Pdt. Dr. S. Tandiassa, M.A (Dok. Pribadi)

Yogyakarta – Gawe Gede Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) yang nama kerennya Musyawarah Besar (Mubes), akan dilaksanakan pada 15 – 17  Maret 2022 di salah satu hotel di Kawasan Kemayoran, Jakarta. 

Agenda utama Gawe tersebut adalah Pemilihan Ketua Umum Majelis Pusat GPdI. Seperti halnya pemilihan atau penggantian Ketua Umum (Ketum) di dalam setiap organisasi sosial, politik, atau ormas-ormas lainnya.

Mubes GPdI juga tidak terlepas dari spirit persaingan antar kandidat. Di dalam persaingan tersebut para kandidat berusaha menggunakan berbagai cara, jalan, dan kekuatan untuk menarik pemilih demi meraih posisi top leader.  

Di dalam konteks MINDSET masyarakat GPdI, khususnya   para pendeta, menjadi ketua umum Majelis Pusat, atau pun ketua Manjelis Daerah di tingkat daerah, itu adalah sebuah posisi yang sangat bergengsi dan terhormat, walaupun  tidak ada insentif atau fasilitas khusus dari organisasi untuk seorang ketua umum MP atau ketua MD GPdI. Ada mitos di lingkup  pendeta-pendeta GPdI bahwa menjadi seorang ketua umum MP atau ketuam MD GPdI adalah sebuah puncak pencapaian sukses bagi seorang pendeta.

TERTLEPAS dari Gawean Gede GPdI yang bernama MUBES,  penulis mencoba membuat analisis secara sederhana, berdasarkan empirik, terhadap fenomena-fenomena yang selalu muncul isu setiap kali menjelang pemilihan Ketum di dalam organisasi kemasyarakatan, baik itu organisasi politik, organisasi Sosial, maupun organisasi keagamaan, termasuk agama Kristen, tidak terkecuali dalam hal ini organisasi GPdI.

Paling sedikit terdapat tiga jenis kekuatan yang selalu muncul sebagai fenomena mendahului atau menuju pemilihan pimpinan atau ketua di dalam organisasi, termasuk organisasi keagamaan. Kekuatan-kekuatan tersebut adalah:

1. Kekuatan Kekuasaan 

Kekuatan kekuasaan terdiri dari perangkat-perangkat organisasi, alat-alat kekuasaan, kewenangan-kewenangan yang melekat pada seorang pemimpin organisasi. Selanjutnya, Power of authority mencakup fasilitas-fasilitas organisasi, termasuk dana tentunya, struktur personalia organisasi dari tingkat pusat sampai ke daerah-daerah, yang secara praktis berada dibawah kekuasaan seorang pemimpin organisasi atau seorang ketua. 

Meraih Posisi: 

Di dalam konteks persaingan untuk meraih posisi ketua atau top leader, kekuatan kekuasaan tentu hanya dapat digunakan oleh yang memegang kekuasaan, atau dalam bahasa politik, calon Petahana atau Incumben. Dengan kekuasaan atau otoritas yang masih digenggamnya, petahana dapat dengan mudah “mengarahkan”, “menekan”, “menginstruksikan” untuk memilihnya, bahkan tidak jarang calon incumbent memberi sinyal-sinyal yang dapat diartikan sebagai “intimidasi” pada orang-orang yang berada di dalam struktur organisasi yang dipimpinnya.

Selanjutnya, karena masih memegang kekuasaan, calon incumbent juga biasanya bisa dengan leluasa menggunakan semua fasilitas organisasi sebagai sarana kampanye, termasuk uang. Tidak jarang pula aturan-aturan organisasi yang biasa disebut AD/ART organisasi dimanipulasi oleh pemegang kekuasaan demi mempermudah dirinya meraih posisi di satu sisi, dan di sisi lain bisa mempersulit calon-calon saingannya.

Gaya Leadership

Proses, upaya, atau perjuangan yang dilakukan calon incumbent untuk meraih posisi top leader dengan menggunakan ‘kekuatan kekuasaan’ dengan sendirinya akan  mewarnai bahkan menentukan gaya kepemimpinannya. 

Maksudnya, jika calon incumbent berhasil meraih top leader di dalam organisasi apapun karena atau dengan menggunakan kekuatan kekuasaan, maka sudah pasti ia akan menjalankan  kepemimpinan organisasi dengan kekuatan kekuasaan pula.  Di dalam bahasa leadersip disebut memimpin dengan memaksakan kehendak, mengintimidasi dengan sanksi, dan memerintah (memimpin) dengan tangan besi alias otoriter.

BACA JUGA  Hidup dengan Satu Ginjal Pendeta Ini Tetap Semangat Melayani

2. Kekuatan Finansial

Dari namanya ‘kekuatan finansial’ sudah jelas ini adalah kekuatan ekonomi, atau kekuatan materi, atau dalam dunia politik disebut money politic. Calon yang menggunakan kekuatan finansial (uang) biasanya mencari investor, yaitu orang-orang yang memiliki kepentingan di dalam organisasi yang bersangkutan. Antara calon dan para investor biasanya ada deal-deal yang saling menguntungkan. Ada deal tentang jata proyek, ada deal tentang mendapatkan fasilitas, dan ada pula deal tentang posisi di dalam struktur organisasi – lazim disebut bargaining Position.

Sebuah isu pernah beredar, konon pada Mubes sebuah organisasi keagamaan pada tahun 2017, sang Caketum menjanjikan posisi kepada siapa yang mau menyumbang untuk pemenangan—semacam “berinvestasi”. Tawaran itu ternyata cukup menggiurkan sehingga konon ada beberapa orang yang menyumbang sampai ratusan juta, dan ada juga yang sampai menjual mobilnya untuk mendapatkan posisi. Ketika calonnya berhasil, para “investor” mendapatkan posisi yang cukup bergengsi, meski dalam praktiknya sebagian investor tidak diberi tugas atau peran.         

Meraih Posisi: 

Dengan Financial Power, atau kekuatan finansial, Caketum dengan sendirinya akan menggunakan finansial atau uang sebagai kekuatan, daya tarik, dan pengaruh untuk meraih posisi. Sang calon akan tampak sebagai sosok yang baik hati, peduli, setia kawan, dan murah hati. Ia akan ber acting sangat peduli dengan cara memberikan bantuan finansial, memberi fasilitas dan kemudahan, dan sangat memanjakan para pemegang hak suara.  Singkatnya, calon dengan kekuatan finansial tidak akan segan-segan menguras dompetnya demi mencitrakan diri sebagai sosok calon pemimpin yang sangat peduli, baik hati, dan murah hati. Dari segi kemanusiaan sebenarnya sangatlah tidak etis menggunakan kekuatan uang untuk meraih posisi leader. 

Pertama: karena dengan menggunakan uang untuk mempengaruhi dan mendapatkan dukungan, sang calon sangat merendahkan martabat manusia, karena ia menilai dan mengukur manusia hanya dengan sejumlah uang. Kasarnya sang calon membeli para pendukung. 

Kedua:  orang yang menerima uang demi memilih nama sang calon, sesungguhnya telah merendahkan martabatnya sendiri. Istilah sederhananya menjual martabat dirinya. Artinya, baik calon yang menggunakan kekuatan finansial maupun pemilih, sama-sama merendahkan martabat kemanusiaan.

Gaya Leadership: 

Jika dengan kekuatan fiansial seseorang berhasil menjadi leader, otomatis sang leader berprinsip kemenangannya karena membayar atau membeli suara. Konsekuensinya, sang leader akan mengelola organisasi seperti mengelola perusahaan milik pribadi-keluarga, dan bawahan (anggota) nya dianggap dan diperlakukan sebagai karyawan yang bekerja untuk kepentingan sang pemimpin.

Singkatnya, leader yang menang karena kekuatan finansial sudah pasti gaya leadershipnya adalah Boss Style. Bos tidak boleh dibantah, bos  tidak mau bermusyawarah mufakat, bos menentukan kebijakan organisasi sesuka hatinya.  Semua yang dikatakan bos harus diyakini benar, dan sewaktu-waktu sang bos bisa memecat karyawan tanpa kompromi.  Ya suka-suka bosslah!

3.  Kekuatan Moral  

Kekuatan Moral atau Moral Power adalah akumulasi dari: karakter, spiritualitas, mentalitas, intelektualitas, dan integritas. Seseorang disebut memiliki kekuatan moral karena ia menjunjung tinggi nilai-nilai moral, menghayati nilai-nilai religius, menunjukkan integritas, serta memiliki kapasitas intelektual sesuai dengan posisinya. Atau dalam istilah lain, orang yang memiliki kekuatan moral adala orang yang berakhlak mulia. 

Selain itu, seseorang dapat memiliki kekuatan moral atau berakhlak karena rekam jejaknya bersih. Namanya bebas dari kasus atau isu moral, semisal penipuan, penyalahgunaan wewenang, korupsi, tidak jujur, isu WIL atau PIL, dll.

BACA JUGA  Pdt. Herry Lumatauw, Pembicara di KKR KDP3 GPdI Jawa Barat, Gedung GPdI Anugerah “Tidak Sanggup” Menampung Umat yang Hadir

 Meraih Posisi: 

Kebalikan dari dua kekuatan sebelumnya, seorang calon pemimpin dengan kekuatan moral, atau dengan berakhlak tidak dapat menggunakan kekuatan kekuasaan atau kekuatan finansial – uang, karena cara-cara itu akan melukai nuraninya,  bertentangan dengan nilai-nilai moral, nilai-nilai religius, dan nilai-nilai kemanusiaan yang dianutnya.  

Pada umumnya calon pemimpin yang memiliki kekuatan moral akan mencari dukungan melalui cara-cara yang juga mengutamakan nilai-nilai moral: melakukan pendekatan persahabatan, menempatkan dirinya sebagai kawan bukan sebagai bos, dan memposisikan orang lain sebagai subyek, bukan sebagai obyek. Selanjutnya, sang calon dengan kekuatan moral akan  membangkitkan harapan-harapan baru, membuat setiap orang merasa sangat penting dan berarti, serta menjunjung tinggi martabat setiap orang.   

Calon pemimpin dengan Moral Power atau berakhlak, tidak ambisius untuk mengejar kedudukan. Yang mendorongnya untuk menjadi pemimpin adalah visi dan misi untuk organisasi atau untuk masyarkatnya menjadi lebih baik, lebih sejahtera, lebih maju, dan lebih terhormat. Bahkan memiliki beban dan tanggung jawab moral untuk mamperbaiki keadaan, mengembalikan atau menaikkan kejayaan organisasi serta mensejahterakan organisasi yang di dalamnya ada anggota-anggotanya.   

Gaya Leadership 

Bila seorang calon akhirnya berhasil meraih top leader karena kekuatan moral, sang leader akan memimpin atau mengelola organisasi dengan mengutamakan prinsip-prinsip dan nilai-nilai moral serta menjunjung tinggi martabat manusia. Dengan spirit yang demikian maka leader akan menciptakan harmoni dalam organisasi, memberdayakan seluruh potensi SDM anggotanya, memposisikan semua bawahannya sebagai orang penting, mendahulukan kepentingan dan kesejahteraan organisasi atau anggota. Gaya leadership seperti ini akan membuat setiap anggota memiliki beban moral, yaitu rasa memiliki, rasa bertanggungjawab, dan rasa terbeban atas kemajuan organisasi, dan tidak sekedar sebagai pekerja.

Pemimpin dengan moral power menganut falsafah: “Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi, berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”. Ia tidak akan menampilkan diri sebagai sosok yang paling penting, tidak akan memposisikan diri sebagai orang yang paling menentukan, dan tidak akan merasa dirinya sebagai memegang kekuasaan, sehingga keputusan-keputusan organisasi tidak bergantung pada sang leader. Singkatnya, pemimpin yang memiliki kekuatan moral sangat alergi terhadap praktik-praktik kepimpinan yang one man man show.

Kembali ke perenungan akan adanya Gawean Gede GPdI pada bulan Maret 2022 yang bernama Mubes. Berkaca dari fenomena-fenomena tersebut di atas, harapannya, idealnya para calon pemimpin GPdI dapat meraih posisi leader dengan kekuatan  moral, sehingga dikemudian hari dalam menjalankan kepemimpinan organisasi GPdI, nilai-nilai moral juga yang dikedepankan. Semoga…. O semoga, mudah-mudahan… dan Insya Allah…

Dr. S. Tandiassa, M. A. Penulis adalah seorang dosen Sekolah Tinggi teologia Intheos, Surakarta. Juga seorang penulis buku Teologi dan Populer, sudah 12 judul buku. Dan sebagai Ketua Majelis Daerah (MD) Gereja Pantekosta di Indonesia, Daerah Istimewa Jogjakarta

Apa pendapat anda tentang post ini ?
+1
1
+1
3
+1
2
+1
10
+1
1
+1
2
+1
3

1 KOMENTAR

  1. Jurus sakti kepimpinan
    ==================

    Seorang pimpinan untuk memaksimalkan gerbong organisasi yg dipimpinnya harus mempunyai banyak jurus2 .

    Jurus2 yg dipakai bisa dalam bentuk jurus one man show atau sebaliknya/demokrasi .

    Ada juga jurus2 sakti untuk memaksimalkan sinergi & kinerja di lapangan dalam menghadapi berbagai masalah ,rencana ,
    pencapaian ,dsbnya.

    Jurus2 sakti itu adalah:

    1. Jurus tajam sepatu

    Jurus ini berpusat pada kwalitas sdm , moralitas ,relasi ,dsbnya .

    Jurus ini berslogan kerja ,kerja & kerja .

    2. Jurus tajam dompet

    Jurus ini berpusat kepada uang , sarana prasarana ,dsbnya.

    Jurus ini berslogan tambah ,lengkapi & upgrade .

    Kolaborasi 2 jurus sakti diperlukan dengan porsi yg tepat sehingga setiap visi misi dapat diprogres & direalisasikan .
    .

    Terimah kasih.
    Tuhan Yesus memberkati .
    ?????

    By. Yahya I.Punu.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini