Harry Mandagi, Jonathan (Anak), Susan Mandagi, Rebecca (Mantu) dań Theophilus (Cucu)

JAKARTA – Misi dan penginjilan adalah dua istilah yang sering di dengar namun tidak sedikit orang Kristen yang salah  memahami bahkan tidak tahu perbedaannya. Seringkali istilah “misi” dipakai secara keliru oleh orang Kristen, bahkan oleh hamba Tuhan sekalipun. Sesungguhnya penginjilan dan misi mempunyai arti yang mirip tapi ada perbedaan yang prinsip. Tidak sedikit yang menggunakan kedua istilah ini secara bergantian sehingga kehilangan makna yang sesungguhnya. 

Secara umum arti Penginjilan adalah memberitakan kabar baik kepada semua  orang. Arti sempitnya adalah memberitakan kabar baik kepada orang-orang yang berbahasa sama dengan penginjil dengan latar belakang budaya yang tidak jauh berbeda. Dalam hal ini, Injil yang disampaikan tidak terlalu mengalami kendala yang berarti. 

Akan tetapi bila Injil yang disampaikan kepada orang yang berbeda budaya tetapi berbahasa yang sama, ada kendala yang mulai dihadapi. Pada hakekatnya disebut orang membawa “misi” kepada suku lain. 

Di dalam Mat 28:19 kata “bangsa” dalam bahasa Yunani dipakai kata “ethne” yang kemudian dikenal dengan istilah “etnis” atau suku bangsa yang terdiri dari banyak suku-suku.  Amanat agung Tuhan Yesus itu adalah membawa kabar baik itu melingkupi semua suku-suku, baik yang sama maupun berbeda budaya dan bahasa.

Membawa berita Injil kepada suku bangsa yang berbeda budaya maupun bahasa itu disebut “misi lintas budaya” dan misi inilah yang paling terberat karena banyak kendala yang dihadapi seperti bahasa dan budaya yang sangat berbeda.

Ada orang-orang tertentu yang terpanggil untuk melayani misi lintas budaya, akan tetapi untuk memberitakan Injil, itu adalah perintah yang harus dilakukan bagi setiap orang percaya di manapun berada.

Untuk misi lintas budaya, Injil dapat tersampaikan secara lebih efektif apabila melalui pendekatan budaya setempat. Itu yang disebut kontekstualisasi dalam penginjilan. 

Sebaliknya apabila penjangkauan dilakukan tanpa pendekatan budaya setempat, seringkali kabar baik ditolak oleh penerima Injil. Apa yang menjadi latar belakang penolakan ini? Apakah berita Injil yang ditolak atau ada faktor yang lain?

Masalahnya terletak pada cara pendekatan yang kurang tepat. Sebelum menjawab permasalahan ini, ada pertanyaan yang perlu dipikirkan kenapa bisa ada banyak budaya di dunia ini? Sejak kapan budaya itu ada di dunia? 

Budaya itu Allah yang ciptakan. Kapan diciptakan? Pada waktu peristiwa manusia mendirikan menara Babel, saat itu hanya ada satu bahasa. 

BACA JUGA  Pdt. Yoseph Sumakul : MUSDA Lanjutan Akan Diikuti 5 Calon. Pendeta YS, Tidak Bisa Ikut.

Allah menyerakkan manusia ke seluruh bumi dengan mengacaukan bahasa, pada saat itulah tercipta banyak bahasa agar manusia tidak saling mengerti. Mulai dari peristiwa itulah Allah menciptakan berbagai suku dengan masing-masing budaya yang unik/khas. 

Murid Yesus yang paling banyak berkeliling dari satu daerah ke daerah yang lain dalam membawa misi lintas budaya adalah Paulus. Dia memberitakan Injil kepada berbagai suku bangsa termasuk orang-orang Yahudi perantauan (diaspora). 

Paulus menggunakan pendekatan budaya setempat dalam memberitakan Injil ke berbagai suku bangsa.  Paulus, seorang Yahudi yang hidup pada zaman dimana pengaruh budaya Yunani yang begitu kuat. 

Dimana Injil dia beritakan, Paulus selalu memakai pendekatan budaya setempat ( I Kor 9:20-21). “Demikianlah bagi orang Yahudi aku menjadi seperti orang Yahudi, supaya aku memenangkan orang-orang Yahudi. Bagi orang-orang yang hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi seperti orang yang hidup di bawah hukum Taurat, sekalipun aku sendiri tidak hidup di bawah hukum Taurat, supaya aku dapat memenangkan mereka yang hidup di bawah hukum Taurat. Bagi orang-orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi seperti orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat, sekalipun aku tidak hidup di luar hukum Allah, karena aku hidup di bawah hukum Kristus, supaya aku dapat memenangkan mereka yang tidak hidup di bawah hukum Taurat.”

Pada saat Paulus memberitakan Injil kepada orang Yahudi, yang digunakan pendekatan budaya Yahudi, demikian pula ketika Injil disampaikan kepada orang Yunani, pendekatan budaya Yunani yang dipakainya. 

Paulus mengerti dan memahami dengan betul pendekatan budaya yang digunakannya. Sebab setiap suku memiliki tradisi-tradisi yang khas serta kepercayaan-kepercayaan tertentu yang bisa dipakai sebagai pendekatan dalam penjangkauan dengan Injil termasuk istilah-istilah yang mereka gunakan sehari-hari.

Sebaliknya apabila penjangkauan dilakukan tanpa pendekatan budaya setempat, seringkali terjadi penolakan  dari penerima Injil. Sebenarnya yang ditolak bukan Injilnya tetapi karena banyak muatan budaya yang asing bagi mereka—bahkan “seperti” ingin menghilangkan budaya yang ada. Dalam penginjilan / penjangkauan tidak boleh “meniadakan” budaya dari orang – orang yang mau dijangkau. Ingat! budaya adalah ciptaan Allah.

Ada hal-hal yang perlu diperhatikan bagi penginjilan secara kontekstualisasi budaya karena ada suku-suku tertentu yang masih mempraktikkan tradisi-tradisi nenek moyang dengan sangat kuat turun temurun walaupun mereka sudah bertobat.

BACA JUGA  Paradoks Natal : Datang untuk Mati Supaya Hidup

Tidak semua tradisi / kepercayaan dari suku-suku ini bertentangan dengan ajaran Alkitab. Pada prinsipnya, tradisi yang tidak bertentangan dengan ajaran Alkitab umumnya bersifat selebrasi / perayaan, sedangkan yang tidak diperbolehkan umumnya yang berkaitan dengan ritual, misalnya seperti menyembah atau mendoakan arwah nenek moyang, dsb.

Apabila sudah menjadi orang percaya tapi masih melakukan praktik tradisi-tradisi yang bersifat ritual dari kepercayaan lama, itu disebut sinkretisme dalam agama. Seorang Kristen sejati pasti akan meninggalkan praktik-praktik ritual kepercayaan lamanya tetapi dalam hal tradisi yang bersifat selebrasi, tidak ada larangan untuk dilakukan, bahkan banyak tradisi-tradisi tertentu yang baik dalam konteks etika moral dan hubungan antar manusia. 

Bagi petobat baru memang tidak mudah melepaskan ritual yang sudah “ditanamkan” sejak kecil  oleh orang tuanya, maka dari itu perlunya membina petobat baru ini dan menjadikannya murid Kristus seperti apa yang diperintahkan dalam Amanat agung Tuhan Yesus di Mat 28:19. 

Sering terdengar orang mengatakan istilah “mission trip” yang dilakukan oleh gereja-gereja. Apakah benar yang dilakukan adalah  membawa Injil yang melintasi suku dan budaya? Atau hanya sekedar KKR beberapa hari dan kemudian meninggalkan tempat tersebut? Ataukah memberi bantuan kepada Gereja-gereja di pedalaman? Itu tidak salah bahkan perlu dilakukan tetapi itu bukan misi. 

Arti “misi” yang sesungguhnya adalah memberitakan Injil melintasi budaya bahkan bahasa dan kemudian membina petobat-petobat baru tersebut untuk diperlengkapi dengan pemahaman-pemahaman yang Alkitabiah agar tidak menjadi orang sinkretis.

Gereja diingatkan ada Amanat agung Tuhan Yesus yaitu memberitakan injil. Ingat! itu tidak terbatas hanya kepada sesama suku atau suku tertentu tetapi juga kepada semua suku (etnis) yaitu misi lintas budaya. 

Di belahan bumi di mana kaki berpijak, ada lebih dari seratus suku yang bukan tidak terjangkau tetapi belum dijangkau. Mereka adalah suku-suku yang terabaikan. Siapa yang mengabaikan mereka dan siapa yang bertanggung jawab menjangkau mereka? Setiap orang percaya yang disebut gereja-Nya.

Penulis : Harry Mandagi, adalah seorang pemerhati yang memiliki panggilan pelayanan untuk umat Kristiani di Indonesia lintas Sinode Gereja.

Apa pendapat anda tentang post ini ?
+1
2
+1
1
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini