatanganan antara Pemprov NTB dengan Persekutuan Gereja-Gereja Tionghoa di Indonesia. Kalau itu bukan pekerjaan Tuhan, tidak akan terjadi,” papar Bapak Lukas Jethrokusumo. 

Peristiwa mengharukan dan berkesan itu tidak berhenti di situ. Keesokan harinya, Bapak Lukas Jethrokusumo dan pengurus PGTI diundang ke rumah pribadi Gubernur. “Kami ngobrol-ngobrol, dan ada salah satu hamba Tuhan anggota PGTI mengatakan dia melayani di Pusat Pelayanan Misi Terpadu (PPMT). Kegiatannya adalah mendidik masyarakat untuk bercocok tanam, hal ini sudah kami mulai di NTT.”

Mendengar itu, Gubernur bertanya “Apakah PPMT itu bisa dilakukan di non Kristen, di Pesantren saya?” Saat itu Bapak Lukas Jethrokusumo dan pengurus yang hadir kaget. “Itu kalau bukan Tuhan yang buka jalan pasti tidak terjadi.” papar Bapak Lukas Jethrokusumo.

Saat itu juga Bapak Lukas Jethrokusumo menjawab pertanyaan Gubernur bahwa PGTI melayani bukan kepada agama tetapi melayani kepada seluruh masyarakat Indonesia. “Saya katakan PGTI melakukan hukum utama Tuhan, yaitu mengasihi Tuhan dengan segenap hati, dengan segenap jiwa, juga mengasihi sesama.” 

Sayang, program PPMT itu harus terhenti karena adanya pandemi ini. Walau begitu, PGTI masih tetap berkomunikasi dengan Gubernur dan bila pandemi melandai, PGTI akan menuntaskan program tersebut. 

Saat melakukan pelayanan aksi sosial, Bapak Lukas Jethrokusumo akui senantiasa menghadapi tantangan, diantaranya masih adanya penilaian orang Tionghoa itu double minoritas (sudah Kristen, Tionghoa lagi) tapi tantangan itu tidak mengendorkan semangat PGTI untuk menyatakan kasih kepada masyarakat Indonesia. 

“Kami ada di Indonesia, sebagai bagian dari Indonesia kewajiban dan komitmen kami untuk melayani masyarakat Indonesia, tanpa melihat suku, agama dan budaya serta warna kulit.” 

Bapak Ibrahim Siddik, menambahkan bahwa jauh sebelum pelayanan sosial PGTI di Lombok, PGTI sudah melakukan pelayanan sosial dalam bencana tsunami di Aceh. “Saya lihat penduduk Indonesia, umumnya sangat ramah, sangat welcome, termasuk kepada yang kulit putih, mata sipit.”

Akhirnya Bapak Lukas Jethrokusumo menegaskan PGTI masih banyak pelayanan sosial yang akan dikerjakan untuk masyarakat Indonesia. Dan itu tidak hanya dikerjakan PGTI Pusat melainkan para pengurus PGTI di 20 wilayah di Indonesia. “Kami di pusat sudah melakukan pelayanan sosial, dan kami berharap PGTI di wilayah-wilayah juga dapat melakukan yang sama di wilayah masing-masing.”

Sebagai informasi, PGTI bekerjasama dengan pemerintah sudah melakukan aksi sosial vaksinasi Covid-19, diberbagai tempat, diantaranta di pasar – pasar rakyat. 

Ibu Jane Lim menutup perbincangan dengan berkata, kehadiran PGTI untuk Indonesia dan untuk gereja-gereja Tuhan di Indonesia, dengan berbagai pelayanan sosial sejak PPGII hingga kini sudah lebih dari 20 tahun. 

Harapannya, dengan pelayanan PGTI dapat membantu Indonesia dan makin mempererat tali persaudaraan sesama anak bangsa. Soal pengakuan PGTI sebagai Aras Nasional, itu bukanlah hal penting, sebab yang terpenting bagaimana Indonesia damai, Indonesia Sejahtera dan Indonesia sehat. Amin.

Apa pendapat anda tentang post ini ?
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini