JAKARTA – organisasi kesehatan dunia—World Health Organization (WHO) secara resmi mengumumkan berakhirnya darurat kesehatan global Covid-19 pada Jumat (5/5/2023).
Pengumuman WHO itu diikuti oleh berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia dengan tidak mewajibkan lagi warga negaranya untuk menggunakan masker dan dapat melakukan berbagai kegiatan tanpa batas jarak.
Hidup bebas tanpa “ancaman” kematian membuat berbagai aktifitas manusia (masyarakat) kembali seperti sebelum adanya Covid-19, termasuk pertemuan ibadah – ibadah Kristen.
Kebiasaan mengikuti ibadah online (ibadah dari rumah) pada saat Pandemi Covid-19, ternyata telah membuat (ada) umat Kristen merasa nyaman.
Mengikuti ibadah online dipakai sebagai alasan kuat untuk tidak mengikuti ibadah tatap muka (berkumpul) di rumah ibadah.
Padahal dari sudut pandang Kristen ibadah yang dimaksud adalah berkumpul secara tatap muka dalam satu tempat (gedung). Seperti yang ditulis Firman Tuhan di Kitab Ibrani 10:25 “Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat,”.
Tentu firman Tuhan di atas tidak serta merta dapat diterima oleh umat Tuhan yang sudah merasa nyaman dengan mengikuti ibadah Online. Ada banyak argument yang akan digunakan demi melegalkan mengikuti ibadah online.
Argument yang akan sering digunakan, bahwa mengikuti ibadah online tidak ada yang salah dan tidak melanggar Firman Tuhan—terbukti pada masa pandemi Covid-19, semua Gereja menerapkannya.
Argument lainnya, mengiktui ibadah online juga masuk dalam kategori pertemuan dengan menggunakan teknologi.
Argument – argument di atas tentu hanyalah untuk menutupi pemenuhan kehendak (keinginan), di antaranya karena malas (capek) untuk ke Gereja. Sebab kerja (ngantor) Senin – Sabtu dan dari pagi sampai malam.
Selain itu, rasa bosan mengikuti ibadah di Gerejanya karena pembawa Firman Tuhan (pendeta), dia lagi – dia lagi. Sedangkan kalau mengikuti ibadah online dengan mudah mencari pembawa Firman Tuhan (pendeta) yang dapat memuaskan keinginan.
Pertanyaannya, jemaat mau beribadah—menyembah Tuhan atau untuk memuaskan kepentingan dirinya sendiri? Apakah itu bagian dari ibadah? Jelas tidak, karena motivasinya bukan untuk beribadah.
Memang untuk menyenangkan diri sendiri bukanlah hal baru atau mengagetkan dalam perjalanan umat Kristiani mengikut Tuhan.
Ada satu teolog di abad ke 16 mengatakan sejak manusia jatuh dalam dosa, sejak itulah hati manusia menjadi pabriknya berhala. Itu fakta, manusia kebanyakan tidak berpusat kepada Tuhan tetapi berpusat pada dirinya sendiri—egois.
Itu sebabnya Rasul Paulus sampai berkata, “Sebab jika kita hidup, kita hidup untuk Tuhan, dan jika kita mati, kita mati untuk Tuhan. Jadi baik hidup atau mati, kita adalah milik Tuhan,”(Baca Roma 14:8)—tidak tertulis untuk diri sendirinya Paulus.
Paulus memahami bahwa hidup dan mati itu adalah anugerah dari Tuhan. Kalau Tuhan masih memberikan kehidupan (untuk bernafas), tentu itu adalah anugerah dan itu bukan untuk dipakai memuaskan kepentingan diri sendiri. Melainkan dalam anugerah itu ada tuntutan tanggungjawab secara disiplin.
Anugerah dan tanggungjawab itu seperti dua sisi satu mata uang, tidak bisa salah satunya dibuang atau tidak digunakan—harus kedua – duanya parallel. Kalau mengerti hidup ini adalah anugerah, maka pasti juga mengerti bentuk tanggungjawabnya, di antaranya menyembah (beribadah) kepada Tuhan.
Bila umat Tuhan yang mengerti Anugerah Tuhan tapi tidak menjalankan tanggungjawabnya, kata Firman Tuhan, “Barangsiapa Kukasihi, ia Kutegor dan Kuhajar; sebab itu relakanlah hatimu dan bertobatlah!”, Wahyu 3:19.
Perhatikan! Kalau tidak menjalankan tanggungjawab dari Anugerah Tuhan maka Tuhan akan menghajarnya, paling tidak menegornya. Kalau sampai Tuhan sudah tidak hajar atau tegor, segeralah kuatir dengan hidup. Kenapa? Itu tanda Tuhan sudah tidak mengasihimu.
Kesimpulannya, mengikuti ibadah secara online sangat berbeda dengan ibadah pertemuan (berkumpul) secara bertemu dalam satu ruangan rumah ibadah. Perbedaannya di mana? suasananya, perasaan saat sedang mengikuti ibadah.
Menyinggung ibadah online dilegalkan pada masa pandemi, bukan berarti itu legal dalam tatacara ibadah dari sudut firman Tuhan. Tapi Itu menjadi legal karena situasi dan kondisi yang mendesak—dalam hal ini desakan aturan pemerintah yang adalah wakil Allah. (Baca Roma 13 : 1-2)). Sekarang situasi dan kondisinya sudah berbeda, sudah tidak pandemi dan pemerintah sudah tidak membatasi pertemuan.
Sekarang saatnya untuk hadir mengikuti ibadah onsite (pertemuan) dalam satu ruangan ibadah untuk Fellowship.
Biar tidak lagi ada perdebatan, Gereja – gereja mulailah untuk meninggalkan penayangan secara langsung ibadah. Rekamlah setiap ibadah dan di post setelah beberapa hari ibadah selesai.
Percayalah, cara itu akan menghentikan jemaat yang sudah PW atau nyaman dengan mengikuti ibadah online akan berganti mengikuti ibadah secara pertemuan langsung di rimah ibadah.
Penulis : Harry Mandagi, adalah seorang pemerhati yang memiliki panggilan pelayanan untuk umat Kristiani di Indonesia lintas Sinode Gereja.