Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu (Foto : dok. Ist/google.com/ voanews.com)

Jakarta – Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan pemimpin Hamas akhirnya menyepakati gencatan senjata pada Kamis (20/05), setelah aksi saling serang selama 11 hari terakhir.

Kesepakatan gencatan senjata Israel – Hamas (Palestina) bagi Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI), sebuah keputusan tepat demi mengindari makin banyak korban jiwa dari masyarakat sipil. 

“Saling serang di antara kedua pihak, baik militer Israel dan sayap militer Palestina (Hamas), telah menimbulkan banyak korban jiwa, terkhusus perempuan dan anak. Kami berharap gencatan senjata yang dilakukan dapat berlangsung lama dan dilanjutkan proses dialog untuk menyepakati solusi dua negara yang menjadi resolusi PBB,” kata Sekretaris Umum DPP GAMKI Sahat Martin Philip Sinurat, di Jakarta, Jumat (21/5). 

Sahat Marthin Philip Sinurat, menegaskan GAMKI mendukung penuh dilaksanakannya solusi dua negara serta mendesak PBB dan negara-negara dunia untuk dapat menjembatani dialog antara Pemerintah Israel dan Otoritas Nasional Palestina demi tercapainya resolusi damai jangka panjang Israel-Palestina. 

Diungkapkan Sahat Marthin Philip Sinurat, sebagai bentuk solidaritasnya, GAMKI selama bertahun-tahun kerap berkunjung ke Kantor Kedubes Palestina untuk Indonesia dan juga mengundang Duta Besar Palestina dalam acara GAMKI, seperti Rakernas dan Perayaan Natal. 

“Bagi GAMKI, persoalan konflik Palestina dan Israel tidak dilihat dari perspektif agama melainkan konflik wilayah yang harus dilihat dari sudut pandang kemanusiaan dan keadilan. Kita tahu bahwa di Palestina tidak hanya ada umat Muslim, melainkan juga Yahudi dan Kristen. Begitu juga di negara Israel, warganya tidak hanya memeluk agama Yahudi, tapi juga banyak yang beragama Islam dan Kristen,” katanya. 

BACA JUGA  PIKI dan Lembaga Gereja Tingkat Provinsi Banten Gelar Vaksinasi Masal di Enam Titik

Menurut Sekretaris Umum GAMKI, Sahat Marthin Philip Sinurat, konflik Israel dan Palestina yang terjadi saat ini di Timur Tengah justru dijadikan komoditi politik oleh oknum dan kelompok tertentu di Indonesia. 

“Kami melihat ada oknum dan kelompok tertentu di Indonesia yang menjadikan konflik Israel-Palestina sebagai komoditi politik. Mereka membuat framing di media sosial bahwa konflik Palestina adalah konflik agama, menuduh orang Indonesia yang tidak membela Palestina sebagai pengkhianat, bahkan membuat beberapa sebutan seperti zionis nusantara, yahudi pesek, pendukung Israel berasal dari bani bipang, dan lainnya,” ujarnya. 

Sahat Marthin Philip Sinurat menyayangkan adanya oknum dan kelompok tertentu di Indonesia yang memakai konflik Israel-Palestina untuk memprovokasi dan memecah-belah masyarakat. 

“Kami mengharapkan masyarakat Indonesia dapat lebih bijak melihat persoalan Israel-Palestina. Jangan mudah dipengaruhi provokasi dan propaganda yang dilakukan oknum ataupun kelompok tertentu yang sengaja ingin memecah-belah dan membenturkan masyarakat kita. Bahkan sampai ada siswi yang dipecat dari sekolahnya karena dinilai menghina Palestina lewat media sosial, ini kan sanksi yang berlebihan,” katanya.

BACA JUGA  Pelayanan Sosial Orientasi PGTI untuk Indonesia

Memandang persoalan Yerusalem dari sudut pandang agama saja, lanjut Sahat Marthin Philip Sinurat, hanya membuat masyarakat Indonesia menjadi tersekat-sekat dan memperdalam jurang perbedaan. 

“Kalau kita hanya membela berdasarkan perspektif agama, setiap agama akan punya ego masing-masing. Baik agama Yahudi, Kristen, ataupun Islam sama-sama merasa memiliki tanah Israel-Palestina dengan sejarah kitab suci masing-masing,” kata Sahat yang pernah menghadiri pertemuan internasional Mahasiswa Kristen se-Dunia di Kairo, Mesir pada tahun 2017 untuk membahas persoalan konflik Israel-Palestina. 

“Persoalan Palestina adalah tentang kemanusiaan dan keadilan. Buktinya, banyak warga Kristen dan Yahudi Palestina yang ikut memperjuangkan kemerdekaan Palestina bersama dengan warga Islam Palestina. Jadi, mari kita rakyat Indonesia bersatu, tidak tepat mengidentikkan persoalan Palestina sebagai persoalan agama tertentu saja,” jelasnya.

Apa pendapat anda tentang post ini ?
+1
1
+1
0
+1
0
+1
2
+1
0
+1
0
+1
0

1 KOMENTAR

  1. Konflik Israel – Palestina suka tidak suka tidak bisa dipisahkan dari unsur agama karena Yerusalem Timur yang menjadi inti konflik sarat dengan situs-situs sejarah keagamaan seperti Tembok Ratapan maupun kompleks Al Aqsa dengan ’ikon”nya Dome of Rock dan masjid Al Quds, walaupun sejujurnya situs umat Muslim tersebut (Dome of Rock dan masjid Al Quds) bisa dikategorikan “kontroversial” karena dibangun oleh imperialis Islam yang sempat cukup lama menguasai Yerusalem setelah menaklukan Kekaisaran Romawi dalam Perang Salib.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini