Gereja dalam pengertian umum menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah gedung (rumah) tempat berdoa dan melakukan upacara agama Kristen. Pengertian lainnya adalah Badan (organisasi) umat Kristen yang sama kepercayaan, ajaran dan tata cara ibadahnya, misalnya gereja Katolik, Protestan, Pantekosta dan lain sebagainya.
Gereja sebagai tempat beribadah maupun sebagai organisasi merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dalam tugas pokok dan fungsinya menjalankan misi gereja yaitu menjadikan sekalian bangsa menjadi pengikut-pengikut Kristus dan melaksanakan segala perintah-perintah-Nya (Matius 28:19). Dalam menjalankan misi gereja tersebut, maka gereja sebagai organisasi sosial keagamaan harus memiliki struktur organisasi mulai dari tingkat pusat, daerah sampai ke sidang-sidang jemaat lokal yang terdiri dari orang-orang yang mendapatkan tugas dan tanggung jawab oleh pimpinan gereja yang sering disebut sebagai pengurus organisasi gereja.
Para pengurus inilah yang bertindak untuk dan atas nama gereja baik kedalam (internal) maupun keluar (eksternal) mewakili gereja dalam melakukan perbuatan atau tindakan demi kepentingan organisasi dan para anggotanya (pendeta, majelis dan jemaat). Gereja sebagai organisasi sosial keagamaan wajib memiliki Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) sebagai pedoman perilaku bagi para pengurus dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi gereja.
Anggaran Dasar Organisasi Gereja yaitu seperangkat ketentuan dan kesepakatan bersama yang menjadi pijakan, pedoman dan sumber hukum dalam menjalankan roda organisasi gereja. Sedangkan Anggaran Rumah Tangga adalah seperangkat ketentuan dan kesepakatan yang bersifat umum yang belum dijelaskan secara rinci dalam Anggaran Dasar Organisasi Gereja. Sehubungan dengan hal tersebut maka seyogyanyalah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga dibuat sedemikian hingga dapat memenuhi kepentingan setiap orang yang terlibat dalam organisasi gereja tersebut dan mampu mengikuti dinamika dan perkembangan gereja kekinian.
Tidak sedikit pengurus gereja dan anggota gereja yang memahami dengan baik kedudukan gereja sebagai organisasi sosial keagamaan di tengah-tengah masyarakat, bahwa sebagai organisasi sosial keagamaan selain tunduk pada ketentuan-ketentuan yang diatur dalam AD/ART organisasi, gereja juga harus tunduk pada ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Sebagian hanya beranggapan bahwa segala tindakan, keputusan ataupun perbuatan hukum lainnya yang mereka lakukan cukup mengandalkan AD/ART, sehingga tanpa menyadari bahwa tindakan dan perbuatan mereka telah menyerempet ke ranah hukum nasional.
Dalam banyak hal kita mendengar, membaca dan menyaksikan sendiri berbagai konflik internal gereja yang terjadi akibat perlakuan yang semena-mena dari para pengurus gereja kepada anggotanya yaitu dengan melakukan mutasi, pemecatan dan penyerobotan terhadap gedung gereja yang bertindak untuk dan atas nama organisasi gereja, dengan alasan yang tidak manusiawi dengan berlindung pada AD/ART organisasi gereja. Tentunya sikap dan perlakuan tidak terpuji ini tidaklah final hanya pada ketentuan yang mengatur dalam AD/ART tersebut karena anggota gereja juga dapat menempuh jalur hukum formal jika merasa ada hak-hak dan kepentingannya yang di rugikan atau dilanggar oleh organisasi gereja dan sebagai warga negara .
Sehubungan dengan hal tersebut, Pemerintah mengatur mekanisme penanganan konflik internal organisasi sebagai mana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan sebagai berikut:
Pasal 57:
(1) Dalam hal terjadi sengketa internal Ormas, Ormas berwenang menyelesaikan sengketa melalui mekanisme yang diatur dalam AD dan ART
(2) Apabila penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, pemerintah dapat memfasilitasi mediasi atas permintaan para pihak yang bersengketa.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 58:
(1) Dalam hal mediasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) tidak tercapai, penyelesaian sengketa Ormas dapat ditempuh melalui pengadilan negeri.
(2) Terhadap putusan pengadilan negeri hanya dapat diajukan upaya hukum kasasi.
Dari Pasal-pasal tersebut sangat jelas bahwa penyelesaian konflik dalam organisasi harus mengacu pada mekanisme AD/ART yang ada, namun jika tidak terdapat penyelesaian, maka pemerintah dapat mengambil alih permasalahan dengan melakukan mediasi bagi pihak-pihak yang sementara bertikai ataupun penyelesaian melalui jalur pengadilan.
Upaya menempuh jalur hukum formal bagi anggota gereja sangat terbuka luas dan dijamin dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mereka dapat melakukan gugatan ganti kerugian ataupun tuntutan pidana atas kerugian yang dialaminya. Terkait gugatan ganti kerugian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, antara lain sebagai berikut:
Pasal 1365 KUH Perdata: “tiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
Perbuatan melawan hukum yang dimaksud adalah perbuatan yang dilakukan oleh pengurus gereja yang bertindak untuk dan atas nama gereja dengan kriteria acuan menurut hukum sebagai berikut:
1. Adanya perbuatan dari si pelaku (pengurus gereja) baik yang bersifat aktif maupun pasif yang seharusnya patuh dan taat pada perintah undang-undang, ketertiban umum dan moral.
2. Perbuatan tersebut melawan hukum, yaitu perbuatan pengurus gereja yang bertentangan dengan hukum , ketertiban umum dan kesusilaan.
3. Akibat perbuatan tersebut menimbulkan kerugian bagi pendeta, keluarga dan jemaat atau pihak lainnya.
4. Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan pengurus gereja dengan kerugian yang dialami oleh pendeta, keluarga dan jemaatnya.
Demikian halnya dengan perbuatan pidana yang dilakukan pada anggota organisasi, mereka dapat melaporkannya ke pihak penyidik untuk mendapatkan pembelaan berdasarkan jenis perbuatan pidana yang diterimanya, mulai dari perbuatan pencemaran nama baik, kekerasan fisik, penyerobotan dan lain sebagainya. Perbuatan pidana yang dimaksud adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.
Sebagai salah satu contoh perbuatan pidana:
Pasal 310 KUH Pidana:
(1) Barang siapa dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang dimaksudnya terang suapaya hal itu diketahui umum diancam karena pencemaran nama baik dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan. Dipertunjukkan atau ditempel dimuka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda Paling banyak empat ribu limaratus rupiah.
Pasal 351 KUH Pidana
(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
(4) Dengan penganiayaan disamakan dengan merusak kesehatan.
Sehubungan dengan hal penyelesaian konflik internal gereja tersebut, maka baik pengurus organisasi maupun anggota jemaat masing-masing mempunyai hak dan kedudukan yang sama di muka hukum (equality before the Law) sehingga menjadi wawasan bagi kita semua bahwa setiap sengketa atau konflik dalam gereja, masing-masing pihak punya kesempatan yang sama untuk melakukan upaya hukum untuk mempertahankan hak-hak dan dalam upaya mencari keadilan dan kepastian hukum.
*Dr.dr.Ampera Matippanna, S.Ked.,MH. Anggota Jemaat GPdI El-Shadai Makassar. Pembina Yayasan Karmel Ministry Indonesia (YKMI).
Tulisan ini adalah kiriman dari pembaca tabloidmitra.com, isi dari tulisan di luar tanggung jawab redaksi.