Pemimpin Sidang Sinode IX GKRI membacakan keputusan Sidang Sinode sampai mendoakan Ketum dan Sekum Terpilih beserta susunan Pengurus ( Foto Ist. gambar dari video YouTube judul “Pembacaan Keputusan Sidang IX Sinode GKRI")

Jakarta – Persoalan yang terjadi di tubuh Gereja Kristus Rahmani Indonesia (GKRI), pasca Sidang Sinode IX  di Bali, tahun 2013—sudah 8 tahun lalu ternyata masih terus berjalan. Buktinya, awal tahun 2023, ada beberapa media memberitakan dengan judul “GKRI Mangga Besar Menangkan Perkara Kepemilikan yang Sah atas Logo GKRI”

Adanya pemberitaan itu, Ketua GKRI, periode 2021 – 2025, Pdt. Haeli Hia, S.Th, kepada tabloidmitra.com, mengungkapkan, isi dari yang disampaikan pihak yang bersebarangan dengan kelompoknya, belum lengkap dan perlu dilengkapi sesuai fakta.

Untuk itu kepada media ini, Pdt. Haeli Hia mengungkapkan kronologis terjadinya persoalan ini karena kelompok sebut saja kelompok Mangga Besar tidak mampu menerima kekalahan. “GKRI pada tahun 2013, ada sidang Sinode IX di Bali. Salah satu agendanya memilih Ketua Umum (Ketum), periode 4 tahunan dengan calon, di antaranya, Pdt. Sadjamudin Gumay dan Pdt. Ronny Mandang. Saat itu yang terpilih Pdt. Sadjamudin Gumay untuk periode tahun 2013 – 2017,” ungkap Pdt. Haeli Hia.

Ketua terpilih dan pengurus yang dibentuk, kata Pdt. Haeli Hia, didoakan dengan menumpangkan tangan, dan dilakukan pelantikan, serta ibadah penutupan dengan Perjamuan Kudus. Hamba Tuhan yang mendoakan dan menumpangkan tangan, di antaranya ada Pdt. Ronny Mandang, Pdt. Martin Harefa, Pdt. Soep Soegiardjo. “Semuanya berjalan dengan semestinya, tidak ada protes karena memang pimpinan sidang waktu itu ada dari kelompok Mangga Besar. Setelah tutup acara Sinode ke IX, semua peserta pulang ke tempat pelayanan masing – masing tanpa ada masalah, karena proses pemilihannya berjalan dengan transparan dan sesuai AD/ART GKRI,” katanya.

Dua minggu setelah Sidang Sinode IX di Bali, ceritera Pdt. Haeli Hia, tiba – tiba kelompok yang kalah menemui Boksu, pendiri GKRI, Pdt. Sutjiono. “Kelompok ini berkata pemilihan Ketum dalam Sidang Sinode IX, tidak sah.  Untuk itu Boksu, Pdt. Sutjiono sebagai pendiri mengambil alih kepemimpinan Sinode. Kami tidak melawan tetapi mencari apakah ada peluang yang diberikan Tata Gereja (AD/ART) kepada pendiri untuk mengambil alih. Seandainya ada, tentu kami akan serahkan tetapi setelah kami baca dan teliti, tidak ada aturan yang menulis hal itu, masa iya kita serahkan?”ceritanya. 

Persoalan internal GKRI perlahan menjadi persoalan terbuka, tetapi pihak Dirjen Bimas Kristen dan Persekutuan Gereja – gereja di Indonesia (PGI) tetap menetapkan Perwakilan dari hasil pemilihan Sidang Sinode IX GKRI di Bali, Pdt. Sadjamudin Gumay dan  Pdt. Haeli Hia yang diterima.

Pdt. Haeli Hia menerangkan, ketika pihak Dirjen Bimas Kristen dan PGI menerima hasil pemilihan Sidang Sinode IX GKRI, semestinya kelompok Mangga Besar segera menyusun “kekuatan” untuk proses demokrasi 4 tahun berikutnya, di Sidang Sinode X (tahun 2017) agar menang. “Tetapi kenyataannya, mereka malah membentuk Majelis Pusat Sinode (MPS) 2015 – 2016, dengan landasan yang tidak ada di AD/ART atau Tata Gereja, Boksu (pendiri) mengambil alih, Pdt. Sutjiono sebagai pendiri,”.

Apa yang dibuat oleh kelompok seberang, kata Pdt. Haeli Hia tidak mendatangkan simpati dari hamba – hamba Tuhan GKRI. Sebagai bukti, Gereja lokal yang ikut dengan kelompok tersebut, hanya sekitar 18 Gereja lokal. Sedangkan yang ikut dengan kelompoknya lebih dari seratus Gereja lokal, 40 Post PI di 23 Provinsi, di 44 Kabupaten Kota. 

BACA JUGA  Cornelius Ronowidjojo : “Isa Almasih” menjadi “Yesus Kristus” Bukti Eksistensi ke Kristenan di Indonesia. 

“Hamba – hamba Tuhan yang bertahan dengan kelompok kami karena menyadari hasil sidang IX Sinode GKRI, sah.  Proses demokrasi di Sidang Sinode IX sudah berjalan dengan benar, sesuai AD/ART dan transparan,”kata Pdt. Haeli Hia, dengan mengirim video youtube yang dapat dicari dengan judul “Pembacaan Keputusan Sidang IX Sinode GKRI, di mana Pdt. Ronny Mandang, sedang memimpin sidang GKRI IX di Bali.

Tahun 2017, kata Sekretaris Sinode waktu itu, Pdt. Haeli Hia bahwa persoalan GKRI kembali memanas. Itu terjadi karena salah satu hamba Tuhan GKRI yang ditugaskan mengurus pendaftaran nama dan logo GKRI ke HAKI bukan mendaftarkan atas nama organisasi tetapi yang didaftarkan atas nama pribadi. Akibatnya pendaftaran kelompok Latumeten ditolak oleh HAKI.

“Nah, mungkin didengar pihak sebelah, lalu mereka mendaftarkan nama dan logo ke HAKI atas nama organisasi, mereka lah yang diterima pihak HAKI. Di situlah kembali memanas kekisruhan di lingkungan GKRI,”

Menyikapi hal itu, Pdt. Haeli Hia berpendapat pihak sebelah yang sudah memiliki semuanya, Nama  Gereja, Logo Gereja, Struktur pengurus sendiri dan Kantor, semestinya jalan saja. “Kita jalan masing – masing saja, tidak perlu saling menuntut ataupun menganggu satu dengan lainnya. Sebaliknya kita jalan membesarkan kerajaan Allah dengan perahu masing  masing,”

Sidang Sinode XI di Jakarta, Juli 2021

Seiring perjalanan waktu, tibalah Sidang Sinode XI GKRI, yang memberikan kepercayaan kepada pendeta yang sudah beberapa periode menjadi Sekum, dan selama menjabat sebagai Sekum, berhadapan langsung dengan urusan penyelesaian “kisruh” yang terjadi di lingkungan GKRI ini, dialah Pdt. Haeli Hia. 

Mendapat mandat sebagai Ketum, Pdt. Haeli Hia yang sudah lelah menghabiskan banyak energi mengurus kisruh dibandingkan perkembangan GKRI, langsung memutuskan mencari jalan rekonsiliasi.

“Saat saya dilantik, saat itu juga saya melihat pintu rekonsiliasi terbuka lebar. Saya siap apapun resikonya, termasuk tidak menjadi Ketum lagi, yang terpenting GKRI rekonsiliasi, bersatu membangun kerajaan Allah,”terangnya.

“Saya dilantik tanggal 8 Juli 2021, agenda pertama saya adalah menghubungi kelompok sebelah yang saat itu sudah dipimpin oleh Pdt. Marthin Harefa. Saya hubungi pertama Pdt. Marthin, beliau bilang kita bertemu sesudah PPKM pada 21 Juli 2021, tetapi pertemuan kami tidak terjadi. Saya hubungi Pdt. Ronny Mandang dengan mengungkapkan keinginan untuk rekonsiliasi, dan mendapatkan sambutan positif,”

Pdt. Ronny Mandang kata Pdt. Haeli Hia berkata, “ini yang saya suka”. Bahkan Pdt. Ronny Mandang menghubungi Ketua Umum PGI untuk bersama menjadi perantara terjadinya rekonsiliasi. Tapi apa mau dikata, jadwal pertemuan dan tempatnya serta waktunya sudah ditentukan, dengan perwakilan masing – masing kelompok 3 orang tetapi ketika dihubungi Pdt. Marthin Harefa (Ketua Umum kelompok sebelah), tidak mau bertemu. “Pada saat itu, Pdt. Ronny Mandang dan Pdt. Gomar Gultom, kecewa. Begitupun ketika pihak Dirjen Bimas Kristen menjembatani agar terjadinya rekonsiliasi, lagi – lagi Pdt. Marthin Harefa, tidak mau,”

Padahal, Pdt. Haeli Hia, mengungkapkan, Ketum GKRI sebelum dirinya, atau dikenal dengan kelompok Kantor Jl. Latumeten, sudah melakukan gugatan. Tapi ketika ia terpilih dan bersemangat untuk rekonsiliasi maka gugatan yang dilayangkan pemimpin sebelumnya dimintanya untuk dicabut. 

“Lucunya. Pencabutan gugatan yang saya lakukan, disebut oleh kelompok Jl. Mangga Besar di Konfrensi Pers yang mereka adakan bahwa kuasa hukum kami mundur. Padahal kami yang minta cabut demi jalannya semangat rekonsiliasi,”terang Pdt. Haeli Hia, dengan memberikan bukti bahwa di Rakernas pertama ia memimpin, ia memberi tema ekstrim, “Revolusi Damai Sejahtera Tuhan Yesus,” yang memiliki arti ia sudah siap apapun proses rekonsiliasi yang penting GKRI aman tentram. 

BACA JUGA  Fasum JDN, Pdt. Aristarkus Tarigan : Berdoa Tanpa Sekat Gereja akan Kuat Membangun (Lingkungan) Kota dan Bangsa

“Rekonsiliasi jauh lebih mahal daripada saya terus sebagai Ketum. Itu yang saya sampaikan tetapi kelompok Mangga Besar tetap tidak direspon positif. Malah saya dilapor ke Polisi, saya 4 kali dipanggil di Reskrimsus Polda Metro Jaya. Karena dituduh menggunakan Logo mereka. Pada saat itu saya jelaskan bahwa logo itu telah kami gunakan sejak tahun 1971. Saya kasih lihat dokumen aslinya,”. 

Pdt. Haeli Hia mengatakan karena tawaran rekonsiliasi tidak digubris maka jalan tengah diambilnya dengan melakukan gugatan. “Bukan untuk menang – menangan, tetapi supaya dapat kepastian hukum, ini jalan tengah. Hasil putusan gugatan kami dinyatakan NO atau harus melengkapi syarat formil. Sedangkan hakim menolak EKSEPSI mereka yang menyatakan kami tidak memiliki legal standing,”

Inilah yang Pdt. Haeli Hia berkata apa yang disampaikan kelompok Mangga Besar, perlu disempurnakan yaitu pihak Jl. Latumeten dalam pengadilan diputus hakim dengan tidak dapat diterima atau Niet On  Van Kelijk verklaard atau juga disebut NO.

Pdt. Haeli Hia menjelaskan putusan NO itu karena tidak lengkap syarat formil maka kelompok Latumeten telah menyempurnakan logo, nama GKRI dan telah didaftarkan dan di terima HAKI. Penyempurnaan ini sudah diputuskan di Sidang Sinode, dengan bertolak dari dokumen SK Dirjen Bimas Kristen, 28 Mei 1988. “Sekarang kami sudah siap, tetapi sekali lagi untuk apa ribut – ribut, kan masing – masing sudah memiliki struktur kepengurusan sinode masing – masing, nama dan logo masing – masing, kantor juga, ya sudah jalan masing – masing saja,”

Walau begitu, Pdt. Haeli Hia, berkata tidak mungkin menghindari bila seperti yang dikatakan kelompok Mangga Besar bahwa akan melakukan gugatan balik. “Tidak ada pilihan buat kami selain meladeni bila ada laporan,”. 

Diakhir perbincangan, ketika ditekankan oleh media ini apakah kelompok Jl. Latumeten serius dengan tawaran rekonsiliasi, Pdt. Haeli Hia dengan tegas berkata serius. “Saya mau rekonsiliasi karena kalau terus ribut yang dirugikan Gereja (jemaat Tuhan). Saya tidak bahagia kalau dinyatakan kami menang, mereka kalah. Sebab telah banyak waktu yang dibuang, banyak energi yang terbuang, banyak dana yang keluar hanya karena konflik. Menurut saya bila ada menang dan kalah maka saya tidak melihat itu ada yang diuntungkan. Sebab yang dirugikan adalah Gereja Tuhan,”. 

“Saya mau tahu apa yang dikatakan Sekum kelompok Mangga Besar, Pdt. Jimmy Kawilarang, kepada wartawan bahwa semoga kita bisa rekonsiliasi. Dan ditutup oleh Pdt. Marthin Harefa, dengan semoga GKRI bisa bersatu. Dari Latumeten saya mau berkata kalau serius perkataan mereka maka saya tunggu kapan mereka mau ke Latumeten untuk membicarakan proses rekonsiliasi.  Begitupun kalau tidak mau datang ke Latumeten, saya tunggu (siap) diundang kemana saja untuk membicarakan keseriusan rekonsiliasi,”tantang Pdt. Haeli Hia.

Apa pendapat anda tentang post ini ?
+1
2
+1
0
+1
2
+1
0
+1
0
+1
0
+1
2

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini