JAKARTA – Ketika mendengar namanya, sebagian besar umat Kristen pasti sudah mengetahuinya. Suara dan gayanya yang begitu khas ketika menyampaikan firman Tuhan membuat dirinya mudah diterima berbagai kalangan.
Dia adalah Pdt. Johan Lumoindong. Anak kedua dari tujuh bersaudara ini terlahir dari seorang ayah berdarah Manado Belanda dan ibu berdarah Ambon, Cina, Belanda. Semenjak kecil bisa dibilang ia hidup di tengah keluarga yang sangat diberkati Tuhan.
Dari segi pendidikan, ia mengecap pendidikan di sekolah Katolik hingga kelas 3 SMP, lalu SMA Johan melanjutkan di sekolah umum swasta. “Meskipun diberkati kami juga pernah hidup susah ketika papa salah jalan. Dia judi sehingga keuangan keluarga kami menjadi terpuruk hingga habis,” katanya.
Johan tumbuh seperti anak remaja seusianya. Namun, di tengah bandelnya, roh takut akan Tuhan perlahan lahan mulai tumbuh. Misalnya saja ketika berbuat salah, ia pasti langsung meminta maaf. “Ketika SD saya memang dipilih menjadi Putra Altar (Misdinar). Mungkin sejak itu Tuhan sudah mulai panggil saya, hanya saja saya (mungkin) belum menyadari kalau itu panggilan Tuhan,” ungkap Johan.
Di usia sekitar 17-18 tahun, atau ketika duduk di bangku SMA, Tuhan mulai membuka jalan bagi Johan untuk menjadi pelayan-Nya. Berawal dari perkenalan dirinya dengan seorang pendeta dari Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) yang merupakan gembala dari tetangga rumahnya.
Saat itu, pendeta tersebut sedang berkunjung ke rumah tetangga Johan. Usai berkunjung, tetangganya membawa gembalanya ke rumah Johan dan mulai diperkenalkan. “Dia (pendeta GPdI) langsung mengajak saya (pelayanan). Kebetulan waktu itu saya sedang main gitar. Saya pun bingung, karena waktu itu kan saya main gitar sambil nyanyi lagu Iwan Fals,” tuturnya.
Ajakan tersebut direspon positif orang tua, di mana secara otomatis Johan juga menyambutnya dengan respon positif. “Awal masuk gereja beraliran pentakosta agak canggung juga karena enggak terbiasa dengan tata ibadah seperti itu. Tapi satu sisi, saya ada ketertarikan dengan gaya ibadahnya,” ungkapnya sembari menjelaskan dirinya aktif sebagai gitaris dan penyanyi.
Mulai serius dalam panggilan Tuhan
Sembari pelayanan, sekitar tahun 1991, Johan bekerja sama dengan dua sahabat karib dan diajak mendirikan sebuah perusahaan. Di perusahaan tersebut, selain bekerja secara professional, Johan juga diminta menjadi leader Persekutuan Doa (PD). “PD ini muncul karena bos saya sembuh dari suatu penyakit tanpa operasi. Dari situ dia mau mendedikasikan membuat sebuah persekutuan doa. Semenjak jadi leader PD, kadang saya membawakan firman atau menjadi pemimpin pujian,” ucapnya.
Terlihat bagus di luar tapi, buruk di dalam, kira-kira seperti itu kehidupan Johan ketika itu. Sebab, ia mengakui kehidupannya tidak mencerminkan tugas yang diemban dirinya sebagai seorang leader PD. “Saya merasa, Jumat-Minggu kudus, tapi Senin-Kamis ‘kudis’. He. He. He. Saya merasakan ada peperangan (pertentangan) di batin. Seperti Tuhan menegur tapi Dia tidak memaksa. Saya merasa hidup dalam kemunafikan, saya bohong dan merasa mulai keluar dari jalurnya Tuhan,” urainya.
Di sisi lain, orang yang paling dekat dengan dirinya yaitu ibu, selalu mendorong Johan serius dalam dunia pelayanan alias menjadi seorang hamba Tuhan (pendeta). “Saya masih sering menolak, lebih tepatnya tidak mendengar perkataan mamah sampai ke hati,” ujarnya.
Menyalahkan ibu
Tahun 1998, panggilan menjadi hamba Tuhan semakin kuat. Batinnya pun semakin bergejolak. Hingga akhirnya, Johan memutuskan keluar dari perusahaan tempatnya bekerja. Setelah itu fokus dalam pelayanan.
Namun, di masa awal melayani kehidupannya berubah 180 derajat. Perekonomiannya langsung drop. “Saya selalu menyalahkan karena mamah yang menyuruh saya ke gereja, menyanyi, melayani. Tapi sekarang kehidupan saya justru menjadi drop. Mamah selalu bilang nanti, tapi saya maunya sekarang,” gerutu Johan pada waktu itu. Dua tahun pertama adalah tahun penuh perjuangan bagi keluarga kecil Johan. Apa yang bisa dijual, ia jual demi bisa menyambung hidup.
Di tengah pergumulannya, ibu senantiasa mengingatkan Johan senantiasa bersyukur. Dan mulai menyerahkan semuanya kepada Tuhan. Tidak mudah bagi Johan bisa menerima nasihat tersebut, meskipun lama-kelamaan ia mulai mempraktekan apa yang dikatakan ibunya. “Mama bilang ceritain semua sama Tuhan. Jangan hanya meminta tapi juga puji dan sembah dia,” katanya.
Johan dengan tekun berdoa selama 3-4 jam tiap malam. Dari ketekunannya tersebut, Tuhan mulai membuka jalan. Satu persatu berkat mulai datang dan perlahan-lahan perekonomian keluarganya mulai bangkit lagi. Pelayanannya sebagai seorang hamba Tuhan juga semakin maju dan diberkati hingga saat ini.
“Seperti Paulus katakan ujian membuat kita menjadi tahan. Karena kalau enggak bertahan ya, terhempas. Firman Tuhan katakan siapa yang bertahan sampai akhir, dia yang menang. Artinya ada dalam kesetiaan, ketaatan. Tinggal kita mau atau tidak,” paparnya.
Kesusahan yang menimpa dirinya, menjadi pelajaran yang berharga hingga saat ini. Menurut suami dari Sri Hastuti ini, hidup ini harus senantisa bergantung pada Tuhan di tengah situasi apapun. “Kenapa kita harus lihat hidup ini sangat sulit? Dia yang beri, Dia yang ciptakan, Dia yang anugerahkan. Enggak mungkin kalau Dia ga kasih jalan,” tegasnya.
Tidak ada patokan PK
Di tengah pelayanannya, tidak jarang Johan mendapatkan omongan miring soal persembahan kasih (PK). Banyak yang mengatakan, ada “tarif” tertentu untuk sekali khotbah. Namun, semua itu dibantah oleh Johan. Menurutnya, apa yang dikatakan orang selama ini hanya melihat penampilan luar tanpa tahu “penampilan” dalamnya.
“Saya pribadi sedih ketika mendengar omongan seperti itu. Selama pelayanan, saya enggak pernah pilih-pilih gereja atau orang yang memanggil saya. Saya hanya lakukan apa yang Tuhan perintahkan yaitu beritakan firman Tuhan,” ungkapnya.
Katanya lagi, jika ada orang yang mengundang lalu dirinya tidak bisa, bukan karena menolak melainkan memang sudah ada kegiatan yang lain dan tidak bisa ditinggalkan. “Soal persembahan kasih ketika melayani, saya engggak ada patokan. Kalau pun ada orang tanya, saya hanya jawab tanya Tuhan saja. Lalu kalau orang lihat saya diundang ke gereja besar lalu dapat PK besar, enggak juga seperti itu. Kalau saya melihat itu, saya akan pagari, saya hanya mau melayani di gereja-gereja besar,” jelasnya.
Johan meminta supaya orang tidak hanya melihat dari penampilannya saja. Sebab, apa yang didapatnya saat ini bukan diraih dengan cara instan melainkan ada usaha, doa dan tetesan air mata. “Intinya jangan cepat-cepat buat kesimpulan, kalau orang melihat penampilan saya necis, mobil bermerk, itu memang karena saya suka seperti itu. Saya suka hal-hal yang rapi, kalau mobil memang bukan hobi pribadi, tetapi lebih merupakan anugerah yang Tuhan berikan kepada saya. Orang lihat hanya dapatnya, padahal enggak semudah itu, ada perjuangan, pergumulan. Saya bukanlah siapa-siapa. Semuanya itu hanya karena Kasih Karunia dan AnugerahNya,” kata Johan.
Diakhir perbincangan tak henti-hentinya ia bersyukur karena Tuhan telah memberikan anugerah yang begitu besar baik untuk dirinya maupun keluarga. (NW)