Melintas dalam imajinasi  sebuah pertanyaan  retoris  apakah  kita berubah, sedang berubah atau sudah berubahkah? Sekalipun mudah menjawabnya, tetap perlu kejujuran tingkat dewa untuk mengakuinya. Justru yang kerap terjadi, ego melakukan atraksi penyangkalan. Meski perubahan adalah keniscayaan, tetap saja manusia diliputi ketidakpercayaan ketika menyaksikan sebuah perubahan itu terjadi. Stigma yang terlanjur melekat, seakan tak lekang oleh waktu. Bahkan terus dipelihara sebagai amunisi yang siap dilepas ketika kepentingan politik, ekonomi, budaya mulai diusik.

Contoh sederhananya, ketika Indonesia dalam kendali Presiden Jokowi mengalami transformasi dan perubahan besar-besaran di sektor infrastruktur, jalan tol, jembatan, tapal batas, pelabuhan, bandara dan lain-lain, koalisi oposisi tetap menilai bahwa capaian itu tidak seberapa. Atau dengan redaksi yang lain ingin dikatakan bahwa kondisi masih sama dan tidak banyak perubahan. Sebab itu rejim ini mesti diganti. Terus yang disodorkan adalah beragam narasi alternatif yang menyulut emosi publik. Kriminalisasi ulama, kebocoran anggaran, harga-harga semakin mahal, hingga Negara ini akan bubar jika oposisi tak berkuasa.

Sekalipun tidak persis, orang Yahudipun mendemonstrasikan cara berpikir dan bertindak yang hampir sama ketika melihat bahwa Saulus telah berubah.  Bagi orang Yahudi,  Saulus adalah agen utama penganiaya umat Kristen. Sebab itu sangat tidak mungkin  hanya dalam waktu singkat  terjadi  perubahan kepribadian dalam dikotomi Saulus lama dan Saulus baru. Orang Yahudi tidak percaya, bahwa Saulus yang begitu kejam dan sadis, tiba-tiba  bisa berubah total.  Itu sebabnya perubahan yang terjadi pada diri Saulus ditolak. (Kisah Para Rasul 9:21).

Konsekuensi Perubahan

Ekspresi tidak puas, orang Yahudi ketika melihat Saulus bertobat mengindikasikan dua hal. Pertama, bangsa Yahudi tidak rela jika  Saulus tidak dipihak mereka.  Kedua, aksi Saulus sangat berpotensi terhadap redupnya pamor kekuasaan politik Romawi. Lebih jauh penulis berkeyakinan, putusan Saulus akan mengguncang umat Israel mengikut Yesus dan meninggalkan kebiasaan lama. Itu sebabnya ketika melihat sosok Saulus yang berbeda dengan bayangan yang selama ini diyakini sebagai seorang persekutor, orang Yahudi  langsung bersikap memusuhi dan berupaya membunuhnya (Kisah Para Rasul 9:23). Itulah kosekuensi perubahan. Selalu saja ada pihak yang merasa tidak diuntungkan. Sekalipun perubahan itu berdampak positif, tidak semua pihak nyaman. Tidak lain karena ada irisan kepentingannya yang terungkit, tertelisik bahkan punya potensi terbongkar.   Persekongkolan praktik jahat yang membawa keuntungan ekonomi inilah, yang kerapkali ditebar untuk menghadang agar si penguasa baik tidak merebutnya. Itu sebabnya tidak mengherankan jika segala upaya dikerahkan agar si pembawa obor perubahan itu terjungkal dari kursi kekuasaan.

BACA JUGA  Jemaat Perlu “Didorong”  untuk Terlibat dalam Dunia Politik Praktis

Konteks itu mempermudah penjelasan betapa misalnya kabar bohong dan ujaran kebencian terus direproduksi oleh para buzzer. Tujuannya jelas, berita yang benar dinegasikan agar publik mengkonsumsi berita bohong.  Berita bohong tentu menggiring opini sesat.  Opini sesat jelas mengiring merebaknya disinformasi. Ketika disinformasi massive terkunyah begitu saja oleh khalayak ramai maka terciptalah  distrust yang bermuara pada disharmoni pola relasi Negara/pemerintah dengan rakyatnya.

Inilah yang ditakutkan. Negara ini memiliki potensi besar untuk menjadi negara hebat.   Bahkan dalam prediksi PricewaterhouseCoopers (2018), Indonesia melaju sebagai kekuatan ekonomi nomor 4 dunia bersama Cina, India dan USA. Dibawah Indonesia ada Brazil, Rusia, Mexico, Jepang, Jerman, UK (https://www.pwc.com/gx/en/issues/economy/the-world-in-2050.html#keyprojections).

Maka sangat ironis, bila potensi yang begitu besar ini lantas diobrak-abrik oleh tirani kekuatan minoritas kelompok buzzer yang terus menyebar aneka produk kejahatan siber, atau ahli pencipta  virus dalam bentuk malware (Malicious Software). Yakni  suatu program yang dirancang dengan tujuan untuk merusak dengan menyusup ke sistem komputer. Malware dapat menginfeksi banyak komputer dengan masuk melalui email, download internet, atau program yang terinfeksi.

BACA JUGA  Paskah dan Strategi Restorasi

Era digital saat ini, memungkinkan apapun menjadi mungkin. Ingat ketika Donald Trump berhasil dilantik menjadi Presiden AS. Beragam  data terkait e-trade, counter intelligence, dan foreign digital traffic disinyalir begitu kuat dipergunakan sedemikian rupa agar konglomerat Trump bisa menggalahkan Hillary Clinton. Sekalipun dibantah habis-habisan tetap saja jejak digital dapat ditelusuri dan terus dilakukan pembuktian digital forensiknya.

Indonesia tentu tidak bermimpi situasi seperti itu terjadi. Tapi siapa yang dapat menjamin? Negara adidaya sekuat AS saja mengalaminya. Kekuasaan itu menggiurkan siapa saja. Di tangan penguasa, apapun bisa dilakukan. Terlebih jika ada persekutuan penguasa jahat dan pengusaha hitam maka undang-undangpun bisa diperjual-belikan ibarat barang dagangan demi menghamba pada sebuah kepentingan.

Perubahan memang dilematis. Itu sebabnya pembawa obor perubahan kearah yang lebih baik selain mengandalkan dukungan publik mesti menyerahkan pada pimpinan Tuhan Allah. Tanpa itu, saya kira mereka akan kehilangan otoritas keilahian. Ketika itu terjadi,   kepemimpinan suatu bangsa akan kehilangan arah dan orientasi karena hikmat Tuhan ditiadakan dan kehebatan manusia diunggul-unggulkan. Semoga Indonesia diberkati dengan pemimpin yang terus siap melayani menuju perubahan yang semakin baik.

Oleh: Gatut Priyowidodo, Ph.D.   Ketua Pusat Kajian Komunikasi  Petra (PKKP) dan Dosen Tetap  Program Studi Ilmu Komunikasi UK Petra Surabaya.

Apa pendapat anda tentang post ini ?
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini