Ps Andy Tjokro dan Istri serta Anak - Anaknya. (Foto : Dok Pri/Pdt. Andy

JAKARTA – Generasi penerus Gereja tentu adalah pemuda remaja Kristen yang ada. Sangat disayangkan sekarang ini ada banyak Gereja yang “kehilangan” anak muda dan remaja atau gerenasi penerus. Perhatikan di Gereja masing – masing, seberapa banyak “gairah” anak muda  mengikuti ibadah di Gereja. 

Menurut pendeta kelahiran 1972 yang juga seorang gembala jemaat, Pdt. Andy Tjokro, memberikan alasan kurangnya gairah atau antusias anak muda dan remaja bergereja atau beribadah, mengutip dari hasil Bilangan Research Center, bahwa dikarenakan, di antaranya karena Gereja dilihat sebagai tempat panggung sandiwara, panggung politik, panggung pemimpin – pemimpin Gereja yang tadinya menjadi idola tapi jatuh di dalam dosa.

“Mereka yang tidak mau ke Gereja karena merasakan Gereja bukan home (rumah) nya. Saat saya dapat itu,  saya mulai merenungkan apa itu kata Home. Dan Tuhan kasih tunjuk dari akronim HOME,”katanya.

Gembala di salah satu Gereja yang ada di lantai 3 Mall Gandaria City ini menerangkan HOME memang terjemahannya rumah. Tapi rumah dalam bahasa Inggris ada Home dan bisa juga House. House building by hand ( Membangun rumah dengan tangan) dan juga ada Home building by heart (Membangun rumah dengan hati). 

Pdt. Andy Tjokro berkata Gereja harus jadi HOME (rumah) dan bukan house. HOME itu dimulai dari huruf Pertama ( H ) Honesty (kejujuran). Di banyak Gereja kejujuran seakan menjadi susah. Ada banyak saat ini hamba Tuhan hidup dalam pencitraan—itu karena tidak berani jujur. 

“Padahal kalau di rumah (HOME) kita bisa tampil apa adanya dan semuanya jadi enak—tanpa ada yang ditutupi (tanpa pencitraan). Saya melihat ada yang hilang dari Gereja (HOME), banyak tidak berani menjadi apa adanya tapi banyak yang menjadi ada apa-apanya,”.

Bila Gereja dijadikan (HOME),  semua seperti apa adanya, Pdt. Andy Tjokro yakin ada banyak anak muda yang mau Gereja. Sebab dengan apa adanya, anak muda – remaja akan dengan bebas menunjukkan jati dirinya masing – masing.

“Mereka hadir di Gereja tidak dituduh, tidak diadili. Bersamaan dengan itu hamba – hamba Tuhan harus jujur dan mautampil apa adanya—tidak menjaga statusnya sebagai hamba Tuhan tapi tidak jujur. Ingat! Kejujuran dan keterbukaan adalah awal dari pemulihan. Kadang hal ini kita lupa, sehingga kata jujur menjadi hal yang langka,”.

BACA JUGA  Ketum MUKI, Djasarmen Purba : Rawat Toleransi dengan Pendekatan

Kedua, ( O ) opportunity (kesempatan). Pdt. Andy Tjokro menegaskan Gereja tidak sebatas memberikan kesempatantetapi lebih dari itu mempersiapkan generasi muda. “Kita menjadi kriminal kalau  memberikan kesempatan anak untuk menyetir mobil tanpa dipersiapkan (diajari) apa fungsi setir, rem, kaca spion dan hal pendukung lainnya. Kalau kita memberikan kesempatan tapi tidak terlibat mengajari maka jangan heran kalau ada banyak anak muda kita jatuh,”

Ketiga, ( M ) Mistakes Are Normal (salah itu biasa kalau di rumah) bukan SP3 tapi bukan berarti juga menghilangkan hukuman melainkan harus dilihat apa ada yang sakit dari orang tersebut sampai bisa terjadi kesalahan. 

“Ini bukan berarti saya menghalalkan kesalahan. Mistakes are normal justru menjadi tempat para orangtua (senior atau pendeta) untuk sibuk mengajar dan memberikan memberikan pengarahan supaya generasi penerus kita tidak jatuh dalam kesalahan. Kita tetap harus berkata ayo bangkit, tetap semangat,”

Keempat, ( E ) The End Of Journey (Akhir dari perjalanan). “Kalau kita punya GPS, alamat rumah (HOME) itu tidak atau jarang pernah berubah. Berbeda dengan Destination (tujuan) yang bisa berubah seiring rencana perjalanan,”

Pertanyaannya kata Pdt. Andy Tjokro, bisa tidak para gembala menjadikan Gereja seperti  HOME? Menjadi tempat yang aman untuk generasi muda tempati setelah membanding – bandingkan apa yang disuguhkan dunia ini. “Kita harus jadikan gereja tempat yang secure dalam arti tempat untuk mempersiapkan mereka untuk pulang ke rumah besar (Surga), itu point saya,”

Sebaliknya kata Pdt. Andy Tjokro harus dihindari Gereja memiliki kesan angker, otoriter, hakim atau lembek dan kompromi. Gereja semacam itu tidak akan membawa orang (anak muda) ke Surga. Gereja (home) harus menjadi tempat tidak sekedar memberikan kesempatan tetapi juga mengajar (mendidik) dengan pecutan, bentakan dan hukuman disertai dengan cinta kasih. 

BACA JUGA  Hati-hati, Berikut Ini Kabar Hoaks Terkait Mahasiswa Seminari Bethel Jakarta yang Terpapar Covid-19

“Home kalau isinya cuma orang – orangtua saja itu namanya rumah jompo. Home kalau isinya cuma anak – anak kecil itu namanya rumah yatim piatu. Home yang normal itu di dalamnya ada Ayah, Ibu dan anak bahkan ada opa serta oma. Dan Home yang berisi semua generasi, sudah dapat dipastikan ada banyak keinginan. Ada yang suka pizza, roti dan timbel atau pecel. Tapi keinginan yang berbeda – beda dalam rumah, menurut pengalaman yang saya lihat, perbedaan dalam rumah tidak mampu membuat keluarga itu pecah – pecah,”

Pdt. Andy Tjokro memberikan kesimpulan Gereja harus menjadi rumah (HOME) yang berisi semua generasi (usia). Di dalam rumah itu juga harus ada yang namanya mendidik dengan tingkat kenyamanan. Nyaman bukan sebatas bicara fasilitas tetapi soal memiliki waktu untuk mempersiapkan generasi muda. Mempersiapkan generasi muda, tentu tidak main politik—melainkan semuanya dipersiapkan dengan nilai – nilai kejujuran atau apa adanya,”Ditutup oleh Pdt. Andy Tjokro dengan berkata Gereja harus berhenti dari hanya sebatas berbunyi melainkan harus sampai pada titik menyediakan bukti. Gereja jangan hanya repot soal tampak melainkan harus berdampak. Bagaimana bisa seperti itu, jadikan Jesus Christ gaya hidup, dan itulah yang benar – benar kabar baik. “Kalau Gereja masih saja dalam batasan berbunyi maka jangan heran kalau banyak anak muda hadir di Gereja tetapi di luar gereja dosa jalan terus,”tutupnya. 

Apa pendapat anda tentang post ini ?
+1
10
+1
1
+1
0
+1
0
+1
0
+1
1
+1
0

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini