Sebagai kota pendidikan dan budaya selalu menyimpan keunikannya tersendiri. Setiap ruas jalannya yang disetiap sudut masih nampak bangunan cagar budayanya juga terdapat ciri khas manusia yang unik didalamnya.
Salah satu yang unik dan orisinil yaitu tentang kisah Fransiscus Xaverius Sutopo atau sering disapa Pak FX Sutopo atau Pak Topo. Seorang tukang becak yang sekaligus perpustakaan keliling. MITRA INDONESIA berhasil mewawancarai pria kelahiran Yogyakarta 7 Juni 1947 yang akrab dengan becak yang bertuliskan “Berkah Dalem” di bilangan Jl. Tentara Pelajar Bumijo, Yogyakarta.
Ketika melihat fisiknya, pria berusia 71 tahun ini nampak sehat dan bugar karena pak Topo rajin berolah raga seperti lari, renang sert asenan aerobik. Sebelum menjadi tukang becak, ia bekerja sebagai tenaga honorer di Instantsi TNI Koramil Jetis, Yogyakarta sebagai juru gambar dan tulis tahun 1976. Lantas tahun 1977, disaat Kodim kehilangan juru gambarnya lalu Danramil memasukkan dirinya ke Kodim 0734 Yogyakarta bekerja mulai dari tahun 1977 sampai 1987.
Ketrampilan menggambarnya ia dapatkan karena pernah menempuh pendidikan di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), tapi sayangnya ia tidak sempat menyelesaikannya. Dari kemampuannya, ia terbiasa membuat papan nama, spanduk, dan baliho dengan cara yang manual. Bahkan pernah dalam sehari dirinya mampu menyelesaikan 10 spanduk saat bekerja di Kodim.
Cukup lama dirinya mengabdi sebagai tenaga honorer, yaitu 10 tahun. Sampai suatu waktu, Tuhan mencurahkan berkat sehingga dirinya bisa diangkat menjadi pegawai tetap melalui Dandim, YB Wirawan. “Saat itu saya ditanya sudah berapa lama bekerja sebagai honorer. Akhirnya saya diangkat dikantor dengan persetujuan dari BAKN dan masuk bekerja sebagai dengan pangkat II A karena lulusan SMA,” kenangnya.
Tahun 2003, pak Topo pensiun. Kemudian tahun 2004 ia mulai melakoni profesi barunya sebagai tukang becak. Di tengah kegiatannya, ia tidak lupa tetap membaca buku karena itu adalah hobinya.
Dari hobi inilah, ia mulai memiliki ide membuat sebuah gerakan kreatif yang bisa dilakukan s ambi l menarik becak. Tepatnya tahun 2016, pak Topo mulai merintis perpustakaan keliling dengan becaknya. Beberapa buku yang dibawa awalnya berupa kitab suci dan renungan Katolik serta koran yang ditaruh di sisi kiri dan kanan tempat duduk penumpang.
Selang satu tahun, Tuhan mulai mempromosikan dirinya melalui salah satu media cetak. Orang-orang pun menjadi tahu keberadaan dirinya dan tergerak menyumbangkan buku kepada pak Topo. Sampai saat ini koleksi bukunya mencapai 200, tapi yang dibawa sehari-hari dengan becaknya hanya 150 buku.
Kisah dirinya pun sampai di kuping orang Amerika melalui internet. Orang Amerika tersebut kemudian menemui pak Topo dan melakukan liputan serta wawancara sebagai bahan membuat buku otobiografi yang akan ditulis dalam bahasa Inggris. Seorang Amerika itu berjanji, buku Pak Topo akan terbit tahun 2018 ini.
Di kota tempatnya tinggal, ia pernah dipanggil Perpustakaan Kota Yogyakarta untuk diberi arahan mengkampanyekan Gerakan Indonesia Membaca. “Saya merasa prihatin anak sekolah sekarang sibuk memegang HP dan untuk membeli buku juga mahal. Dalam kesulitan ini, semoga ketika mereka masih ingin membaca buku bisa datang ke perpustakaan saya. Saya sering mangkal juga di Malioboro. Dan saat becak saya dikerumuni orang-orang untuk berebut membaca buku, saya merasa senang sekali,” imbuhnya.
Suka duka
Suka duka yang dialami dirinya selama berkeliling beragam. Ia ingat ketika ada seorang mahasiswa yang pinjam enam buku namun hanya satu yang dikembalikan. Sebagai manusia, tentu ia sedih, tapi itu semua hanya ia hadapi dengan senyuman. Tuhan pun tidak tinggal diam, dibalik kehilangan buku koleksinya, selalu ada orang yang memberikan buku baru dengan jumlah yang cukup banyak.
Untuk menjaga pembaca tidak bosan, pak Topo secara berkala mengganti buku yang dibawa. Ia juga tahu dan paham apa isi dari buku-buku yang dibawa. Dengan inilah ia berani menyebut dirinya seorang pustakawan, bahkan bagi yang sudah umum pak Topo seperti seorang “Pustakawan Underground”.
Pernah juga ia mendapatkan pelanggan yang mengajaknya minum di cafe dan ingin membeli salah satu koleksi buku dirinya tentang pidato berbahasa Jawa.
Kagum dengan Paulus
Dulu, pak Topo bukanlah seorang Katolik. Ketertarikannya dengan agama Katolik muncul ketika duduk di bangku SMA. Berawal dari buku-buku renungan dari seorang temannya, hatinya mulai tergugah dan mendalami agama Katolik. “Saya baca surat Paulus dan saya jadi kagum. Paulus saja bisa begitu, kenapa saya tidak,” kenang pria dengan lima cucu ini.
Jemaat Gereja Santo Albertus Jetis Jl. AM Sangaji Yogyakarta ini berpesan supaya senantiasa menjaga keseimbangan hidup agar kehidupan rohani dan jasmani menjadi selaras. “Firman itu dari atas, yang non firman itu dari dunia. Kekuatan membaca pengetahuan apa saja akan muncul saat kita sering membaca firman. Karena firman memberi kekuatan yang luar biasa baik fisik maupun rohani. Mari kita menggiatkan olah rohani salah satunya dengan kembali lagi gemar membaca,” pesannya. (Elyandra Widharta)