Harry Mandagi dan Susan Mandagi ( Istri ) menghadiri anak di wisuda

JAKARTA – Pelaksanaan perkawinan Kristiani selalu ada janji nikah yang akan dipimpin oleh pendeta. Janji yang akan diucapkan, di antaranya “apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia, hanya maut yang dapat memisahkan,”.

Itulah idealnya sebuah perkawinan. Orang yang menikah tentu tidak pernah berharap terjadi perpisahan semasa hidupnya. Bahkan ketika terjadi perpisahan lewat kematian, orang yang ditinggal akan merasa kehilangan. 

Perasaan itu menjadi bukti bahwa esensinya pernikahan itu adalah rancangan Allah sendiri, bukan rancangan manusia atau rancangan kedua orang yang berlawanan jenis (yang menikah). 

Bicara perkawinan, tidak bisa keluar dari prinsip atau esensinya—bicara awal Allah menciptakan manusia. Sekali lagi perkawinan itu adalah rancangan Allah. Tapi karena manusia sudah jatuh dalam dosa, semuanya menjadi rusak termasuk lembaga perkawinan pun terdampak. Makanya tidak heran kalau banyak terjadi perceraian.

Bertolak dari kitab kejadian (masa penciptaan) manusia, Adam. Semua fasilitas/sarana Allah berikan kepada Adam, termasuk menghadirkan pendamping untuk dia. Allah memberikan seorang (satu) pendamping perempuan (bukan sesama jenis) yang sepadan. 

Dalam Bahasa asli kata “sepadan” adalah neged, bila ditafsir secara harafiah artinya berlawanan alias bertentangan. Apabila digali lebih dalam, esensi dari arti “neged” adalah complementary, lawan kata dari substitusi. Arti sederhananya, saling melengkapi/mengisi. 

Kata lain yang dimaksud dengan sepadan adalah apa yang tidak ada di pria itu yang ada di wanita, begitu sebaliknya—namanya saling melengkapi. Kalau suami – istri itu sama tidak memiliki perbedaan maka sudah dapat dipastikan akan tabrakan. Ini diperkuat dengan firman Tuhan, “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging“. Kata “satu” pada Kej 2:24 itu dipakai kata Ibrani yg sama pada kata “esa” di Ul 6:4 yaitu “echad”. “Echad” berarti satu tetapi bukan satu dalam arti kata satu mutlak (yachid) tetapi berarti “satu kesatuan yang tak terpisahkan”.

Sangat disayangkan, perbedaan yang Allah atur untuk supaya saling melengkapi, malah dijadikan alasan oleh manusia untuk bercerai. Ingat! Allah menciptakan seorang perempuan dari bagian tubuh seorang laki – laki, bukan diambil dari hewan, yang kemudian dikatakan Adam bahwa Hawa adalah tulang dari tulangnya dan daging dari dagingnya. Tulang adalah lambang dari kekuatan dan daging itu lambang dari kelemahan. Kenapa Allah memakai kedua istilah itu yang kelihatannya saling bertentangan, saling kontradiksi?

Sebenarnya Allah ingin menyampaikan bahwa di dalam perkawinan itu ada kekuatan dan ada kelemahan, tidak lepas dari kebahagiaan dan kesulitan yang akan dialami suami istri. Memang paradoks dan tidak mudah dimengerti tapi itulah prinsip perkawinan yang dibangun oleh Allah, suatu dinamika dalam hidup perkawinan.

Adanya perkawinan itu jelas Allah memiliki maksud dan tujuan. Setelah manusia melakukan perkawinan (kudus), Allah mempercayakan anak cucu agar dapat mengelola Taman Eden (bumi). 

Sayang beribu sayang, Adam dan Hawa tidak mampu memelihara kepercayaan yang Allah berikan, karena jatuh ke dalam dosa. Akibat dari dosa suami – istri ini maka membawa dua aspek. Pertama, kesalahan, pemberontakan.  Kedua, menjadi polusi, keberadaan manusia termasuk pikiran, perasaan, hati nurani, dll sudah terpolusi atau tercemar oleh dosa. “Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah” ( Roma 3 : 23 ). 

Akibat dari dosa semua menjadi kacau balau termasuk pernikahan yang tadinya kudus. Buktinya, banyak orang melupakan esensi pernikahan yaitu perbedaan mestinya untuk saling melengkapi malah menjadi alasan untuk bercerai dan dapat menikah lagi. Bahkan lebih dari itu ada yang menjadikan alasan untuk tidak bercerai tapi memiliki istri lebih dari satu—nafsu yang tadinya kudus, sudah menjadi terpolusi dengan dosa. 

BACA JUGA  Seminar Agama – Agama Ke-36 PGI Berlangsung di Kalimantan Barat

Anak-anak Tuhan yang mengerti esensinya sebuah pernikahan (kudus) maka tidak perlu takut dengan perbedaan dan persoalan yang terjadi dalam rumah tangga (perkawinan). Allah tidak akan berdiam, Allah pasti memberikan solusi dalam perkawinan—kalau mengerti esensi perkawinan. Ingat! Allah tidak menginginkan adanya perceraian. Baca Matius 19:4-6, di situ jelas perkataan Yesus merujuk kepada rancangan Allah yang mula-mula mengenai perkawinan (Kej 2:21-24).

Musa Meminta Surat Cerai

Perbincangan di Matius 19 ini selalu dijadikan ayat pendukung bahwa bercerai itu diperbolehkan, khususnya ayat 7. “Jika demikian, apakah sebabnya Musa memerintahkan untuk memberikan surat cerai jika orang menceraikan isterinya?”

Ayat ini jangan dilihat sepotong. Ada latar belakang cerita yang mendasari perkataan dari orang-orang Farisi. Pada saat itu orang-orang Farisi ingin mencobai Yesus dengan bertanya:  “Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan alasan apa saja?”(Mat 19:3) dan dijawab oleh Yesus: “Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? (Mat 19:4 – kutipan Kej 1:27, 5:2)

Jawaban Orang farisi tidak mau kalah dan mencoba memojokkan Yesus dengan mengutip ayat firman Tuhan. “Jika demikian, apakah sebabnya Musa memerintahkan untuk memberikan surat cerai jika orang menceraikan isterinya?” (Mat 19:7 – kutipan Ul 24:1-4)

Sebelum Yesus menjawab jebakan orang Farisi, perlu diketahui bahwa apa yang ditulis dalam perjanjian lama, tepatnya Ulangan 24 : ( 1 ), tidak ada perkataan Musa mengijinkan perceraian dengan alasan “perbuatan tidak senonoh”, Musa hanya memerintahkan apabila seorang suami menceraikan istrinya harus memberikan surat cerai. Itu sebabnya Yesus menjawab: “Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian” ( Matius 19 : 8 ).

Tidak berhenti di situ, Yesus mempertegas di Ayat 9, barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah.”

Diskusi Yesus dan orang Farisi ini bermula dari, di zaman itu ada dua orang Rabi yang masing – masing pengikutnya banyak. Pertama namanya Rabi Shamay dan Kedua namanya Rabi Hilel. 

Kedua Rabi ini memiliki pandangan yang berbeda soal ucapan Musa di Ulangan 24 : 1 “Apabila seseorang mengambil seorang perempuan dan menjadi suaminya, dan jika kemudian ia tidak menyukai lagi perempuan itu, sebab didapatinya yang tidak senonoh padanya, lalu ia menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu, sesudah itu menyuruh dia pergi dari rumahnya,” 

Perhatikan kata “tidak senonoh”. Kata ini bagi Rabi Shamay, memiliki arti apabila mendapatkan istrimu keluar rumah  tidak pakai tutup kepala—dengan begitu sudah dapat diceraikan. Atau bila istri memperlihatkan anggota tubuh yang dilarang dilihat laki – laki maka sudah dapat diceraikan. Atau hal – hal secara moral tidak bisa diterima pada zaman itu dilakukan oleh seorang istri maka sudah dapat diceraikan. 

Sekali lagi ini bukan soal berzinah, sebab kalau sudah berzinah di pandangan orang Yahudi maka bukan diceraikan tetapi dihukum mati. Jadi kata tidak senonoh ini hanya masalah etika moral tapi belum sampai berzinah—sudah dapat diceraikan. 

Bagi Rabi Hilel kata tidak senonoh memiliki arti lebih luas, sampai istri masak keasinan atau masak gosong dapat diceraikan. Esensinya bagi Rabi Hilel perceraian itu sah dengan alasan apapun lewat memahami Ulangan 24 : 1. 

Padahal tidak begitu maksud ayat itu. Ayat itu Musa meminta surat cerai karena perceraian waktu itu sudah tidak dapat dicegah dengan apapun—karena kedegilan hati. Jalan keluarnya, Musa meminta diberikan surat cerai. Kenapa? 

Apabila perempuan yang diceraikan itu mau menikah kembali, harus ada surat cerai, karena tanpa surat cerai dia bisa dihukum mati karena perzinahan. Sebaliknya apabila perempuan yang di ceraikan itu tidak menikah kembali, dia harus menafkahi hidupnya dengan bekerja. 

BACA JUGA  HUT GPdI Shekina ke 27 dan HUT Ibu Gembala GPdI Shekina, Digelar Ibadah KKR, Hadir Pembicara Ps. Mel Atok

Perempuan pada zaman itu dianggap warga kelas dua (budaya patriachy), bahkan tidak dapat dijadikan sebagai saksi dalam pengadilan karena suara mereka tidak diakui. Pekerjaan banyak didominasi oleh laki-laki dan status perempuan dipertanyakan apakah belum/sudah menikah atau sudah bercerai atau suami meninggal. Perempuan yang diceraikan tanpa surat cerai, akan sulit untuk mendapat pekerjaan. Untuk itulah Musa memerintahkan  pemberian surat cerai, tapi bukan Musa mengijinkan perceraian, tidak. Musa hanya ingin mencegah hal yang lebih buruk bisa terjadi kepada perempuan yang diceraikan itu. 

Dari penjelasan di atas maka sesungguhnya tidak ada celah atau alasan untuk bercerai, karena Allah membenci perceraian (Maleakhi 2:16). Contoh saja, bangsa Israel adalah bangsa pilihan Allah. Israel diharuskan menyembah pada Allah Israel. Tetapi faktanya umat Israel seringkali menyembah allah lain (Allah asing) yang dalam PL disebut perzinahan rohani. Ini adalah satu gambaran, dimana bangsa Israel berulang – ulang kali disepanjang PL melakukan penyembahan kepada Allah lain (berzinah rohani). (Kel 34:15-16 ; Ul 31:16).

Mestinya Allah menceraikan (membuang) bangsa Israel, Allah harus meninggalkan bangsa Israel dan mengambil bangsa lain untuk menjadi bangsa pilihan karena perzinahan rohani yang dilakukan berkali-kali oleh bangsa ini. Faktanya tidak, Allah terus menjadikan bangsa Israel bangsa pilihan, Allah tidak menceraikan bangsa Israel sampai genaplah rencana-Nya memakai bangsa ini untuk menurunkan Mesias.

Contoh lain, Allah memakai Kudus nya pernikahan suami – istri sebagai metafora (gambaran) hubungan Kristus dan gereja-Nya (Ef 5:24), tidak boleh ada perceraian, sebab kalau bercerai maka sudah tidak ada hubungan lagi. Allah juga menggambarkan hubungan suami – istri dengan Yesus sebagai pengantin Pria dan umat Tuhan sebagai pengantin perempuan (Why 19:7-10)

Kesimpulan akhirnya, tidak boleh bercerai, Allah membenci perceraian. Paulus saja yang punya guru namanya Rabi Gamaliel, dan gurunya Rabi Gamaliel adalah Rabi Hilel, yang pemahaman memperbolehkan perceraian dengan alasan apa saja, tidak diikuti oleh Paulus setelah dia bertobat. Seluruh surat-surat tulisan Paulus tidak ada satu ayatpun yang mengatakan  perceraian diperbolehkan kecuali hanya melalui kematian (maut) dari salah satu pasangan (1 Kor 7:39).

Bicara Perkawinan – Perceraian ini memang sejak zaman Musa sudah menjadi pembahasan yang menarik, tidak perlu heran kalau sekarang masih menjadi topik bahasan yang tidak pernah tuntas dengan semakin kompleksitas perkawinan masa kini.

Bagaimana dengan Mat 5:32 dan Mat 19:9 yang sepertinya mengindikasikan boleh bercerai apabila salah satu pasangan berzinah? Apakah benar demikian?

Hal-hal yang Perlu Direnungkan:

1. Sebelum perkataan Tuhan Yesus di Mat 5:32, Dia sudah terlebih dahulu menasihatkan di ayat 27: “Jangan berzinah” (kutipan Kel 20:14 ; Ul 5:18)

2. Kata “kecuali karena zinah” hanya muncul di Injil Matius (5:32 ; 19:9), sedangkan ayat-ayat paralel nya di Mrk 10:11-12 dan Luk 16:18 tidak terdapat kata tersebut.

3. Perkataan Tuhan Yesus di Mat 19:9 “kecuali karena zinah”, diresponi oleh murid-murid Yesus pada ayat 10: “Jika demikian halnya hubungan antara suami dan isteri, lebih baik jangan kawin.”

– Implikasi dari respons murid-murid Yesus yang begitu negatif adalah karena mereka mengerti dengan baik perkataan Yesus bahwa tidak ada celah untuk perceraian dan pernikahan kembali.  Silahkan merenung semoga menemukan jawabannya.

Penulis : Harry Mandagi, adalah seorang pemerhati yang memiliki panggilan pelayanan untuk umat Kristiani di Indonesia lintas Sinode Gereja.

Apa pendapat anda tentang post ini ?
+1
2
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini