JAKARTA –Resminya Ganjar Pranowo sebagai calon presiden 2024 dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (DPP PDIP) telah meramaikan perbincangan politik di pasca hari lebaran.
Bahkan di lingkungan umat Kristiani, mulai menunjukkan telah terjadi polarisasi (pembagian) dukungan, ada yang setuju dengan Ganjar dan ada yang tidak—dengan alasan karena ikut menolak perwakilan sepak bola Israel berlaga di Indonesia.
Melihat mulai terjadinya polarisasi tersebut, bagi salah satu petinggi Persekutuan Gereja – gereja Pantekosta di Indonesia (PGPI), Pdt. DR. Mulyadi Sulaeman, itu hal biasa karena umat Kristiani telah mengalami setiap kali menghadapi yang namanya tahun politik.
“Polarisasi seperti yang ada rasakan sekarang, sudah hal biasa di lingkungan umat Kristiani. Setiap tahun politik polarisasi seperti itu pasti terjadi, dari yang berat sampai yang jalan mulus. Dari yang penuh trik sampai yang kita anggap baik. Saya berharap seberat apapun polarisasi di tingkat umat, pertama jangan sampai memecah bela umat. Kedua, umat Kristiani tetap ikut pemilihan—jangan Golput,”katanya.
Pada tahun 2024 nanti, pendeta yang pernah menjadi Ketua Umum (Ketum) Gereja Sidang Pantekosta di Indonesia (GSPDI) ini meminta kepada gembala – gembala jemaat untuk memberikan pendidikan politik yang tidak memihak kepada anak – anak muda, apalagi yang menjadi pemilih baru.
“Ada banyak pemilih baru (anak – anak orang Kristen) yang akan ikut pemilu pada tahun 2024 ini. Gereja berkewajiban memberikan pendidikan politik. Dalam hal ini memberikan pencerahan (gambaran) supaya mereka tidak gampang diprovokasi oleh media sosial,”pintanya.
“Anak – anak muda sekarang ini sesungguhnya membutuhkan pendidikan politik—mereka disebut generasi strawberry—generasi baik tapi masih perlu mendapatkan pendidikan dalam dunia politik. Ini menjadi tugas Gereja untuk memperkuat pondasi politik dan iman agar anak – anak muda Kristiani yang akan mengikuti pemilu 2024 bisa berpikir dan melihat dengan jernih dalam memilih,”.
Pdt. DR. Mulyadi Sulaeman berkata kalau Gereja tidak mampu memberikan pendidikan politik dan membangun iman umat, dalam hal ini anak – anak muda maka media sosial yang akan mengambil ruang terrsebut. Media sosial yang akan memberikan pendidikan kepada anak – anak umat Kristiani.
“Kalau media sosial yang berikan pendidikan, ini tentu jadi runyam. Pasalnya banyak anak – anak kita yang belum dapat memilah mana ‘racun’ dan mana ‘vitamin’. Untuk itu sangat dibutuhkan penguatan pengajaran firman Tuhan dan doa kepada anak – anak muda Kristiani. Bersamaan dengan itu dibutuhkan keteladanan dari orangtua dan tentu para hamba Tuhan (gembala) di tempat mereka bergereja,”.
Bersamaan dengan itu, gembala jemaat GSPDI di mall Belleza, Jakarta Selatan ini menyangkan politik dunia yang hari – hari ini masuk ke Gereja—yang dapat memberikan ruang serta peluang terjadinya perpecahan dalam Gereja.
“Sistem pemilihan demokrasi ini memang banyak baiknya. Kalau kita tidak mampu menempatkan diri sebagai pendeta (hamba Tuhan) maka system demokrasi ini akan memberikan ruang dan kesempatan terjadinya perpecahan di dalam Gereja,” terangnya.
Alasan Pdt. DR. Mulyadi Sulaeman berkata memberikan peluang perpecahan karena pada faktanya umat Kristiani (Gereja) tidak dapat keluar atau bebas dari dukung mendukung baik itu kepada partai politik atau sosok (tokoh) yang ikut dalam kontestan dalam pemilihan legislatif dan eksekutif (Presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota). Padahal Gereja tugasnya adalah mendoakan, dan Gereja percaya bahwa Tuhan yang memilih pemimpin, Tuhan yang menetapkan raja.
Lebih jauh, Pdt. DR. Mulyadi Sulaeman berkata dukung mendukung terjadi dalam dunia politik karena memang sangat menarik, sangat menyentuh jiwa, menyentuh keakuan (ego), menyentuh kepentingan pribadi. Sesungguhnya harus disadari oleh anak – anak Tuhan, apalagi hamba – hamba Tuhan, justru hal – hal itu ditulis dalam kitab Timotius tentang ciri – ciri manusia akhir zaman.
“Setiap orang punya pilihan dalam ruang demokrasi tetapi bersamaan dengan itu harus mengerti batasannya. Apalagi seorang hamba Tuhan, harus mengerti dan disadari batasannya, jangan kebablasan sampai harus mengumumkan di depan umat (gereja) dukungannya. Ingat! Tidak semua jemaat kita memiliki orientasi politik (dukungan) yang sama. Mari kita hindari terjadinya perpecahan di tengah umat,”
Tahun politik 2024 ini ditegaskan Pdt. DR. Mulyadi Sulaeman, harus disikapi dengan mendoakan calon – calon pemimpin agar ditolong dan Tuhan berdaulat. “Kita melihat Pemilu 2014 dan 2019 itu berhasil karena ada orang – orang yang berdoa dan berpuasa. Saat ini juga kita bersatu untuk berdoa dan berpuasa meminta pertolongan kepada Tuhan agar tahun politik sampai pemilihan dapat berjalan dengan sukses dan aman. Juga berdoa dan berpuasa agar Indonesia diberikan pemimpin yang tidak mementingkan golongan—pemimpin yang menegakkan UU serta kesamaan hak warga negara,”.
Pdt. DR. Mulyadi Sulaeman, mengingatkan jangan kebablasan dalam keterlibatan dukung mendukung. Sebaliknya teruslah berdoa dan berpuasa untuk supaya pemilu berjalan aman dan damai, pemilu melahirkan pemimpin yang mampu menerapkan UU.
“Ingat! Politik itu tidak ada teman dan kawan sejati, semuanya kepentingan. Jadi walau kita tidak dukung sosok yang terpilih maka seiring berjalannya waktu ia akan memerlukan kelompok yang tidak mendukungnya. Sesungguhnya janji apapun dari partai politik atau dari tokoh yang ikut dalam pesta demokrasi (Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota dan Anggota Dewan) jangan dipegang 100 persen,”. Salah satu tokoh Jaringan Doa Nasional ini menutup perbincangan dengan berkata, “aneh” apa yang disaksikannya di Gereja. Akibat perbedaan pilihan politik Gereja (Pemilihan Ketum Sinode) bisa membuat pendeta atau gembala jemaat satu dengan yang lain bermusuhan satu periode. Padahal di dunia politik (sekular) selesai pesta politik, selesai dan bisa bekerjasama. Contoh, Ir. Joko Widodo dan Ketua Umum Gerindra, Prabowo Subianto “bersaing” untuk mendapatkan “kursi” orang nomor satu di Indonesia. Setelah itu keduanya bekerjasama secara harmonis—mendukung berbagai kerja – kerja untuk Indonesia.