Pdt. Albertus Patty (Foto: dok pri)

JAKARTA – Sidang Raya PGI akan digelar bulan November 2019 di Sumba, NTT. Selain membicarakan laporan kinerja pengurus periode 2014-2019, salah satu agenda lainnya adalah memilih ketua umum dan sekretaris umum PGI periode 2019-2024.

Setidaknya, ada beberapa nama yang muncul untuk kandidat calon ketua umum, salah satunya Pdt. Dr. Albertus Patty. MITRA INDONESIA dalam sebuah kesempatan berbincang-bincang dengan pendeta jemaat GKI Maulana Yusuf Bandung ini.

Pdt. Patty membenarkan dirinya akan maju sebagai calon ketua umum PGI periode mendatang. Ia juga sudah mendapatkan rekomendasi dari sinode Gereja Kristen Indonesia (GKI). “Banyak yang tanya kepada saya ‘maju ya pak’. Saya waktu itu enggak berani ngomong apapun, karena saya belum tentu diutus GKI. Kenapa? Karena GKI punya banyak sekali Doktor, banyak sekali orang yang cerdas, pintar, hebat, inovatif,” ungkapnya.

Namun, di tengah keraguannya, keseriusan justru ditunjukan anggota sinode PGI lainnya. Mereka mendorong Pdt. Patty maju dengan menghubungi pihak sinode GKI agar memberikan rekomendasi. “Ada beberapa teman yang kemudian telepon ke Sinode GKI. Akhirnya pihak sinode menggelar rapat lalu diputuskan memberikan rekomendasi kepada saya untuk maju sebagai calon ketua umum PGI periode mendatang,” ceritanya.

Baca juga: Sekum GKI: Pdt Albertus Patty Adalah Kader Terbaik GKI

Pendeta berdarah Ambon ini mengungkapkan, rekomendasi yang diberikan kepadanya merupakan sebuah tanggung jawab pelayanan. Ada banyak hal yang akan ia lakukan, terutama untuk kesejahteraan para pendeta di daerah. “Saya bersyukur saat ini duduk sebagai salah satu Ketua PGI. Dari sinilah saya pergi ke berbagai daerah. Di sana saya menemukan ada pendeta yang hanya digaji Rp 70-80 ribu per bulan. Itu menyentak saya pada satu kehidupan lainnya,” kata lulusan dari STT Jakarta tahun 1986.

Dari fakta yang ia dapatkan di lapangan, ayah dua orang anak ini ingin membuat program untuk mengangkat para pendeta maupun jemaat di daerah-daerah miskin untuk diberdayakan. “Bukan lagi hanya rapat-rapat untuk membicarakan berbagai persoalan, tapi juga harus melakukan aksi nyata untuk merespon persoalan tersebut,” paparnya.

BACA JUGA  Lin Niko Yehezkiel, Memperjuangkan dan Merealiasikan Ekonomi Kerakyatan

Apakah PGI memiliki domain untuk melakukan hal tersebut? Pdt. Patty menjawab bisa. Caranya membangun jaringan dengan instansi, sinode atau pihak-pihak yang dapat diajak untuk berkerja sama. “Bagaimana hati kita ketika melihat ada kantor sinode yang kondisi kantornya tidak layak lagi? Kita pun selama ini selalu meminta iuran kepada mereka. Tapi alangkah lebih baik kita juga berpikir bagaimana mereka (sinode, pendeta) bisa memiliki kehidupan yang layak,” tanyanya.

Katanya lagi, yang diberikan tidak harus berupa uang tapi bisa berupa pelatihan untuk para warga jemaatnya. Ketika hal ini berhasil maka yang akan menikmati hasilnya bukan hanya jemaat melainkan juga gereja lokal maupun sinode gereja tersebut bernaung termasuk daerahnya. “Saya ingin PGI ini menjadi center. Jadi PGI membangun jejaring kemudian berkolaborasi bersama untuk menyelesaikan berbagai persoalan,” jelasnya.

Menurut Pdt. Patty, jaringan saat ini lebih dibutuhkan dibandingkan dengan uang. Maksudnya, melalui jaringan uang tersebut akan datang dengan sendirinya sehingga bisa dipakai untuk membiayai program yang ada. “Saya nanti akan menggunakan link saya untuk membuat berbagai program. Saya kenal dengan banyak menteri dan konglomerat di GKI. Mereka suka tanya ke saya ‘apa yang bisa saya bantu?’ itu artinya mereka ada uang tapi bingung mau diapakan atau dikasih kemana. Mereka membutuhkan kepercayaan agar uang tersebut benar-benar sampai kepada yang membutuhkan. Kalau saya ada disitu saya yakin mereka mau mengeluarkan uangnya,” paparnya.

Nantinya dari berbagai program yang ada, Pdt. Patty juga akan membuat indikator yang bisa digunakan (dilihat) sejauh mana tingkat keberhasilannya. Hal ini dilakukan agar siapapun yang meminta, bisa mendapatkan datanya secara rinci dan lengkap. “Misalnya tentang kemiskinan. Contoh, sekarang ada 100 daerah miskin, lalu lima tahun kemudian tinggal 60 daerah miskin. Itu akan dijabarkan melalui data sehingga terlihat peningkatannya. Misalnya juga tentang data penutupan gereja, itu akan kita jabarkan data-datanya. Data tersebut menjadi indikator untuk bisa mengukur keberhasilan kinerja MPH PGI,” paparnya.

BACA JUGA  PGI Mengimbau Umat Kristen di Indonesia Hindari “Open House" Natal

Lulusan Magister bidang Adult Education di Indiana  University of Pennsylvania (IUP) USA ini juga ingin membangun kolaborasi dengan berbagai universitas Kristen untuk mencetak kader-kader Kristiani yang memiliki wawasan dan dapat memberikan kontribusi bagi persoalan bangsa. Sebab Pdt. Patty melihat kader yang dimiliki umat Kristiani masih minim. “Kita saling berkolaborasi dengan memberikan kader kita dari sinode untuk sekolah lebih lanjut. Agar lima tahun kemudian ada banyak Doktor yang hebat dan mungkin saja nanti kita yang akan bingung memilih orang karena kebanyakan orang-orang yang hebat,” jelasnya.

Di sisi lain, Pdt. Patty menyoroti gereja yang hubungannya tidak pernah dekat dengan pemerintah. Menurutnya, hal itu dipicu karena pemikiran gereja masih seperti orde baru yaitu kritis terhadap pemerintah. Gereja masih memandang politik itu dosa dan berpikir kritis berarti menyuarakan suara kenabian. “Kalau kita lihat sekarang pemerintahan Presiden Jokowi sudah oke. Seharusnya kita bisa berkolaborasi. Datang kepada beliau dan ceritakan apa yang ingin kita lakukan. Saat ini efeknya apa? Lihat teman-teman muslim bisa dapat 60-70T setiap tahun, tapi kita pun tidak,” katanya dan menambahkan suara kenabian yang seharusnya disuarakan bukan lagi ke pemerintah melainkan kepada gereja-gereja. “Gereja sekarang lebih banyak berkelahi dan apatis. Itu yang seharusnya dikritisi.” (NW)

Apa pendapat anda tentang post ini ?
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
1
+1
0

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini