Logo PGI. (Foto: IST)

JAKARTA – Pilkada Serentak 2018 sudah di ambang pintu. Dari pengalaman selama ini, masih saja terlihat banyak persoalan dalam Pilkada. Mulai dari DPT (daftar pemilih sementara) yang tak pernah sempurna, penyelenggara yang kadang masih tak netral, pelibatan aparat sipil negara, pelanggaran kampanye, eksploitasi anak dalam kampanye, manipulasi suara, sampai pada masih susahnya menghentikan politik uang.

Ditambah dengan isu SARA yang sengaja digunakan untuk memenangkan pasangan calon  tertentu. Akibatnya, masyarakat makin terkotak-kotak dalam sekat-sekat SARA sehingga hajatan Pilkada meninggalkan luka sosial yang sulit disembuhkan.

Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) yang merupakan representasi gereja-gereja di Indonesia melalui Majelis Pekerja Harian (MPH) menyampaikan pesan pastoral untuk Pilkada Serentak 2018. Berikut isi pesan pastoral PGI yang ditandatangani Ketua Umum PGI Pendeta Dr. Henriette Hutabarat-Lebang dan Sekum PGI Pendeta Gomar Gultom.

Pertama, Pilkada merupakan bagian utuh dari proses demokrasi dan merupakan upaya kita bersama sebagai bangsa untuk mewujudkan tujuan nasional, yaitu memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Dalam kerangka itu, keterlibatan kita dalam Pilkada haruslah dimaknai sebagai upaya untuk menjaga tetap tegaknya proses dan budaya demokrasi serta tetap tegaknya NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Oleh karena itu, kekuasaan politik tidak boleh menjadi tujuan utama, tapi menjadi alat untuk mewujudkan tujuan nasional itu demi tetap kokohnya bangsa yang kita cintai ini. Untuk itu, dalam seluruh proses Pilkada Serentak tahun ini kita harus mengedepankan persatuan dan kesatuan bangsa. Karena itu, kita harus menjaga ucapan, sikap dan prilaku, agar tidak makin merusak dan menggoyahkan sendi-sendi NKRI tersebut.

Kedua, kita harus akui bahwa proses berdemokrasi kita memang belum sempurna. Kita masih menjalani transisi demokrasi, terutama sejak kita mencetuskan reformasi 1998, 20 tahun yang lalu. Masa transisi demokrasi ditandai dengan berbagai macam gejolak dan persoalan yang harus kita tuntaskan. Situasi sosial politik yang tak stabil, regulasi yang berubah-ubah, kebebasan berekspresi yang kebablasan, maraknya kekerasan, bahkan negara yang gamang dalam bersikap tegas, merupakan fenomena yang lazim di negara-negara yang sedang mengalami transisi demokrasi. Baik atau tidaknya perjalanan demokrasi kita ke depan akan sangat ditentukan oleh perjuangan kita bersama melalui masa transisi demokrasi ini. Jadi, sebagai bangsa, sekarang ini kita sedang menata dan mengembangkan demokrasi ke arah yang lebih baik. Karenanya, Pilkada harus kita tempatkan juga dalam kerangka penataan sistem demokrasi tersebut. Oleh karena itu, adalah wajar jika masih banyak kekurangan di sana-sini. Kita semua bertugas dan bertanggungjawab untuk melakukan perbaikan terhadap proses dan sistem Pilkada agar menjadi lebih baik dan memberikan manfaat langsung terhadap perbaikan kehidupan masyarakat.

BACA JUGA  Ironi Perkawinan, Menikah untuk Bercerai

Ketiga, Pilkada Serentak harus menjadi media yang mendorong upaya perwujudan kesejahteraan dan pencerdasan rakyat. Kita harus berkomitmen mencegah dan melawan politisasi SARA, politik uang dan ujaran kebencian. Partisipasi dan keterlibatan politik gereja haruslah diarahkan pada upaya untuk memperbaiki sistem dan situasi sosial politik, bukan malah membuatnya makin gaduh dan kacau balau. Di sini dibutuhkan kedewasaan, kecerdasan, rasionalitas dan empati, serta kesabaran agar tidak hanyut dalam wacana yang dikembangkan oleh berbagai kalangan melalui berbagai opini yang menyesatkan dan menghancurkan proses demokrasi kita.

Keempat, dalam Pilkada ini kita semua akan dibanjiri dengan berbagai informasi, baik positif maupun negatif, melalui media sosial maupun media massa. Harus disadari bahwa para kandidat dan pendukung bisa saja dengan sengaja memproduksi informasi palsu atau hoaks sebagai bagian dari kampanye demi kepentingan kelompoknya. Apalagi jika kita melihat fakta bahwa hampir semua media massa nasional kita telah berafiliasi dan terafiliasi kepada kepentingan politik tertentu.

BACA JUGA  Hitung Cepat Kaum Muda Unggul di Pilkada 2020

Kelima, bagi gereja, politik adalah sebuah panggilan untuk melayani umat, bangsa dan dunia ini. Kita menolak menjadikan politik sebagai alat untuk melayani kepentingan pragmatis sekelompok orang saja atau untuk mengejar kekuasaan semata. Karena itu, politik sangat penting karena ia menentukan masa depan kita bersama sebagai bangsa. Kita tidak boleh menyerahkan politik pada orang-orang yang akan menyalahgunakannya demi memuaskan nafsu kekuasaannya semata. Jangan ada yang bersikap apatis terhadap politik, tetapi juga jangan seorang pun terjebak dalam politik identitas yang mengedepankan kepentingan kelompok di atas kepentingan bangsa. Gereja harus mengkritisi siapa pun yang mempraktekkan politik identitas. Penyalahgunaan politik identitas dalam Pilkada akan mengakibatkan perpecahan internal dalam gereja dan perpecahan bangsa. Itulah sebabnya kami sarankan agar rumah ibadah tidak dijadikan sarana kampanye oleh dan untuk kepentingan siapa pun. Jagalah kesucian dan kemurnian ibadah, mimbar-mimbar gereja dan rumah ibadah agar tidak dinodai oleh upaya-upaya untuk kepentingan politik praktis.

Keenam, dalam pemungutan suara nanti, pilihlah calon yang memiliki integritas, kejujuran, keberanian dan komitmen melawan segala bentuk korupsi dan manipulasi, komitmen pada konstitusi dan keanekaragaman bangsa, kemauan bekerja keras untuk menciptakan keadilan dan kesetaraan bagi seluruh warga negara, serta komitmen untuk menopang pembangunan yang berwawasan lingkungan. Tolaklah calon pemimpin yang memanipulasi isu SARA, diskriminasi berbasis gender dan kampanye gelap yang menyudutkan pasangan calon tertentu.

Apa pendapat anda tentang post ini ?
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini