Willem Wandik Ketua Umum GAMKI

Jakarta – Pengamalan dan penghayatan nilai-nilai Pancasila harus menjadi pedoman dalam membangun dan menciptakan kedamaian di Papua. 

Hal itu dikatakan Kabaintelkam Polri Komjen Paulus Waterpauw saat mengikuti diskusi virtual bertajuk “Memaknai Pancasila dalam Konteks Mewujudkan Papua Damai” yang digelar Relawan Pancasila Muda, Kamis (22/7). 

“Saya berpikir memang untuk mewujudkan pembangunan nasional di Tanah Papua, maka kita harus berpedoman pada lima sila Pancasila,” kata Paulus seperti yang termuat dalam siaran pers yang diterima redaksi Sabtu, 24 Juli 2021. 

Mantan Kapolda Sumatera Utara dan Kapolda Papua ini menuturkan, Pancasila dimaknai sebagai kepribadian bangsa, menjadi identitas bangsa Indonesia dalam diri setiap pribadi. Pancasila juga harus menjadi visi untuk mempersatukan bangsa, menjadi petunjuk dalam mencapai kesejahteraan serta kebahagian lahir dan batin.Termasuk sumber hukum dan peraturan, tidak boleh bertentangan dengan Pancasila. 

Bicara Papua, tidak lepas dari latar belakang sejarah integrasi Papua yang tercatat dalam Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969. Dan sejak saat itu sudah ada intrik atau gejolak-gejolak yang ujungnya menimbulkan berbagai dampak gangguan keamanan, ketentraman, dan ketertiban di tengah-tengah masyarakat. 

Paulus berpendapat, kaum milenial sesungguhnya memiliki banyak unsur kemampuan baik dari sisi intelektualitas, kapasitas, dan konektivitas untuk dapat terlibat dalam menggerakkan perubahan. 

“Sebenarnya, sesungguhnya, harapan itu ada pada daerah otonomi khusus ini yang melahirkan tiga unsur penyelenggara negara di Papua. Kita kenal yang pertama adalah birokrasinya, kedua legislator dan ketiga Majelis Rakyat Papua. Tiga pilar ini semestinya menjadi motor penggerak perubahan Papua yang lebih sejahtera aman dan damai. Itu harapannya,” katanya. 

Ditegaskannya, menjunjung tinggi hukum dan berbuat baik untuk mewujudkan keadilan, juga kepastian hukum di Papua, hal itu harus dilaksanakan unsur eksekutif, legislatif, dan Majelis Rakyat Papua sebagai simbol kultur masyarakat Papua. 

“Jadi mari sama-sama kita dorong ini, agar betul-betul nilai-nilai Pancasila bisa menjadi rel perjuangan bersama untuk mempercepat pembangunan yang sudah dijajaki oleh negara, oleh bangsa ini,” ujar Paulus. 

Dalam kegiatan yang diinisasi oleh Pemuda Katolik, Peradah, SEMMI, Gemabudhi, GAMKI, PERISAI, dan IPTI ini, Ketua Umum Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI), Willem Wandik menyebut bahwa ada narasi besar yang harus digarisbawahi dalam diskusi tersebut. Narasi yang dimaksud adalah Pancasila dan Damai. 

“Damai dimana? Tentunya secara harfiah, menunjukkan tempat, yaitu Tanah Papua. Jika ‘tesis’ yang diajukan dalam narasi besar, tentang tempat yang bernama Tanah Papua itu, disandingkan dengan tujuan, cita-cita, harapan, goals, dan destinasi tentang ‘keadaan damai’, maka, pertanyaan yang perlu untuk diajukan, Apakah Tanah Papua itu sedang tidak damai?” kata Wandik. 

BACA JUGA  Bukti Ideologi Pancasila Mulai Digerogoti Perlahan-lahan

Menurutnya, untuk menjawab hipotesis ‘damai’ tersebut seluruh pihak perlu mencari tahu maksud dan tujuan mengapa Tanah Papua membutuhkan kalimat ‘damai’. 

“Secara harfiah, kebalikan atau negasi dari kata damai itu berarti konflik. Konflik secara sederhana berarti adanya kesenjangan, baik dari sisi pikiran atau konsepsi maupun pada bentuk tindakan yang di harapkan terjadi atau tidak terjadi,” ujarnya. 

Lantas dia mempertanyakan, apa sejatinya yang sedang terjadi di Tanah Papua. Apakah Tanah Papua itu Tanah yang Damai? Ataukah Tanah yang berkonflik? 

“Pertama, mari kita maknai kata ber-Pancasila, yang dijelaskan dalam bentuk tekstualnya. Di antaranya, Pancasila itu berisi adanya cita-cita tentang keyakinan terhadap Tuhan, mencintai sesama atas dasar kemanusiaan, dan menjunjung tinggi kemanusiaan,” terang Wandik yang juga sebagai anggota DPR RI dari Dapil Papua ini. 

“Mencintai persatuan di tengah keberagaman dan bukan berharap menjadi satu identitas saja. Mempraktikkan musyawarah dalam setiap persoalan berbangsa, dan terakhir Pancasila itu mengajarkan setiap orang atau pemimpin untuk berbuat adil,” paparnya.

Melihat substansi Pancasila, katanya, seharusnya tidak ada masalah yang diperbincangkan di Tanah Papua, Sebab, kelima asas atau fundamental sila yang menyusun makna tekstual dalam Pancasila tersebut, justru merupakan parameter kehidupan bernegara yang dicita-citakan oleh semua manusia yang hidup di Bumi Nusantara, tanpa terkecuali, termasuk bagi rakyat Papua. 

Namun, sambungnya, jika mengecek fakta yang terjadi di Tanah Papua, wajah konflik militerisme, TPM, OPM, KKB, kekerasan dan pelanggaran HAM, seperti dua sisi mata uang koin yang tidak bisa dipisahkan. 

“Dalam benak banyak orang, ketika berbicara tentang ‘Papua’, maka kalimat pertama yang terucap adalah tingginya angka kekerasan dan masalah kemanusiaan,” kata Wandik. 

Dia menegaskan, Pancasila di Tanah Papua ternyata sama sekali belum eksis, padahal peristiwa monumental Pepera 1969 yang menghantarkan rakyat Papua kembali dalam pangkuan NKRI telah secara resmi menempatkan Tanah Papua sebagai kepulauan terakhir yang bergabung bersama Republik. 

“Namun, nasib warga negara di Tanah Papua, masih dibayang-bayangi dengan ancaman kekerasan yang terus diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya,” terang Wandik. 

Di sisi lain, Pemuda Katolik Edward Wiryawan menyebut bahwa dalam konteks ancaman, thread, atau risiko, persoalan-persoalan Papua harus dikaji dalam perspektif Geo Politik. 

BACA JUGA  Dihadapan Para Pendidik, Romo Benny Ingatkan Pentingnya Nilai Pancasila

Menurutnya, ada kekuatan asing, proxy war, kepentingan globalis dalam situasi keamanan di Papua. Berbagai kekuatan itu masuk melalui pemicu seperti rasialisme, ketimpangan ekonomi, dan lain sebagainya. 

“Menanggapi multi persoalan di Papua, kita, Indonesia punya Pancasila. Pancasila bisa dimaknai beragam, mulai dari sebagai kepribadian bangsa, social guidance, hingga kepada Pancasila sebagai cita-cita bangsa. Saya meringkas, bahwa Pancasila adalah kitab ‘suci Warga Negara Indonesia’ dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” ujar Edward. 

“Pancasila akan cukup jika diimplementasikan dalam kebijakan, baik nasional maupun daerah. Papua pada akhirnya harus dilihat sebagai subjek dan bukan objek. Papua harus dilihat dalam kesetaraan, kesamaan dan bagian dari bumi Indonesia; dari negeri Bhinneka Tunggal Ika,” ucapnya. 

Sekretaris Jenderal DPP Generasi Muda Buddhis Indonesia (Gemabudhi) Suprionoto menambahkan bahwa proses menjadi bangsa yang bersatu, bermartabat, dan kuat adalah suatu proses dialogis yang harus terus menerus berlangsung, baik lintas suku, lintas agama, maupun lintas generasi. 

“Yang terjadi di Papua adalah masih kurangnya pemerintah pusat ataupun daerah mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila khususnya dalam ranah pengambilan keputusan untuk kebijakan-kebijakan publik. Jika nilai ideologis Pancasila ini menjadi dasar pengambilan keputusan, menurut saya orang asli Papua pasti semakin yakin dengan masa depan mereka yang adil dan bermartabat sebagai bangsa Indonesia,” pungkasnya. 

Menutup diskusi tersebut, moderator Ronald Rischard Tapilatu menyimpulkan bahwa pemerintah sudah melakukan berbagai upaya untuk menyelesaikan masalah Papua. Namun berbagai upaya tersebut perlu didukung dengan penguatan melalui penerapan Pancasila dalam hal-hal sederhana, antara lain prasyarat perdamaian adalah kesejahteraan yg adil. 

“Relawan Pancasila Muda bisa berkontribusi membantu penyelesaian konflik di Tanah Papua dengan membuat roadmap solusi strategis untuk persoalan Papua yang belum selesai hingga hari ini. Harapannya dengan adanya roadmap bersama, akan membantu semua pihak untuk lebih aware, peduli, dan lebih semangat menyadari perannya masing-masing,” jelas Ronald. 

Turut hadir beberapa penanggap lainnya, antara lain Ketua Umum SEMMI Bintang Wahyu Saputra, Ketua Umum Gemaku JS Kristan, dan Ketua Umum Peradah I Gde Ariawan.

Apa pendapat anda tentang post ini ?
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini