JAKARTA – Jumat (24/7/2020) salah satu gedung bersejarah berusia 1.500 tahun peninggalan perintah Kaisar Bizantiun Justinian I, sebagai Church of Holy Spirit, Hagia Sophia kembali digunakan untuk Salat Jumat. Ketika salat berlangsung, ornamen Kristiani yang ada di gedung Hagia Sophia ditutup tirai. Setelah salat usai, baru kembali dibuka.
Keputusan Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan menjadi alasan bangunan yang dibangun pada abad ke-6 itu menjadi masjid karena pengadilan administrasi utama Turki mencabut status Hagia Sophia sebagai museum pada 10 Juli 2020.
Pengalihan fungsi ini mendapatkan kecaman dari pimpinan umat Kristiani di Indonesia. Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Pdt. Gomar Gultom menyayangkan ketupusan Recep Tayyip Erdogan karena melukai kawan-kawan Ortodox Yunani dan komunitas Kristen pada umumnya.
“Hagia Sophia aslinya dibangun pada 537M gereja ortodox dan hingga 1453M merupakan katedral Ortodoks dan tempat kedudukan Patriark Ekumenis Konstantinopel, kecuali pada 1204-1261, menjadi Katedral Katolik Roma di bawah kekuasaan Kekaisaran Latin Konstantinopel. Sayangnya paska Perang Salib, sejak 29 Mei 1453 sampai 1931 pada masa bangunan ini dijadikan masjid pada masa kekuasaan Kesultanan Utsmani. Berbagai ornamen bersejarah, artistis dan bermutu tinggi dirusak tanpa tanggung-jawab demi menyesuaikan diri dengan kepentingan masjid. Sempat disekularkan dan dijadikan sebagai museum pada 1 Februari 1935 oleh Republik Turki,” kata Pdt. Gomar dalam keterangan tertulis yang dikirim melalui WhatsApp.
Ia pun kecewa terhadap keputusan pengadilan Turki yang mengatakan bahwa konversi Hagia Sophia pada tahun 1934 menjadi museum adalah ilegal.
“Kemal Attaturk, Bapa modernitas Turki, yang menjadikan Hagia Sophia sebagai museum adakah sebuah keputusan historis yang penih tanggung jawab atas historitss Hagia Sophia tersebut. Dan menurut saya, Kemal juga tidak semena-mena karena beliau menyediakan alternatif pengganti Mesjid tersebut tak jauh darinya, yakni Blue Mosque,” jelasnya.
Menurutnya, pengalihan fungsi Hagia Sophia sama saja seperti sebuah penghinaan historis dan tidak menghargai nilai-nilai sejarah. “Hagia Sophia sebagai warisan dunia haruslah dijadikan milik semua umat manusia dan bisa dinikmati oleh seluruh umat, tidak hanya umat muslim,” tegasnya.
Pdt. Gomar Gultom berharap komunitas internasional untuk mengimbau Otoritas Turki membatalkan keputusan tersebut. Alasannya, dikhawatirkan ketika Hagia Sophia menjadi masjid akan merubah dan merusak keaslian gedung tersebut sebagaimana dilakukan oleh rezim Ottoman di waktu lalu.
Ketua Umum Asosiasi Pendeta Indonesia (API), Pdt. Brigjen TNI (Purn) Drs. Harsanto Adi Soekamto, MM, MTh, mengatakan museum Hagia Sophia menjadi masjid memang adalah masalah dalam negeri Turki, tetapi keberadaannya sendiri memiliki sejarah panjang, diantara dua komunitas Kristen dan Islam.
Ketua Umum API, Pendeta Harsanto Adi (Foto: DOK MI)
“Menjadikan Hagia Sophia sebagai museum pada masa yang lalu, itu suatu cara untuk tidak menyakiti kedua komunitas. Aksi Recep Tayyip Erdogan kali ini tentu menyakiti hati hampir semua orang Kristen dari berbagai denominasi Katholik, Kristen Protestan dan Orthodok. Aksi Recep Tayyip Erdogan yang ambisius, sarat kepentingan politik Pemilihan Presiden tahun ini, ambisi sebagai pemimpin Islam, dan kalau ambisinya ini diteruskan ke Masjid Al Aqsa maka Turki harus siap berhadapan dengan Israel,” ungkapnya.
Sementara itu, Ketua Umum Gereja Kalimantan Evangelis (GKE), Pdt. Dr. Wardinan S. Lidim, mencoba netral dengan menilai apa yang dilakukan pemerintah Turki didasari sebuah alas an yang kuat.
Ketua Umum, GKE, Pdt. Dr. Wardinan S. Lidim (Foto: Istimewa)
“Dalam konteks Kristen, ada lembaga yang berwewenang untuk merespon hal tersebut seperti WCC, WCRC. CCA, PGI. Kita serahkan kepada Lembaga-lembaga tersebut,” katanya.
Ketua Umum Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) Pdt. DR. Daniel Ronda mengatakan ini adalah cara Tuhan untuk membangunkan umat Kristiani di Eropa yang sudah lama tertidur.
Pdt Daniel Ronda. (Foto: Facebook Daniel Ronda)
“Para pemimpin politik di Eropa mulai dibukakan mata bahwa agama akan digunakan sebagai kendaraan politik untuk menguasai wilayah mereka. Ini izin Tuhan membuat mata mereka terbuka,” katanya dan menambahkan hal ini juga menjadi pelajaran bagi gereja-gereja di Indonesia untuk tidak hanya fokus pada pembangunan fisik gedung gereja tapi juga pembangunan SDM serta kesejahteraan umat yang mana perhatian gereja masih belum masif. (NBS/NW)