JAKARTA – Di dalam hidup ini ada satu realita yang sulit untuk dimengerti, satu realita hidup yang membingungkan banyak orang, satu realita hidup yang bahkan bisa menggoncangkan iman sebagian orang Kristen dan membuatnya bertanya-tanya dimanakah Allah ketika segala sesuatu ini terjadi?
Penderitaan adalah satu realitas yang banyak membingungkan umat manusia, khususnya ketika penderitaan itu dihubungkan dengan pribadi Allah. Ini menjadi satu hal yang sangat membingungkan manusia disepanjang zaman. Satu fakta bahwa ternyata realitas kehidupan ini yang disebut sebagai penderitaan, kesulitan, air mata, ada begitu banyak bencana, kejahatan yang terjadi di dalam kehidupan di dunia ini juga dialami oleh anak-anak Tuhan. Dengan demikian penting bagi anak-anak Tuhan untuk mengerti dengan tepat dan benar tentang relasi/hubungan antara Allah, manusia, dan penderitaan.
Kira-kira 300 tahun sebelum Yesus lahir, ada seorang filsuf Yunani yang bernama Epicurus, dimana dia memberikan 3 pertanyaan yang terkenal dengan istilah “trilema”. Jika “dilema” itu hanya 2 pilihan: A atau B, tetapi Epicurus memperkenalkan teori trilema: 3 pertanyaan yang harus dijawab oleh orang yang percaya Allah itu baik.
Dia mengatakan: “Apakah Allah ingin mencegah kejahatan, tapi Dia tidak mampu? Jika begitu, maka Dia adalah Allah yang tidak mahakuasa. Jika Dia mampu, tetapi tidak ingin, maka Dia adalah Allah yang kejam. Apakah Dia mampu sekaligus ingin? Jika demikian, dari mana kejahatan datang?”.
Trilema ini biasa disebut sebagai “the problem of evil” (masalah kejahatan). Setelah mengajukan trilema itu, Epicurus menutupnya dengan sebuah pertanyaan: “Jika Dia tidak mampu dan juga tidak ingin, maka mengapa masih memanggil Dia Allah?”.
Sekitar abad ke 17, pertanyaan ini dimunculkan dan dipopulerkan kembali oleh seorang filsuf yang bernama David Hume dari Inggris. David Hume melontarkan kalimat yang sama untuk menyerang kekristenan: “Jika Allah maha kuasa, jika Allah itu baik, mengapa ada penderitaan dimuka bumi ini?”. Inilah pertanyaan yang paling membingungkan umat manusia sepanjang zaman, termasuk anak-anak Tuhan, jauh di dalam hati manusia yang terdalam, melihat fenomena penderitaan seperti ini mungkin di antara orang-orang percaya ada yang bertanya hal yang sama: “Tuhan dimanakah Engkau ketika penderitaan itu datang?”.
Yang disebut penderitaan disini bukan hanya pandemi Covid-19 yang belum lama ini dialami oleh seluruh umat manusia di muka bumi ini. Arti penderitaan di sini adalah sesuatu yang sangat luas, berita di televisi, media cetak maupun elektronik setiap hari ada begitu banyak penderitaan muncul bumi ini; perang, bencana alam, kejahatan dan sebagainya.
Para filsuf dan para theolog membagi menjadi 2 macam penderitaan: yang pertama disebut sebagai “natural evil”, penderitaan-penderitaan yang muncul oleh karena alam; seperti tsunami, gempa bumi, tanah longsor, banjir, tornado dan lain-lain. Penderitaan kedua itu disebut sebagai “moral evil”, satu penderitaan yang disebabkan karena perbuatan seseorang kepada orang lain, termasuk juga perang, dan lain-lain. Diantara kedua macam penderitaan ini, kadang-kadang bisa perpaduan antara natural evil dengan moral evil, menjadikan semakin sulit lagi untuk dimengerti. Dimanakah Allah ketika penderitaan itu datang? Sesungguhnya penderitaan itu adalah sesuatu yang tidak kekal, artinya ada awalnya, ada titik awal dimana penderitaan itu dimulai dimuka bumi ini. Alkitab memberikan satu gambaran (worldview) untuk dapat mengerti tentang penderitaan itu sendiri dan bagaimana penderitaan itu bisa ada.
Penderitaan bukan ciptaan mula-mula dari Allah. Setelah Allah mencipta alam semesta ini, Dia menilai sendiri ciptaan-Nya dan Dia berkata: “semuanya amat baik” dimata Allah (Kej 1:31). Penderitaan bukan diciptakan Allah, lalu dari mana penderitaan itu muncul dimuka bumi ini? Alkitab mengatakan, penderitaan itu adalah satu akibat kesalahan manusia terhadap Allah yang telah melanggar perintah Allah. Penderitaan muncul sebagai satu hukuman dari Allah kepada pemberontakan manusia. Di dalam Kej 3:17 Allah berkata “terkutuklah bumi karena engkau, dengan susah payah engkau akan mencari rezekimu seumur hidup, dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu, sampai engkau kembali lagi menjadi debu tanah”. Inilah asal-usul titik awal penderitaan dimuka bumi. Memang di dalam ayat ini Allah tidak bicara mengenai bencana alam tapi ayat ini adalah satu bahasa synecdoche yang mewakili seluruh realitas kehidupan setelah manusia jatuh didalam dosa.
Ini berbicara the origin of suffering (asal mula penderitaan), penderitaan bukan sesuatu yang kekal, penderitaan adalah satu reaksi dari Allah atas pemberontakan dan dosa manusia. Berarti penderitaan yang terlihat di muka bumi ini tidak pernah terjadi secara acak atau secara kebetulan tetapi penderitaan itu di dalam rencana dan kehendak Allah. Jikalau Tuhan menghendaki manusia harus mengalami satu kesulitan setelah manusia jatuh dalam dosa, itu secara jelas dikatakan Petrus yang menyebut penderitaan itu ada dalam rencana dan kehendak Allah (1 Ptr 4:19).
Penderitaan menjadi bagian dari seluruh alam semesta, termasuk yang terlihat hari ini, bahkan tidak ada pengecualian ketika Anak Allah datang inkarnasi ke dalam dunia, Yesus Kristus juga harus menderita, bahkan penderitaan-Nya jauh melampaui yang sedang dihadapi anak-anak Tuhan hari ini.
Awal masuknya dosa dalam hidup manusia inilah yang mengakibatkan dunia ini begitu banyak kekacauan dan kesulitan. Mzm 90 yang ditulis oleh Musa dimasa tuanya, dia memberikan satu kesimpulan tentang apa itu hidup. Mzm 90:10 “masa hidup ini 70 tahun, kalau kami kuat 80 tahun dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan”. Musa menyimpulkan hidup manusia itu kebanggaannya adalah penderitaan dan kesukaran. Tidak mengherankan bila melihat penderitaan itu muncul sebagai bagian dari realitas kehidupan manusia sekaligus ini adalah penghukuman Allah atas dosa manusia.
Apabila bagian ini dapat dimengerti dengan baik; penderitaan, air mata, kesusahan, semua itu muncul sebagai satu penghukuman Allah, maka Allah tidak bisa dipersalahkan dengan adanya penderitaan di dalam dunia ini. Banyak orang bertanya-tanya dan mengeluh dan mempersalahkan Allah kenapa Allah membiarkan penderitaan ini ada dalam dunia? Allah bukanlah yang menciptakan penderitaan itu, kalau hari itu Adam dan Hawa taat kepada Allah, hukuman itu tidak ada dan penderitaan itu tidak terjadi. Tetapi karena memberontak kepada Allah, konsekuensi hukuman Allah itu harus terjadi. Yang namanya penghukuman pasti bersifat sesuatu yang tidak menyenangkan.
Ini harus berangkat dari titik pandang Alkitab bahwa penghukuman, penderitaan itu karena akibat dari dosa manusia. Penderitaan seperti Alkitab katakan itu tidak bersifat kekal, apa artinya? Di awal penciptaan, yang namanya penghukuman, penderitaan itu tidak ada, itu muncul sebagai akibat dosa. Penderitaan itu suatu saat akan berakhir bila hukuman itu sudah diselesaikan oleh Tuhan maka penderitaan itupun juga akan berakhir. Melihat fakta penderitaan di dunia ini, jangan pernah berpikir penderitaan itu berasal dari kekekalan dan terus akan berada dalam kekekalan. Alkitab mengatakan, pada waktunya nanti penderitaan di muka bumi ini akan berakhir. Ini adalah satu hal yang harus dipegang untuk bisa mengerti tentang asal-usul penderitaan di muka bumi ini.
Satu hal yang sering ditanya oleh orang-orang ateis menunjuk kepada trilema yang dicetuskan oleh Epicurus yang mengatakan bahwa adanya penderitaan di muka bumi ini, itu menunjukkan bahwa Allah itu tidak ada. Orang – orang ateis sering memakai realitas kesusahan dan penderitaan, bahwa Tuhan itu tidak ada, karena kalau Tuhan ada tentu tidak akan membiarkan penderitaan ini. Kalau Tuhan ada, tentu tidak akan membiarkan virus corona merajalela di muka bumi ini beberapa tahun lalu.
Pertanyaan klasik: “Dimanakah Tuhan ketika penderitaan itu datang?”. Benarkah penderitaan itu menunjukkan Tuhan tidak ada? Menjawab tuduhan ini harus merenungkan dari sudut pandang firman Tuhan. Dengan meneliti firman Tuhan, yang muncul justru sebaliknya; artinya adalah justru penderitaan dan segala peristiwa yang terjadi di dalam dunia ini, itu tidak pernah terjadi tanpa kehadiran Allah. Allah itu berdaulat, Allah itu menetapkan, Allah yang menghendaki, Allah yang menginginkan semua peristiwa di muka bumi ini terjadi; baik itu peristiwa menyenangkan, maupun itu satu peristiwa yang menurut pandangan manusia kurang atau bahkan tidak menyenangkan seperti saat mengalami pandemi Covid-19 beberapa tahun lalu.
Manusia seringkali berpikir bahwa apa yang terjadi kalau itu sesuatu yang baik itu pasti dari Tuhan; kalau itu penderitaan, bencana, itu bukan dari Tuhan. Alkitab mengatakan apapun yang terjadi apakah itu sesuatu yang baik maupun yang buruk dalam pandangan manusia, itu semua atas kehendak dan rencana Allah. Ketika terjadi misalnya bencana banjir yang dahsyat, kita berpikir ini hanya sekedar gejala alam, karena mungkin manusia kurang memelihara lingkungan, menebang pohon dan sebagainya, maka semua ini terjadi. Merujuk kepada apa yang tertulis dalam Alkitab, banjir terhebat terjadi ada kehadiran Allah. Kej 6:17 Tuhan berkata “Aku akan mendatangkan air bah meliputi bumi”. Alkitab tidak pernah mengajarkan segala sesuatu yang terjadi di alam ini terjadi dengan begitu saja tapi di sana ada “campur tangan” Tuhan, ada kedaulatan Tuhan, kehendak Tuhan dalam segala sesuatunya.
Bahkan ketika ada bencana kelaparan, jangan dipikir itu semata-mata terjadi secara alami karena kekeringan, tanaman tidak tumbuh subur, terjadilah banyak kelaparan. Kej 41:27-32 mengatakan Allah memberikan mimpi kepada Yusuf dan Allah mengatakan bahwa “Aku akan mendatangkan kelaparan dimuka bumi”. Inilah yang dikatakan oleh firman Allah bahwa segala peristiwa-peristiwa yang nampaknya bencana, hal-hal buruk, penderitaan, disitu ada kedaulatan Allah, disitu justru terjadi atas rencana Allah. Bahkan hal yang paling ekstrim dicatat dalam Alkitab, kematian Yesus Kristus pun dalam rencana dan kehendak Allah (Luk 22:22). Dalam Kis 2:23 khotbah Petrus di hari Pentakosta, Petrus mengatakan bahwa Kristus itu diserahkan Allah menurut maksud dan rencana-Nya kepada bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah. Ini fakta kejahatan manusia yang paling jahat yaitu menyalibkan Anak Allah, membunuh Yesus Kristus, dan itu terjadi dalam kedaulatan dan kehendak Allah.
Segala sesuatu yang terjadi di muka bumi ini tidak ada yang terjadi secara kebetulan, semua terjadi atas ketetapan Tuhan (Ams 16:1, 4, 9, 33). Tidak ada yang namanya Allah lalai, tidak ada namanya Allah tidak berdaya, tidak ada namanya Allah tidak ada; di balik semua hal yang nampaknya bencana atau hal-hal yang buruk, di situ justru Allah hadir. Allah menyatakan itu dalam Yes 45:6-7 “ …… Akulah TUHAN dan tidak ada yang lain, yang menjadikan terang dan menciptakan gelap, yang menjadikan nasib mujur dan menciptakan nasib malang; Akulah TUHAN yang membuat semuanya ini”. hal serupa yang dikatakan pada Pkh 7:14 “Pada hari mujur bergembiralah, tetapi pada hari malang ingatlah, bahwa hari malang ini pun dijadikan Allah seperti juga hari mujur, supaya manusia tidak dapat menemukan sesuatu mengenai masa depannya”.
Penderitaan yang di alami dan dirasakan ini bukan terjadi karena Allah tidak berdaya, tetapi ini semua terjadi dalam kehendak dan rencana Allah. Apakah dengan demikian Allah itu jahat? Penderitaan boleh sama-sama dialami oleh orang tidak percaya maupun orang percaya. Tetapi sebagai orang percaya harus memiliki perspektif yang tepat, perspektif yang benar ketika melihat satu fakta hidup di tengah-tengah dunia yang begitu banyak penderitaan dan kesusahan. Di balik semua penderitaan ini Allah tidak pernah meninggalkan ciptaan-Nya, justru Allah menyatakan kehadiran-Nya melalui segala hal yang terjadi dimuka bumi ini dalam menggenapi rencana-Nya.
Pertanyaan berikutnya yang banyak membingungkan orang Kristen yaitu kenapa Allah membiarkan penderitaan itu? Kalau Allah itu hadir, kalau Allah itu berdaulat dan berkuasa, mengapa Allah membiarkan penderitaan terjadi sampai hari ini? Hidup yang banyak kesusahan dan air mata, terorisme, peperangan, bencana alam, berbagai penyakit yang belum ditemukan obatnya; mengapa Tuhan membiarkan penderitaan ini ada didalam dunia ini? Kalau Allah ambil semua penyakit, tidak ada peperangan, meniadakan bencana alam dimuka bumi ini, bukankah itu akan lebih baik dan manusia akan semangat menjalani hidup tanpa ada ketakutan dan kekuatiran? Manusia bukanlah Allah dan Allah tidak bisa diatur, Allah lebih tahu apa yang terbaik bagi anak-anak-Nya.
Mengapa Allah membiarkan penderitaan itu tetap ada hingga hari ini?
Allah bisa memakai kesulitan dan penderitaan untuk membentuk kerohanian dan karakter anak-anak-Nya. Ayub adalah seorang yang hidup dalam kelimpahan materi yang luar biasa. Ayub mencintai Tuhan bahkan Tuhan memuji Ayub dengan berkata kepada Iblis “tidak ada seorang seperti hamba-Ku Ayub dimuka bumi”, tapi Tuhan tetap mengijinkan penderitaan yang luar biasa datang didalam hidupnya. Apa tujuannya? Untuk membentuk kerohanian Ayub, mengubah Ayub menjadi orang yang lebih rohani dari sebelumnya. Ayub berkata “dulu aku mendengar tentang Allah, sekarang aku melihat dengan mata kepalaku sendiri” (Ayb 42:5). Ini dikatakan setelah Ayub melewati pencobaan yang begitu berat. Ayub didalam ketidak-mengertiannya dia menyimpulkan “kalau Tuhan menguji aku, aku akan muncul seperti emas murni dihadapan-Nya” (Ayb 23:10). Ini adalah satu hal yang Tuhan kerjakan kepada anak-anak-Nya bagi gereja-Nya.
Tahukah bahwa mazmur-mazmur Daud yang terindah yang dituliskan di Alkitab itu sebagian besar dituliskan ketika Daud dalam bahaya, dalam kesulitan besar, dalam penderitaan yang luar biasa, di situ Daud mau mengenal Tuhan lebih dalam dari sebelumnya. Sehingga lahirlah Mazmur 51 yang indah-indah ini untuk bisa menjadi berkat bagi semua. Mzm 51:4-5, “Bersihkanlah aku seluruhnya dari kesalahanku dan tahirkanlah aku dari dosa-dosaku. Aku sendiri sadar akan pelanggaranku dan aku bergumul dengan dosa-dosaku”. Tuhan kalau tidak menghajar Daud dengan penderitaan dan kesulitan, mungkin selamanya Daud tidak akan pernah sadar sudah banyak berdosa kepada Tuhan. Bukankah ini satu kebaikan di balik penderitaan? Inilah cara Tuhan membentuk kerohanian, membentuk karakter anak-anak-Nya, bukan melalui kenikmatan tetapi melalui kesulitan, melalui air mata, melalui penderitaan yang Tuhan ijinkan. Satu ungkapan yang sering dikutip oleh para theolog: “Tuhan bisa memakai tongkat yang bengkok untuk membuat pukulan yang lurus”. Tuhan bisa memakai segala hal termasuk peristiwa yang nampaknya buruk menurut pandangan manusia untuk membentuk kerohanian dan karakter anak-anak-Nya yaitu untuk kebaikan bagi anak-anak-Nya, sekaligus menggenapi rencana-Nya yang sempurna.
Bukankah Yusuf juga mengalami hal yang sama? Bagaimana Tuhan itu memakai Yusuf, bukan hanya Tuhan menggembleng kerohanian Yusuf melalui penderitaan dan kesulitan, yang pada awalnya Yusuf tidak mengerti mengapa dia harus mengalami semua kesulitan didalam hidupnya? Dia hanya seorang remaja bertumbuh menjadi pemuda, seorang anak yang dimanja luar biasa oleh Yakub ayahnya, sekarang mengalami kesulitan 14 tahun difitnah, dipenjara sampai akhirnya menjadi orang kedua yang paling berkuasa di Mesir. Tuhan pakai penderitaan itu untuk membentuknya menjadi orang dewasa dalam karakter dan rohaninya agar bisa menjadi seorang pemimpin.
Apa tujuan Tuhan melakukan itu? Awalnya Yusuf tidak mengerti mengapa Tuhan ijinkan penderitaan yang dialaminya tapi pada akhirnya dia baru mengerti, seperti yang tercatat di Kej 50:20 “Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan, dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar”. Satu kesadaran yang luar biasa Tuhan bukakan kepada Yusuf bahwa saudara-saudaranya yang membuat hidupnya menderita, ternyata di balik penderitaan itu, Tuhan punya rencana yang jauh lebih besar yaitu untuk memelihara satu bangsa yang besar, bangsa Israel dari kepunahan akibat kelaparan, karena seorang Mesias akan lahir melalui bangsa Israel yang menjadi Juruselamat dunia.
Bapa Reformator Martin Luther, dalam perenungannya tentang kitab Mazmur, dia sendiri berkata: “Saya tidak bisa memahami beberapa mazmur-mazmur ini dengan benar, kecuali saya di dalam penderitaan”. Orang sekaliber Martin Luther mengakui, ada Mazmur-mazmur yang sulit untuk dia pahami, kecuali dia ada dalam penderitaan, baru dia bisa memahami firman Tuhan”. Kadang-kadang Tuhan mengijinkan penderitaan datang dalam hidup umat-Nya supaya umat-Nya mengenal Dia dengan lebih tepat. Penderitaan adalah salah satu cara yang dipakai Allah untuk membawa umat-Nya lebih mengenal Allah, lebih mengasihi Allah dalam hidupnya. Pengenalan akan Allah itu adalah proses seumur hidup melalui kesulitan dan penderitaan membawa orang itu semakin mengenal Dia.
Sebagai orang percaya, jika mengalami situasi yang sulit, jangan mengeluh kepada Tuhan “dimanakah Engkau Tuhan? Mengapa semua penderitaan ini Tuhan ijinkan?”. Mungkin ini cara Tuhan sedang membentuk, memurnikan iman dan kerohanian anak-anak Tuhan, sebagaimana Dia memurnikan gereja-Nya di tengah zaman ini (1 Ptr 4:12).
Paulus mengatakan kalimat yang luar biasa dalam Rm 5:3-4, (3) “Dan bukan hanya itu saja. Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, (4) dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan,”.
Orang yang mau berharap kepada Tuhan tidak langsung mau berharap, Tuhan ijinkan kesengsaraan, kesulitan supaya menimbulkan ketekunan iman dan ketekunan itu menimbulkan tahan uji (tahan banting/daya tahan) yang kuat dan itu menimbulkan pengharapan, itulah tahapan-tahapannya. Ada satu peribahasa yang menarik: “Pelaut yang ulung tidak lahir dari laut yang tenang”, artinya seorang pelaut yang handal adalah hasil dari seorang yang sudah terbiasa melewati ganasnya gelombang lautan. Inilah paradoks iman, Tuhan membentuk iman yang tahan uji melalui penderitaan.
Penderitaan yang dialami anak-anak Tuhan berbeda dengan dunia. Serupa tapi tidak sama, itulah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan keunikan penderitaan anak-anak Tuhan dengan yang lain. Penderitaan anak-anak Tuhan bersifat memurnikan, penderitaan yang lain bersifat menghukum. Penderitaan anak-anak Tuhan terjadi sekarang saja di dunia ini, sedangkan penderitaan yang lain terus berlanjut sampai kekekalan. Penderitaan anak-anak Tuhan tidak seberapa parah dibandingkan dengan hukuman yang akan diterima oleh orang-orang fasik (1 Ptr 4:17-18).
Banyak peristiwa yang menimbulkan penderitaan dalam kehidupan anak-anak Tuhan memang sulit dimengerti, tapi satu hal sebagai orang percaya harus menaruh iman bahwa Tuhan tidak ada maksud jahat di balik semua rencana-Nya. Kalau Kristus tidak mati di atas kayu Salib, maka tidak ada kebaikan yang lebih besar, tidak ada manfaat, tidak ada faedah yang diterima dari anugerah Allah. Ketika Kristus mati di atas kayu Salib itu adalah kejahatan manusia yang luar biasa. Kristus menderita dengan luar biasa, bahkan di atas kayu Salib Dia berteriak: “Allah-Ku Allah-Ku mengapa Engkau meninggalkan Aku?”, satu penderitaan yang tidak bisa dipahami tetapi ingat prinsip ini, di balik semua yang nampaknya bencana, di balik semua yang nampaknya kesalahan, penderitaan, Tuhan mampu mendatangkan kebaikan yang lebih besar daripada penderitaan itu sendiri. Kalau Kristus tidak disalibkan, hari ini maka manusia tidak diselamatkan. Kristus harus mengalami penderitaan itu supaya Tuhan bisa mendatangkan satu berkat yang lebih besar daripada penderitaan itu sendiri. Seorang Bapa gereja yang bernama Agustinus, mengatakan satu kalimat yang menarik tapi agak kontroversial, akan tetapi itu benar adanya. “Allah menilai lebih baik muncul sesuatu hal yang baik dari sesuatu yang jahat, daripada tidak ada kejahatan sama sekali”.
Ketika berada dalam satu situasi yang tidak menyenangkan, satu hal harus di ingat segala sesuatu terjadi dalam kedaulatan Tuhan dan Tuhan memiliki rencana yang lebih besar di balik semua hal yang nampaknya buruk. Apa yang dikatakan Paulus di Rm 8:28 ini adalah sejajar dengan peristiwa kejatuhan Adam dan Hawa di Kej 3. Di Rm 8:18-30, Paulus itu berbicara tentang dampak dosa atas seluruh ciptaan alam semesta termasuk manusia. Paulus berkata di Rm 8:22 bahwa sampai sekarang segala makhluk sama-sama mengeluh, seperti orang yang mau bersalin kesakitan menantikan hari pembebasan. Lalu dikatakan di Rm 8:26 tetapi Roh itu menolong kita untuk berdoa dengan satu doa yang tidak terucapkan, lalu muncullah Rm 8:28 “Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah”. Roma 8 ini berbicara tentang penderitaan dimana Paulus mengatakan selama kita menunggu hari pembebasan itu, ditengah-tengah penderitaan dan kesulitan kita didalam hidup ini, kita tahu sekarang Allah turut bekerja didalam segala sesuatu, yang artinya semua itu (termasuk hal-hal yang nampaknya buruk) Allah pakai untuk mendatangkan kebaikan bagi anak-anak Tuhan. Kej 3:17 itu berbicara tentang “the origin of suffering” (asal usul penderitaan) sedangkan Rm 8:28 itu berbicara “the providence of suffering” pemeliharaan Allah didalam penderitaan; Allah bisa memakai penderitaan itu yang nampaknya buruk dimata manusia, untuk mendatangkan satu kebaikan bagi orang-orang yang mengasihi Dia.
Ayat ini mudah diaminkan ketika hidup seseorang itu dalam keadaan baik-baik saja, tetapi ketika sedang mengalami kesulitan yang berat apakah mampu mengerti ayat ini? Kebaikan apa yang Tuhan hendak munculkan di balik semua penderitaan yang sedang terjadi ini? Bagaimana Tuhan bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi anak-anak-Nya? Paulus di sini mengingatkan, ini adalah satu kesimpulan bahwa Paulus memahami realitas penderitaan dan realitas tentang diri Allah. Ternyata ditengah-tengah penderitaan seluruh alam semesta yang terjadi, ketika umatNya mengerang kesakitan, di situ Tuhan tidak meninggalkan umatNya.
Tuhan berprovidensi memakai penderitaan itu untuk mendatangkan sesuatu yang baik bagi orang yang mencintai Dia. Kalimat dalam Rm 8:28 ini adalah juga satu peringatan bagi semua anak-anak Tuhan; Paulus tidak mengatakan “aku tahu” tapi “kita tahu”, berarti dia mengajak semua orang percaya untuk memiliki pemikiran yang sama seperti dia. Kata “segala sesuatu” di sini itu berarti termasuk hal-hal yang nampaknya buruk, hal-hal yang nampaknya jahat, hal-hal yang bersifat penderitaan, semuanya bisa dipakai oleh Tuhan untuk mendatangkan kebaikan.
Penderitaan bukan meniadakan Allah, penderitaan justru bagi Paulus adalah penyataan providensi Allah dalam seluruh alam semesta untuk mendatangkan satu kebaikan bagi anak-anak-Nya. Allah itu berdaulat, Allah hadir didalam penderitaan, bahkan lebih dari itu Allah memakai penderitaan untuk menghasilkan sesuatu yang baik. Rm 8:28 ini seolah-olah Paulus sedang membantah pertanyaan klasik ribuan tahun lalu yaitu trilema dari Epicurus: “Apakah Allah tidak berkuasa dengan adanya penderitaan?”. Paulus berkata Allah tetap berkuasa, karena Allah disitu menyatakan providensi-Nya. Apakah Allah tidak baik dengan adanya penderitaan? Allah tetap baik karena Allah punya rencana yang baik di balik setiap penderitaan.
Alkitab bukan hanya bicara tentang keselamatan, tapi Alkitab juga banyak berbicara tentang realitas penderitaan. Orang Kristen yang sejati harus mulai belajar bagaimana memandang penderitaan, berelasi dengan penderitaan, dan bereaksi dengan penderitaan itu sendiri. Ayat ini menjadi ayat yang sangat penting sekali terutama pada saat mengalami penderitaan seperti pandemi covid-19 yang pernah dialami oleh seluruh umat manusia muka bumi ini, dan mungkin saja di waktu-waktu mendatang bisa terjadi hal yang serupa dengan pandemi yang lain. Ayat ini “Allah turut bekerja didalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi orang yang mengasihi Dia”, kalimat dari bahasa aslinya adalah “segala sesuatu Allah pakai untuk mendatangkan kebaikan bagi orang yang mengasihi Dia”, artinya bagi yang tidak mengasihi Allah, selamanya dia tidak akan pernah mengerti ayat ini. Ayat ini begitu istimewa “hanya bagi orang yang betul-betul mencintai Tuhan” maka ayat ini bisa menjadi satu kekuatan dan penghiburan baginya.
Penderitaan bukan hanya membuat manusia lebih mengenal Allah, penderitaan juga membuat manusia semakin mengenal siapa dirinya. Thomas Watson memberikan satu kalimat “Affliction to the godly is the medicine” (penderitaan bagi orang-orang saleh itu adalah obat bagi dia). Pada umumnya orang tidak suka penderitaan tapi Thomas Watson mengatakan penderitaan itu baik bagi orang-orang saleh. Penderitaan itu merendahkan diri seseorang, penderitaan itu mempertobatkan seseorang, penderitaan itu menguduskan seseorang, penderitaan itu membentuk karakter dan kerohanian seseorang.
Alkitab mencatat Hizkia adalah seorang raja yang baik dimata Allah. Dia menyingkirkan semua bukit-bukit berhala, dia membawa rakyat itu kembali menyembah kepada Allah yang benar, tapi aneh di dalam Yes 38:17 Hizkia berkata “sesungguhnya penderitaan yang pahit ini menjadi keselamatan bagiku”. Apa latar belakang Hizkia berkata seperti ini? Itu dicatat di 2 Taw 32:24 – dst, dalam masa tua Hizkia, menjadi sombong; lupa semua kebaikan Allah, dipikir itu semua adalah berkat jasa dari dirinya sendiri. Allah mengijinkan penyakit datang kepada Hizkia, penyakit inilah yang Hizkia katakan “penderitaan yang pahit ini menjadi keselamatan bagiku”. Dalam penderitaan inilah, Hizkia bertobat kembali kepada Allah.
Itu lah fakta – fakta bahwa Tuhan memakai penderitaan dan kesulitan untuk membawa umat mengenal diri dihadapan Tuhan. Tuhan tidak segan-segan membuang bangsa Yehuda ke Babel supaya menjadi sadar keberdosaan mereka. Setelah masa pembuangan itu, lalu bangsa Yehuda di bawa pulang kembali ke Yerusalem oleh Ezra dan Nehemia. Sejak itu tidak pernah ditemukan lagi penyembahan berhala di tengah-tengah bangsa Israel. Inilah cara Allah memakai penderitaan, kesulitan untuk membawa umat mengenal siapa dirinya dihadapan Allah.
Di balik penderitaan yang Tuhan ijinkan ini Tuhan sedang memurnikan gereja-Nya (1 Ptr 4:12-13). Penderitaan ini menjadi satu penyaringan Tuhan kepada anak-anak Tuhan, setulus apa selama ini mengikuti Dia? Seberapa jauh iman umatNya mengenal Dia? Masa-masa yang sulit diijinkan terjadi kepada manusia untuk menyaring dan dari situlah terlihat mana iman yang sejati dan mana iman yang palsu.
Tuhan membiarkan penderitaan tetap ada dalam dunia ini untuk menimbulkan satu pengharapan yang lebih baik dalam hidup anak-anak Tuhan. Artinya penderitaan itu mengingatkan bahwa dunia ini bukan tempat kediaman umat yang percaya kepadaNya. Dunia ini bukan tempat tujuan akhir anak – anak Tuhan, dunia ini hanya tempat transit bagi anak-anak Tuhan. Penderitaan ini menjadi satu pengingat bahwa rumah umatNya bukan di dunia ini. Dunia ini bukan suatu tempat yang nyaman untuk ditinggali; karena penuh air mata, penuh penderitaan, penuh kesulitan. Penderitaan ini Tuhan sengaja tidak ambil dari kehidupan manusia dalam dunia, supaya mengingatkan bagi anak-anak Tuhan, ini bukan tempat yang terakhir. Penderitaan itu membuat umatNya merindukan langit dan bumi yang baru.
Penderitaan itu bukan kekal, penderitaan itu suatu saat akan berakhir karena Kristus sudah menyelesaikan dan menebus hukuman yang seharusnya dialami manusia, tapi Kristus menggantikan dengan mati di atas kayu salib. Maka ketika penghukuman itu sudah ditebus, sudah dibayar oleh Kristus maka konsekuensi dari penghukuman yaitu penderitaan, juga akan berakhir. Penderitaan dimuka bumi itu bersifat sementara, suatu saat akan lenyap pada saat Kristus datang kedua kali, kita akan masuk ke langit dan bumi yang baru; disana tidak ada lagi air mata, tidak ada lagi penderitaan, tidak ada lagi kesulitan, tidak ada lagi pandemi, tidak ada lagi banjir, perang, yang ada adalah sukacita bertemu Tuhan (Why 21). Maka ini memberikan kita satu penghiburan dan kekuatan selama kita hidup didalam dunia ini, penderitaan membuat kita melihat kepada kekekalan, penderitaan membuat kita merindukan pengharapan yang lebih baik di langit dan bumi yang baru. Soli Deo Gloria.
Penulis : Harry Mandagi, adalah seorang pemerhati yang memiliki panggilan pelayanan untuk umat Kristiani di Indonesia lintas Sinode Gereja.