
Yogyakarta – Perhelatan Musyawarah Daerah (Musda) X Majelis Daerah (MD) Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI), Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang digelar Rabu, (8 Juni 2022), telah meninggalkan catatan – catatan sejarah yang meprihatinkan.
Seperti yang disampaikan oleh Ketua Majelis Pertimbangan Rohani (MPR) GPdI, Pdt. Harry S Gultom, saat berada di lingungan tempat di gelarnya Musda X GPdI DIY. “ Kebetulan memang saya ada di arena Musda ini. Keberadaan saya karena diminta hadir oleh teman saya Pdt. Samuel Tandiassa. Saya hadir bukan dalam kelembagaan MPR tetapi sebagai undangan teman,”katanya.
“Saya lihat semua yang terjadi dalam Musda sejak awal sampai dalam perdebatan bisa tidaknya Pdt. Samuel Tandiassa menjadi salah satu calon Ketua MD GPdI DIY periode 2022 – 2027. Terlihat dengan jelas upaya mengganjal Pdt. Samuel Tandiassa, untuk tidak maju sebagai calon Ketua MD GPdI DIY, perode 2022 – 2027,”tuturnya.

Pdt. Harry S Gultom menegaskan perdebatan – perdebatan yang terjadi sudah tidak lagi substantif karena sudah ada tujuan mengganjal Pdt. Samuel Tandiassa. Perdebatan sudah tidak pada pijakan AD/ART, tetapi sudah pada perasaan tidak suka.
“Saya lihat yang dipertontonkan oleh utusan – utusan Majelis Pusat (MP), saya sedikit menyesal, betul – betul memalukan, tidak cocok argumentasinya dengan data yang ada di lapangan. Saya katakan itu karena saya sendiri sudah mempelajari sanksi Pdt. Samuel Tandiassa secara tuntas. Bahkan saya sudah memberikan tanggapan surat sanksi dari MP kepada Pdt. Samuel Tandiassa,”terangnya.
Perdebatan yang menurutnya tidak substantif lagi itu, disayangkannya pihak MD GPdI DIY tidak memintanya dengan tegas untuk memberikan pendapat. “Kalau diminta saya mau bicara, soal substantif dan keputusan sanksi itu dapat diperbaiki,”tergasnya.
Kesimpulan dari Pdt. Harry S Gultom, lewat apa yang dicerminkan oleh utusan – utusan MP dalam berdebat dan beragumentasi untuk mengagalkan pencalonan Pdt. Samuel Tandiassa, yang sebenarnya sudah direstui (lolos) seleksi oleh panitia nominasi (Panom) dengan mengeluarkan Surat Keputusan (SK). “Kalau kita menelusuri, sebetulnya Pdt. Samuel Tandiassa tidak boleh maju. Itu esensinya.
Saya melihat debat itu adalah setingan, saya tidak begitu yakin bahwa hati Nurani mereka bertiga ( Pdt. DR. Wempy Kumendong, SH, Pdt. Herry Lumataw, Pdt. Lodwyk Kambey ) sama. Saya tidak begitu yakin Kumendong seorang yang memiliki latarbelakang hukum berbicara seperti hati nuraninya,”
“Bisa ya orang – orang utusan MP seperti itu cara berdebatnya? Kualitas keilmuannya serendah itu? Kenapa saya katakan rendah karena diskusinya sama sekali tidak argumentatif,”.
Pdt. Harry S Gultom memberikan contoh, saat terjadi debat pihak MD GPdI DIY mempersoalkan Surat Keputusan (SK) sanksi dari sudut AD/ART yang dihubungkan dengan isi SK sanksi. Tapi pihak MP selalu jawab dengan cara yang berbeda, sarat dengan perasaan, bukan sarat dengan buah pikiran yang berdasar pada AD/ART yang dihubungkan dengan sanksi. Intinya Pdt. Samuel Tandiassa, tidak boleh jadi calon Ketua MD GPdI DIY periode 2022 – 2027.
Melihat yang terjadi di Musda MD GPdI DIY 2022, Pdt. Harry S Gultom, sebagai Ketua MPR berkata MPR sekarang sedang mempelajari kesalahan – kesalahan dan pelanggaran – pelanggaran AD/ART yang terjadi seperti di Musda MD GPdI DIY ini adalah tindakan sangat tidak terpuji. “Ini adalah penghinaan kelembagaan GPdI. Oleh sebab itu MPR akan melihat, mendata semuanya, baru kita akan melakukan tindakan, dan tindakan itu akan membawa dampak baik untuk kita ke depan,”.
Intinya Jangan Pdt. Samuel Tandiassa
Dalam perbincangan dengan Pdt. Frans Setyadi Manurung, setelah selesai Musda GPdI DIY 2022, berkata Musda DIY, khususnya untuk sidang memasuki Pemilihan Ketua MD DIY periode 2022 – 2027 tidak berjalan proporsional. Karena MP terkesan memaksakan kehendaknya, dan tidak prosedural, serta memang tujuan dasarnya mengganjal Pdt. Samuel Tandiassa. Itu agendanya, itu terbukti dari isi surat yang sebenarnya tidak dapat dijadikan alasan untuk pemberian sanksi.
“Jadi adanya sanksi sampai tidak diijinkannya Pdt. Samuel Tandiassa maju sebagai calon, saya lihat ada masalah dari sisi materinya, masalah dari sisi formilnya, kemudian isi keputusannya pun harusnya selesai pada masa Majelis Daerah Periode 2017 – 2022 dimisioner. Tapi tadi alasan yang dipakai, bahwa sanksi itu paling lama 2 tahun dan juga karena belum keluarnya surat pemulihan dari MP. Padahal kalimatnya dalam AD/ART bahwa paling lama 2 tahun dan isi surat sanksinya jelas Pdt. Samuel Tandiassa diberikan sanksi pemberhentian sementara sebagai Ketua MD 2017 – 2022. Artinya sanksi tersebut berakhir pada saat kepengurusan MD 2017 – 2022 dimisoner. Bersamaan dengan itu, semestinya hak – hak Pdt. Samuel Tandiassa sebagai gembala otomatis dapat digunakan sebab pemberhentian sementara tidak berhubungan dengan jabatan gembala. Hak-hak tersebut diantaranya dapat digunakan untuk mencalonkan atau dicalonkan sebagai Ketua MD DIY Periode 2022 – 2027,”tutur Pdt. Frans Setyadi Manurung, yang terlibat diskusi “keras” dengan utusan MP yang hadir dalam Musda GPdI DIY.
Pertanyaan dan sanggahan yang disampaikan oleh Pdt. Frans Setyadi Manurung tidak diberikan jalan keluarnya, pihak MP langsung mencari point lain untuk mengalihkan pertanyaan dan sanggahan diantaranya bicara pembatalan SK Panom yang mensahkan Pdt. Samuel Tandiassa sebagai calon. “Saya bingung juga, karena logika berpikirnya yang digunakan personil – personil MP itu berpindah – pindah, dimulai dari Pdt. Samuel Tandiassa sedang menjalani sanksi pemberhentian sementara, karena dalam debat argument mereka itu tidak kuat, mereka pindah lagi ke soal SK Panom. Padahal ini dua persoalan yang berbeda. Dengan begitu makin kelihatan mereka memaksakan apapun caranya agar Pdt. Samuel Tandiassa, tidak boleh maju. Intinya yang penting bukan Pdt. Samuel Tandiassa, Ketua MD DIY,”terangnya.
Pdt. Frans Setyadi Manurung, menjadi semakin bingung dengan logika berpikir utusan – utusan MP tersebut, padahal sederhannya poin pentingnya adalah surat sanksi kepada Pdt. Samuel Tandiassa. “Kita MD DIY sudah pelajari surat sanksinya itu, masalahnya adalah somasi. Ketika saya tanya somasi kita ini salah atau tidak, karena yang kita somasi itu berkaitan dengan dugaan adanya asset GPdI yang dipindah namakan. Kita melakukan klarifikasi termasuk somasi sebanyak 3X, terakhir tanggal 7 Januari 2022, dan menurut kami akibat somasi itu, terjadilah perubahan akte asset GPdI antara pihak Yayasan dan MP, yang isinya mengembalikan asset itu dalam perjanjian awal adanya sset tersebut. Mestinya MP berterima kasih kepada MD DIY atau kepada Pdt. Samuel Tandiassa, sebab lewat somasi yang dilayangkan MD, pihak MP dan Yayasan menyadari telah terjadi kesalahan dan langsung diperbaiki. Tapi yang terjadi sebaliknya, somasi dari pengurus MD DIY 2017 – 2022 yang ditandatangani oleh semua pengurus, dijadikan kekuatan memberikan sanksi kepada Pdt. Samuel Tandiassa. Kenapa tidak semuanya diberikan sanksi?” tanya Pdt. Frans Setyadi Manurung.
Melihat fakta itu, Pdt. Frans Setyadi Manurung, makin yakin memang arahnya kepada Pdt. Samuel Tandiassa, karena mungkin ada yang merasa dirugikan atau tidak nyaman jika Pdt. Samuel Tandiassa sebagai Ketua MD DIY. Karena kemungkinan ada yang merasa kritik – kritik Pdt. Samuel Tandiassa akan tetap ada jika tetap menjadi Ketua MD. Jadi sebenarnya masalah asset hanya dijadikan point penting untuk mengganjal Pdt. Samuel Tandiassa agar tidak duduk lagi sebagai Ketua MD DIY, dan tidak ada lagi kritik – kritik ke MP dari DIY.
Lanjutnya, atau ada kelompok – kelompok lain yang mencoba memanfaatkan situasi dan kondisi yang terjadi, dan menargetkan Pdt. Samuel Tandiassa.
“Bicara debat saya dengan personil – personil MP, khususnya dengan yang katanya memiliki latarbelakang hukum. Pendapat saya dalam perdebatan itu, pandangan – pandangan atau argument – argument hukum yang diberikan dalam kasus sanksi sampai tidak diijinkannya Pdt. Samuel Tandiassa maju sebagai Ketua MD DIY 2022 – 2027, tidak sesuai dengan apa yang secara umum dipahami,”
“Pendapatnya memang berbeda dari keterangan ahli – ahli hukum yang MD DIY konsultasikan (Ada banyak narasumber, para ahli hukum yang MD GPdI DIY konsultasikan). Ditinjau dari sisi materinya saja, sudah bermasalah bahwa somasi yang kami lakukan itu ada dasarnya yaitu Pasal tentang kekayaan. Nah dari sisi materi dia salah. Ditinjau dari sisi formilnya, AD/ART mengharuskan terlebih dahulu melakukan pemanggilan tapi MD DIY 2017 – 2022 sama sekali tidak pernah dipanggil. Nah dari sisi formil sudah cacat. Tapi katanya orang itu memiliki latarbelakang hukum, biarlah orang lain menilai sendiri kemampuannya dalam berdebat atau berdiskusi,”
Pada kesempatan ini, Pdt. Frans Setyadi Manurung, miris melihat MD GPDI DIY periode 2022 – 2027. “Yang saya lihat dalam komposisi awal ini sudah ada pelanggaran konstitusi hasil keputusan Musda. Semua tahu bahwa dalam konstitusi Musda yang diatur dan disepakati, hamba Tuhan yang tidak menaati aturan persepuluhan tidak boleh dipilih menjadi Ketua MD dan duduk dipersonalia MD. Tetapi dipersonalia (pengurus) MD DIY 2022 – 2027, ada beberapa yang melanggar aturan persepuluhan yang disepakati sebagai keputusan Musda 2012,”ungkapnya.
“Bagaimana bisa pengurus bisa bicara aturan atau mengakkan aturan kalau mereka sudah memulai pelayanan dengan melanggar aturan? Kalau sudah mulai dengan pelanggaran, orang tidak akan menghargai apapun aturan yang anda mau terapkan,”tegasnya.
Pdt. Samuel Tandiassa : Saya Tidak Akan Berhenti Mengritik Para Pelanggar AD/ART
Sedangkan Pdt. Samuel Tandiassa, mengaskan hasil Musda MD GPdI DIY tidak dapat diterimanya karena dirinya diganjal dengan paksa. “Hasil ini tidak bisa diterima baik dari sisi logika umum maupun dari sisi pemahaman logis AD/ART. Kenapa? Karena hasilnya sudah direkayasa sejak awal, sebagaimana yang dikatakan oleh utusan MP bahwa ini (mendiskualifikasi saya) sudah menjadi keputusan MP. Lain lagi kalau saya diijinkan ikut pemilihan dan kalah, itu pastilah kita akan menerima dengan legowo. Tetapi yang terjadi di sini, saya dipaksa kalah oleh utusan MP, sebuah pemaksaan dan kesewenang – wenangan dari kekuasaan. Dan yang paling Ironis adalah, tidak ada satupun pertanyaan dari kami, Pdt. Frans Manurung dan saya, yang dijawab oleh MP,”katanya.
“Artinya MP tidak memiliki dasar secara konstitusional, baik AD/ART maupun hukum formil, untuk mendiskualifikasi saya, tapi karena mereka memang sudah punya agenda, maka soal konstitusional atau inkonstitusional tidak lagi penting bagi mereka. Yang penting bagi mereka adalah saya Dijegal”.
“Kalau diminta untuk melaporkan hal ini, mau lapor kemana? Yang membuat keputusan ini adalah MP, lalu kita lapor ke MP? Itu namanya jeruk makan jeruk alias sia – sia,” tegas Pdt. Samuel Tandiassa.
Pdt. Samuel Tandiassa mengaku sedang melihat dan mempelajari atas kemungkinan untuk membawa masalah ini ke ranah hukum. “Ini sedang dipelajari kemungkinan – kemungkinannya oleh teman-teman saya dari beberapa lembaga advokasi baik di Jakarta maupun di DIY. Sebab apa yang saya hadapi ini bukan hanya sebatas perjalanan Musda DIY 2022 tetapi soal hak asasi, soal nama baik, kerugian immateril, dan yang paling penting soal kebenaran,” terangnya.
Di sisi lain, Pdt. Samuel Tandiassa, menegaskan akan tetap melakukan kritik – kritik bila ada yang melanggar AD/ART. Memang tidak seperti dahulu yang bisa melakukan kritik dari dalam. Sekarang akan dilakukannya dengan cara dari luar, dengan menggunakan media – media yang ada, baik itu media sosial dan media pemberitaan, sebagai bentuk tanggung jawab moral terhadap GPdI.
“Saya tetap aktif untuk bersikap kritis terhadap pelanggaran – pelanggaran yang terjadi. Saya tidak akan pernah berhenti demi GPdI lebih baik dan menjadikan AD/ART sebagai panglima. Kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau tidak dari sekarang, kapan lagi?” tutup Pdt. Samuel Tandiassa.
Oleh sebab itu MPR akan melihat, mendata semuanya, baru kita akan melakukan tindakan, dan tindakan itu akan membawa dampak baik untuk kita ke depan,”.
Ini sangat di harapkan. Doa saya semoga harapan utk menindaklanjuti kekeliruan MP dlm mengambil keputusan sesegera mungkin terlaksana. Tuhan kiranya menyatakan keadilanNya. Krn Dia tdk hnya sempurna dlm Kasih. Tp Dia juga Sempurna dlm KeadilanNya.
MPR itu menurut AD/ART adalah membantu MP. Artinya tidak memiliki kuasa untuk membatalkan SK MP. Tidak ada aturan yang bisa dibatalkan oleh lembaga dengan tingkat yang rendah. Yang betul adalah MPR mengajukan berbagai pertimbangan, usul dan saran. Dan yang eksekutornya tetap di ranah MP
Pdt WK itu pakar hukum mustahil beliau tdk paham AD/ART GPdI. Tahukah knp wkt itu beliau spt salah tingkah ketika Pdt HL menyalahkan adanya somasi dari Pdt ST.
Yaiyalah krn itu yg beliau lakukan terhadap sy ketika dipanggil di pleno MD GPdI SulUt thn lalu, beliau mendukung mantan bendahara MD GPdI SulUt melaporkan sy ke polisi.
Sy memang sempat mempersilahkan utk dilaporkan selain krn wkt itu sang mantan blm dipecat, tapi jg persoalan sy dg sang mantan tdk bisa diselesaikan secara internal. Bgmna bisa diselesaikan secara internal, MD GPdI SulUt bermasalah dg sy tapi berusaha menyelesaikan permasalahan tsb, hrsnya ada pihak ketiga, dlm hal ini MP yg berhak menyelesaikannya.
Lucunya lagi, sy dilaporkan ke polisi oleh sang mantan 12 hari setelah dia dipecat. Timbul pertanyaan, apakah sang mantan ini msh hidup dipimpin oleh Roh Kudus atau sdh …..