JAKARTA – Iman adalah kata yang paling sering diucapkan dalam perbincangan sesama orang Kristen. Hal yang menarik dalam perbincangan itu, banyak di antaranya menganggap yang paling tahu apa arti iman.
Pertanyaannya, apakah benar iman Kristiani sebatas yang dipahami dan diperbincangankan dalam kelompok – kelompok umat Kristiani? Contohnya, ada bagian di dalam Alkitab yang tidak jarang membuat orang Kristen kesulitan memahami ketika membaca perkataan Tuhan Yesus tentang iman sebesar biji sesawi yang bisa memindahkan gunung.
Seperti sudah diketahui oleh kebanyakan orang Kristiani, di dalam alkitab ada dua bagian dimana Tuhan Yesus berbicara hal yang serupa mengenai iman memindahkan gunung tetapi dalam dua peristiwa yang berbeda (Mat 17:20 dan Mat 21:21).
Mat 17:20 Ia berkata kepada mereka, “Karena kamu kurang percaya. Sebab sesungguhnya Aku berkata kepadamu: Sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja kamu dapat berkata kepada gunung ini: Pindah dari tempat ini ke sana — maka gunung ini akan pindah, dan tidak akan ada yang mustahil bagimu. [TB2]
Mat 21:21 Yesus menjawab mereka, “Sesungguhnya Aku berkata kepadamu, jika kamu percaya dan tidak bimbang, kamu bukan saja akan dapat berbuat apa yang Kuperbuat dengan pohon ara itu, tetapi juga jikalau kamu berkata kepada gunung ini, ‘Terangkat dan terbuanglah ke dalam laut!’ hal itu akan terjadi. [TB2]
Dua perkataan Tuhan Yesus ini walaupun mirip tetapi muncul dalam dua konteks yang berbeda. Mat 17:20 konteksnya adalah para murid gagal mengusir setan, sedangkan dalam Mat 21:21 dengan paralelnya di Mrk 11:23, itu konteksnya Tuhan Yesus mengutuk pohon ara yang tidak berbuah.
Perkataan yang diucapkan Tuhan Yesus ini termasuk kalimat – kalimat yang sulit dimengerti, sehingga membuat kebanyakan orang Kristiani seringkali salah-mengerti, termasuk hamba-hamba Tuhan.
Di sisi yang lain, ayat ini menjadi favorit bagi para motivator-motivator sekuler yang beragama kristiani, dengan mengutipnya menjadi perkataan untuk memotivasi orang.
Word of Faith Movement (WoFM)
Sebagai informasi, beberapa tahun yang lalu muncul dalam kekristenan satu gerakan yang namanya “Word of Faith Movement” (WoFM) atau “Gerakan Perkataan Iman”. WoFM ini semacam mensugesti diri dan mengajarkan apa yang diimani, itu akan engkau dapatkan. Seolah-olah ini semacam mantra yang diucapkan dan akan menjadi kenyataan. Ayat yang sering dipakai adalah Roma 3:27 “Jika demikian, apakah dasarnya untuk bermegah? Tidak ada! Berdasarkan apa? Berdasarkan perbuatan? Tidak, melainkan berdasarkan iman!”
Dalam Alkitab bahasa Inggris diterjemahkan: “Dengan apakah kita memegahkan diri? Bukan karena apa-apa! Apakah melalui hukum Taurat? Bukan. Apakah melalui perbuatan? Bukan, tetapi melalui hukum iman”.
Gerakan ini mengajarkan bahwa kalau orang memiliki iman di dalam dirinya, dia itu seolah-olah bisa melakukan apapun yang dia inginkan dan mendapatkannya. Ini adalah inti dari WoFM. Ajaran ini mengatakan hukum dari pada iman itu berlaku sebagai causal agent (satu penyebab) yang bersifat universal; satu kuasa yang mengaktualisasikan peristiwa atau kejadian dan obyek-obyek dalam dunia nyata. Artinya, kalau engkau menginginkan sesuatu, engkau harus imani dan bayangkan itu dan itu akan jadi milikmu. Analoginya iman itu seperti hukum alam, misalnya gravitasi dan listrik yang tidak kelihatan tapi bisa menimbulkan penyebab dan akibat. Apa yang di imani akan ada akibatnya. Iman itu cause (penyebab) nya; apa yang di inginkan, itu effect (hasil) nya.
WoFM memegang kuat, apa yang dipercayai atau diimani, itulah yang akan didapatkan. Ajaran ini sangat mirip dengan istilah dalam dunia motivator, yang dikenal dengan teori “The law of attraction” (Hukum daya tarik).
Konsep “The law of attraction” ini mulai populer sejak tahun 2007 yang diperkenalkan lewat buku dan film The Secret. Buku ini ditulis oleh Rhonada Byrne, akan tetapi sebenarnya konsep ini merupakan ajaran yang sangat kuno sekali yang berasal dari agama Timur yang pantheistik (keyakinan bahwa segala sesuatu adalah Allah atau mengandung elemen keilahian) yang kemudian disebarkan melalui “New Age Movement” (Gerakan Zaman Baru).
Sangat disayangkan banyak orang Kristen tidak meneliti latar belakang dan mempelajari ajaran ini dengan baik, langsung meyakini dan mengadopsinya sebagai kunci keberhasilan. Mirisnya, sebagian hamba Tuhan mengajarkan ini di atas mimbar. “The law of attraction” ini mirip sekali dengan “Word of faith movement” (WoFM) yang mengajarkan: apa yang engkau inginkan atau percayai, itulah yang akan engkau dapatkan. Ini satu worldview (cara pandang) yang begitu mendunia dan bahkan masuk kedalam dunia kekristenan dengan memanipulasi perkataan Tuhan Yesus dalam Mat 17:20, Mat 21:21.
Untuk mengetahui hal ini, perlu menganalisa lebih dalam lagi mengenai apa sebenarnya WoFM? Seperti namanya “Word Faith” (perkataan iman) itu mengimplikasikan bahwa gerakan ini mengajarkan iman adalah sesuatu yang dikatakan lebih daripada yang dipercayai.
Pengajar-pengajar dari WoFM mengklaim bahwa satu kebenaran yang engkau pegang dan engkau yakini dalam hatimu; yaitu apa yang engkau katakan, akan menentukan segala sesuatu yang terjadi kepadamu. Iman itu dianggap sesuatu yang penting dalam WoFM; akan tetapi pengertian iman di sini sangatlah jauh dari apa yang dipahami dalam Alkitab tentang iman yang benar.
Kalimat yang diucapkan seperti: “Pokoknya saya beriman, saya percaya dalam Tuhan, apa yang saya mau, pasti akan saya dapatkan. Apa yang saya katakan, apa yang saya pikirkan, itulah yang akan terjadi kepada saya”. Itulah inti pengertian tentang “perkataan iman” yang dipercayai oleh ajaran ini. Pengajar WoFM mengatakan: “Percayalah akan hal itu di dalam hatimu, katakanlah dengan mulutmu. Inilah prinsip iman, kamu dapat memiliki apa yang kamu katakan”.
Apakah ajaran WoFM ini Alkitabiah? Apa yang dipercayai oleh pengajar gerakan ini adalah yang disebut “positive confession” (pengakuan yang positif). Ajaran ini menjadikan diri sendiri sebagai allah-allah kecil, sebab apa yang dipikirkan, dibayangkan dan dikatakan pasti menjadi kenyataan. Bukankah kuasa untuk melakukan itu semua hanya ada pada Allah? Orang-orang Kristen yang mempraktikkan WoFM seringkali terjebak pada “beriman pada iman”, bukan “beriman pada Tuhan”. Berhati-hatilah. Ini sebuah kesalahan serius.
WoFM adalah satu hal yang menonjol di masanya, yang memakai berbagai ayat-ayat dalam Alkitab termasuk perkataan Tuhan Yesus tentang iman sebesar biji sesawi yang dapat memindahkan gunung.
Bagaimana mungkin orang bisa memanipulasi ayat-ayat yang Tuhan Yesus berikan itu menjadi suatu gerakan yang akhirnya mengacau dalam kehidupan kekristenan? Apa yang terjadi di balik manipulasi dari ayat-ayat di atas tersebut? Dr. McConnell mengatakan WoFM itu sebenarnya muncul dari seseorang yang bernama E.W. Kenyon, seorang “faith-healer” (penyembuh iman) yang pemikirannya mempengaruhi Kenneth Hagin yang mempopulerkan WoFM.
Kenneth Hagin meniru (mengimitasi) apa yang dilakukan oleh Kenyon. Sebenarnya siapa Kenyon? Pengajar-pengajar dari Word Faith memiliki nenek moyang dari kelompok-kelompok seperti Christian Science, Swedenborgianism, Theosophy, Science of Mind and New Thought (New Age Movement) – bukan kepada Pentakosta Klasik.
Dibalik gerakan WoFM, ternyata banyak dipengaruhi oleh ajaran-ajaran yang menyimpang dari Alkitab, dan ini bukan ajaran Pentakosta Klasik karena Pentakosta Klasik tidak pernah mengajarkan hal seperti ini. Sangat disayangkan ajaran ini menyusup kedalam beberapa aliran gereja tanpa disadari bahwa praktik-praktik tersebut bukan ajaran dari firman Tuhan.
Kesimpulannya, semangat dari gerakan Word of faith sebenarnya adalah “New Age Spirituality” atau “Gerakan Spiritualis Zaman Baru”. Dalam New Age Movement (Gerakan Zaman Baru), kita menciptakan realitas kita sendiri. Kata lainnya, apa yang dipikirkan, apa yang dibayangkan, apa yang diimani – itulah yang akan terjadi.
Gerakan ini masuk dalam kekristenan hingga hari ini. Ada sekelompok orang yang berpandangan kalau sakit tidak perlu ke dokter, beriman saja dan ucapkan perkataan iman dan kesembuhan akan terjadi. Ini sebenarnya adalah satu spirit dari New Age Movement, yang masuk ke dalam gereja dan “dibungkus” dengan kata-kata iman.
Lewat penjelasan di atas, telah memberikan, ya sedikit mengerti bahwa ayat – ayat firman Tuhan di Alkitab dapat disalahgunakan, bahkan dimanipulasi. Pertanyaannya mengapa ketika seseorang menjadi orang percaya, bisa menjadi “bodoh”? Misalnya ketika sakit tidak mau pergi ke dokter, tapi cukup memperkatakan dengan iman.
Ini menjadi satu pertanyaan serius ketika berbicara tentang iman. Sebenarnya dalam perspektif Alkitab, iman dan pikiran itu kawan atau lawan? Ada sekelompok orang berpikir kalau beriman, harus membuang akal budi. Kalau beriman sungguh-sungguh, tidak boleh memakai ratio (pikiran). Semakin banyak memakai pikiran berarti semakin tidak beriman. Implikasi dari gerakan ini adalah iman dan ratio (pikiran/akal budi) itu saling bertentangan.
Pemikiran tentang iman dan ratio (pikiran) ini bukan baru muncul di abad ke 20 dengan munculnya WoFM, tetapi ini sudah ada sejak zaman bapa gereja Agustinus pada abad ke 4. Bapa gereja Agustinus sudah memikirkan apa sebenarnya hubungan antara iman dan ratio itu? Satu ungkapan terkenal dari bapa gereja Agustinus dalam bahasa Latin “Credo ut intelligam” (I believe in order to know), artinya “saya percaya (beriman) supaya saya tahu (mengerti)”.
Dalam pemikiran bapa gereja Agustinus bahwa iman dan ratio tidak saling bertentangan. Ungkapan bapa gereja Agustinus ini menjadi terkenal dengan perkataan “faith seeking understanding”, yang berarti iman selalu mencari pengertian atau iman selalu menuntut pemahaman. Kata sederhananya adalah ketika seseorang menjadi anak Tuhan, seharusnya memakai akal budinya untuk beriman. Ini yang hilang di dalam banyak gereja, khususnya dalam gerakan Word of faith. Beriman, beriman dan beriman saja dengan sungguh-sungguh tanpa menggunakan akal budi sama sekali dan percaya itu pasti akan terjadi – itu sudah membuang akal budi. Ini bukan ajaran Kekristenan!
Bahaya Terbesar Menghadang Kekristenan
Dr. Charles Malik mengatakan bahwa bahaya terbesar yang menghadang kekeristenan adalah bahaya anti-intelektualisme; artinya tidak mau menggunakan ratio (pikiran) dimana akal budi ditanggalkan. Ini adalah satu bahaya besar bila menjadi orang Kristen tetapi membuang akal budi dan mengandalkan hanya iman saja.
John Stott juga mengatakan hal yang serupa yaitu roh dari anti-intelektualisme sedang tumbuh subur dimana orang dunia menjadi bibit dari pragmatisme. Perkataan pertama yang muncul dalam pikiran bukan “apakah itu benar” tetapi “apakah itu berguna”? Momok yang sama dari anti-intelektualisme muncul secara teratur dan menghantui gereja alias umat Kristen. Semua mereka ini memberikan analisa yang sama bahwa didalam kekristenan sedang menghadapi satu bahaya yang besar yaitu ratio (pikiran) “diadu” atau “dibenturkan” dengan iman.
Alkitab kalau dipahami dengan baik maka akan diperoleh bahwa iman yang benar bukan mematikan ratio (akal budi) tetapi justru akan memperbaharui akal budi, akan menuntun cara berpikir yang kembali kepada firman Allah. Pemahaman ini adalah hal yang penting menjadi dasar bagaimana memahami apa yang dikatakan Tuhan Yesus di Mat 17:20 dan Mat 21:21. Apabila akal budi dibuang ketika menafsir ayat-ayat tersebut, maka penafsiran akan menjadi kacau-balau terhadap iman sebesar biji sesawi yang memindahkan gunung.
Dalam Alkitab, Tuhan Yesus dan para rasul berulang kali menekankan pentingnya memahami firman Tuhan dengan benar saat mengikut Tuhan. Dalam perumpamaan Tuhan Yesus di Luk 14:28 Dia mengajarkan apabila seseorang mau membangun rumah, perlu menggunakan akal budi menghitung anggaran biayanya apakah cukup pendanaannya sampai selesai terbangun? Hal serupa juga dikatakan di Mat 22:37 dan 1 Kor 14:15.
Mat 22:37 Jawab Yesus kepadanya: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu”.
1 Kor 14:15 Jadi, apakah yang harus kubuat? Aku akan berdoa dengan rohku, tetapi aku akan berdoa juga dengan akal budiku; aku akan menyanyi dan memuji dengan rohku, tetapi aku akan menyanyi dan memuji juga dengan akal budiku.
Firman Tuhan mengajarkan, ketika berdoa dan memuji Tuhan, akal budi juga harus digunakan, bukan harus ditanggalkan dan hanya menggunakan roh saja. Roh dan akal budi berjalan secara bersamaan dengan harmonis. Jangan membenturkan iman dan ratio (akal budi); orang yang beriman justru ratio (akal budi) nya harus semakin benar dalam mengenal Tuhan.
John Piper mengatakan kalimat penting dalam bukunya yang berjudul “Think” (“Berpikir”): “Jika kita mengabaikan pikiran, kita mengabaikan Alkitab; dan jika kita mengabaikan Alkitab kita mengabaikan Allah”. Ini adalah satu rentetan yang logis. Jikalau tidak mau menggunakan ratio (akal budi) dalam menafsir Alkitab, maka sesungguhnya telah mengabaikan Allah didalam hidup ini. Allah memberikan kepada manusia akal budi untuk dipakai, salah satunya untuk mengerti firman Tuhan dan untuk mengenal diri-Nya.
Kesalahan fatal yang dipraktikkan oleh sekelompok orang yang mengajarkan bahwa mulut orang percaya itu berkuasa sehingga perkataan iman yang keluar dari mulutnya itu pasti akan terjadi. Ini adalah ajaran WoFM, yang mengajarkan akal budi ditanggalkan dan hanya memakai perkataan iman karena mereka percaya perkataan yang keluar dari mulut orang percaya mengandung kuasa.
Secara esensi firman Tuhan mengajarkan: semakin beriman, akal budi akan semakin diterangi; sebaliknya bukan semakin memakai akal budi, semakin tidak beriman! Paulus dalam suratnya di Roma 12 : 2 mengatakan: “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaruan budimu, sehingga kamu dapat membedakan mana kehendak Allah: Apa yang baik, yang berkenan kepada-Nya dan sempurna”. “Budi” dalam bahasa Yunani “nous” yang berarti pikiran, intelek, ratio, akal budi; yang berarti pengertian dalam diri seseorang yang mengaku dirinya orang beriman akan terus-menerus diperbaharui didalam dia mengenal Allah dan firman-Nya.
Pemahaman ini mestinya menjadi landasan/fondasi dalam memahami perkataan Tuhan Yesus yang sulit (Mat 21:19-21) dimana diperlukan ratio dan akal budi. Ayat-ayat ini adalah konteks kemunculan dalam perkataan Tuhan Yesus mengenai “iman sebesar biji sesawi”. Sesungguhnya tidak mudah memaknai perkataan Tuhan Yesus ini dan ada beberapa penafsiran yang mencoba menafsirkan perkataan Tuhan Yesus seperti berikut ini:
- Tafsiran alegori yaitu cara menafsir dengan merohanikan segala sesuatu yang dikatakan dalam Alkitab. Misalnya penafsiran alegori dari ayat ini di dalam pandangan orang Yahudi, gunung itu melambangkan sesuatu yang kuat dan tidak bisa digerakkan; itulah masalah yang menghadang kita. “Gunung” dalam ayat ini dihubungkan dengan Zak 4:7 “kita dapat memindahkan gunung ini, yaitu gunung masalah ini dengan percaya kepada Allah”.
“Masalah” di sini mewakili semua problem; baik problem rohani seperti dosa, problem psikis yaitu ketidak percayaan, keragu – raguan; intinya semua yang bisa menghalangi kita dengan Tuhan termasuk problem jasmani seperti kesehatan, finansial, dan lain-lain. Dengan hanya beriman kepada Tuhan, baru bisa menyingkirkan gunung masalah ini dari hidup kita.
Tafsiran alegori ini adalah yang paling mudah, apapun yang muncul dalam Alkitab bisa dirohanikan, tidak perlu memakai akal budi dalam menafsir. Tafsiran semacam ini seringkali tidak dapat dipertanggungjawabkan, maka para bapa reformator sangat menolak tafsiran alegori yang “ngetren” di abad pertengahan.
- Tafsiran eskatologi adalah tafsiran dengan menghubungkannya dengan akhir zaman. “Gunung” disini seringkali dihubungkan dengan Zak 14:4 yang kelihatannya parallel dengan gunung di Mat 21:19-21. Didalam bagian ini Tuhan Yesus sedang berbicara tentang akhir zaman. Tuhan Yesus sedang mengutip Zak 14:4 yang berbicara tentang kedatangan-Nya yang kedua kali. Mereka yang menafsirkan seperti ini, kata “gunung” di Mat 21:21 dikaitkan dengan bukit Zaitun didalam Zak 14:4. Dikatakan kedatangan Tuhan Yesus lebih cepat dari yang di pikirkan. Tafsiran ini terlalu jauh menghubungkan perkataan Tuhan Yesus dengan akhir zaman. Khotbah Tuhan Yesus tentang akhir zaman ada di Mat 24 yang cukup panjang, sedangkan didalam Mat 21 ini Tuhan Yesus tidak sedang mengajarkan murid-murid-Nya jika mereka memiliki iman sebesar biji sesawi maka kedatangan Tuhan kedua kali akan lebih cepat dari yang dipikirkan. Ketika Tuhan Yesus berkata tentang iman dan gunung yang berpindah itu tidak ada korelasinya dengan eskatologi yaitu kedatangan-Nya yang kedua kali.
- Tafsiran simbolik mirip dengan alegori tapi sedikit berbeda. “Gunung” adalah simbol tahta Allah (Mzm 30;7 ; Yes 2:2, 41:15 ; Yer 51:25 ; Dan 2:35, 44 ; Why 8:8, 16:20, 17:9), sedangkan “laut” adalah simbol bangsa non Yahudi (Ul 33:19 ; Mzm 72:8, 114:3, 5 ; Yes 11:11, 60:5). Ayat-ayat yang mengatakan gunung itu pindah ke laut, ditafsirkan Tuhan Yesus menghancurkan kerajaan-kerajaan bangsa non Yahudi. Kelihatannya tafsiran ini juga terlalu jauh dari konteks. Tuhan Yesus tidak berbicara “gunung” ini simbol tahta Allah, “laut” simbol bangsa non Yahudi, dimana gunung dicampakkan ke dalam laut yang menyimbolkan Dia menghancurkan bangsa non Yahudi sebelum kedatangannya kedua kali. Tafsiran simbolik ini jauh dari konteksnya.
- Teguran dengan bahasa hiperbola, artinya ayat ini berbicara mengenai teguran dari Tuhan Yesus yang “dibungkus” dengan gaya bahasa hiperbola (arti literal: “berlebih-lebihan” / “dibesar-besarkan”). Salah satu prinsip paling dasar dari hermeneutika adalah memperhatikan konteks terdekat dari sebuah ayat. Ayat tersebut muncul dalam konteks apa yang harus di prioritaskan dan jangan melompat jauh dengan menghubungkan ke eskalotogi atau bahkan alegori karena ini akan menghilangkan makna yang sebenarnya. Perkataan Tuhan Yesus ini sebenarnya adalah satu gaya bahasa hiperbola yang menggambarkan sebuah mukjizat memindahkan gunung. Bukan dimaksudkan Tuhan Yesus tidak berkuasa memindahkan gunung, tentu Tuhan Yesus berkuasa melakukan itu. Akan tetapi didalam ayat itu, Tuhan Yesus bukan pertama kali menggunakan gaya bahasa hiperbola tetapi sudah sering Dia lakukan. Salah satu contoh lain gaya bahasa hiperbola yang dikatakan Tuhan Yesus di Luk 14:26.
Luk 14:26 “Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku”.
Apakah benar Tuhan Yesus di Luk 14:26 mengajari murid-murid-Nya untuk membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anak-nya, sanak saudaranya? Tentu tidak, bukan itu yang sebenarnya dimaksudkan Tuhan Yesus. Ini adalah sesuatu yang sangat natural Tuhan Yesus menegur murid-murid-Nya dengan gaya bahasa hiperbola. Begitu pula dengan Mat 5:29-30, Mat 18:8-9 dimana Tuhan Yesus memakai gaya bahasa hiperbola mengenai mencungkil mata dan memenggal tangan apabila ada anggota tubuh ini yang menyesatkan. Ada banyak perkataan Tuhan Yesus lainnya yang menggunakan gaya bahasa hiperbola didalam Alkitab.
Kembali kepada Mat 17:20 dimana konteksnya para murid gagal mengusir setan, kemudian Tuhan Yesus menegur kembali dengan perkataan yang sama seperti Dia berkata di Mat 21:21. Kedua ayat ini tidak lebih dari teguran Tuhan Yesus kepada murid-murid-Nya; dengan kata lain didalam ayat ini Tuhan Yesus tidak sedang mengajarkan perkataan iman seperti yang diajarkan oleh WoFM. WoFM mengajarkan ayat ini bahwa Tuhan Yesus berkata dengan iman sebesar biji sesawi saja bisa memindahkan gunung, apalagi mempunyai iman yang lebih besar lagi.
Tafsiran yang bertanggung jawab atas kedua ayat ini adalah, ini semua terjadi didalam konteks teguran Tuhan Yesus kepada murid-murid-Nya. Didalam konteks ayat ini, Tuhan Yesus bukan memerintahkan bahwa para murid harus punya iman yang besar; ini bukan masalah iman yang besar atau iman yang kecil tetapi sebuah teguran kepada murid-murid-Nya karena ada sesuatu yang tidak beres dengan iman mereka.
Pertanyaannya apa problem yang dihadapi para murid ini sehingga ditegur oleh Tuhan Yesus berulang kali dengan kalimat yang sama? Kalau diperhatikan kedua konteks dalam dua ayat itu; mengusir setan dan pohon ara yang dikutuk, akan nampak jelas para murid ini meragukan kuasa Tuhan Yesus. Kalau para murid ini benar-benar sudah mengenal siapa Tuhan Yesus itu, mereka tidak perlu heran waktu Tuhan Yesus mengutuk pohon ara dan pohon ara itu mati menjadi kering seketika karena Yesus itu Allah dan Dia berkuasa. Ini menunjukkan ada sesuatu yang tidak benar dengan iman mereka, dimana mereka tidak benar-benar mengenal siapa Guru mereka ini. Maka didalam Mrk 11:22 ayat parallel dari pohon ara, Tuhan Yesus menjawab dengan satu kalimat: “Percayalah kepada Allah”. Lalu di ayat berikutnya Tuhan Yesus baru berkata tentang iman sebesar biji sesawi. Perkataan Tuhan Yesus mengindikasikan bahwa para murid-Nya tidak percaya kepada kuasa Allah. Dalam konteks ini para murid meragukan kuasa dari Tuhan Yesus.
Didalam perkataan Tuhan Yesus yang sulit ini, sebenarnya yang ingin Dia sampaikan kepada murid-murid-Nya adalah yang diperlukan bukan iman yang besar (karena iman yang kecil saja sudah cukup); yang sebenarnya mereka perlukan adalah iman yang benar atau iman yang sejati, yaitu iman yang muncul dari satu hal yang dalam; percaya secara pribadi dan mengharapkan Allah untuk bekerja. Hal yang ingin diajarkan oleh Tuhan Yesus bukan memberikan perintah atau sugesti kepada para murid seperti yang dilakukan oleh WoFM bahwa mereka orang-orang yang hebat, tetapi ini justru sebuah teguran untuk mengingatkan mereka tidak bisa mengusir setan karena mereka tidak bersandar dan tidak percaya kepada kuasa Allah didalam pelayanan mereka. Intinya adalah bukan iman besar atau kecil yang mereka miliki tetapi kepada siapa mereka percayakan iman mereka karena iman adalah pemberian Allah dan yang melakukannya adalah Allah sendiri seturut dengan kehendak-Nya.
Point penting pertama yang harus diperhatikan bahwa fokus perikop ini adalah pada kuasa Tuhan Yesus bukan kepada iman para murid. Terlalu banyak ajaran selama ini yang menekankan iman para murid dengan salah menafsirkan ayat-ayat tersebut bahwa Yesus menuntut iman mereka yang berkuasa. Kalau ini perintah, benar harus dikejar iman tersebut tetapi ayat ini adalah sebuah teguran atas iman para murid yang bermasalah.
Kedua, dalam seluruh perikop ini, sepanjang Alkitab Allah tidak pernah menuntut hamba-Nya untuk menjadi manusia hebat atau sakti yang memanifestasikan hal-hal yang spektakuler. Iman yang benar adalah suatu kebergantungan mutlak kepada kuasa Kristus didalam hidup kita – inilah yang dituntut oleh Tuhan Yesus kepada murid-murid-Nya.
Dengan demikian, apa sebenarnya yang disebut iman yang sejati? Roma 10:9-10, 17 ( 9 ) Sebab jika kamu mengaku dengan mulutmu, bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dalam hatimu, bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan. ( 10 ) Karena dengan hati orang percaya dan dibenarkan, dan dengan mulut orang mengaku dan diselamatkan. ( 17 ) Jadi, iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus.
Dari 3 ayat ini, iman yang sejati itu memiliki 3 aspek (unsur): Pertama dari iman adalah notitia. Istilah Latin ini merujuk kepada pengetahuan, merujuk aspek cognitive dalam hidup manusia. Manusia beriman bukan kepada sesuatu yang manusia tidak tahu, sebaliknya manusia beriman juga bukan kepada sesuatu yang manusia tahu tapi keliru. Aspek notitia itu berarti kita berkata seperti Paulus “aku tahu kepada siapa aku percaya”.
Jadi pengetahuan itu bagian dari iman. Jangan di balik, saya punya pengetahuan maka pasti menghasilkan iman – tidak. Yang dimaksud adalah iman mengandung pengetahuan. Kalau kita tidak tahu Allah yang benar, kalau kita tidak tahu betapa menjijiknya dosa, kalau kita tidak tahu siapa Juruselamat, bagaimana kita bisa memiliki iman yang sesungguhnya? Maka tadi di Roma 10:17 dikatakan: “iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Allah”. Kalau tidak ada kebenaran yang disampaikan, kalau kita tidak tahu apa itu kebenaran, bagaimana kebenaran itu bisa membebaskan kita? Bagaimana kebenaran itu bisa membawa pengaruh, yang membawa perubahan didalam hidup kita. Jadi aspek pertama dari iman adalah pengetahuan. Kita tahu sesuatu dan sesuatu itu adalah benar. Itu aspek dari iman: notitia.
Kedua dari iman disebut ascensus. Ascencus merujuk kepada perasaan manusia, merujuk kepada aspek-aspek emosi manusia. Ketika manusia beriman kepada Allah, manusia bukan cuma memberikan persetujuan intelek. Banyak orang berpikir bahwa iman itu persetujuan intelek – itu tidak sepenuhnya benar! Kita setuju Yesus bangkit dari kematian, benar Yesus mati untuk manusia – itu memang penting, tapi itu hanya bagian dari notitia.
Ada bagian lain dari iman yaitu bagian ascensus; bagaimana perasaan manusia yang diberikan kepada Allah. Sebagaimana perasaan manusia dahulu telah menjadi tumpul oleh karena dosa. Sama seperti dahulu emosi-emosi dalam hidup manusia, dipakai untuk hal-hal yang tidak kudus, sekarang manusia arahkan kepada Kristus, itu adalah ascensus. Jadi ascensus, bukan hanya masalah manusia tahu tetapi manusia juga percaya. Dalam hati manusia, percaya ada sesuatu yang terjadi dalam hati manusia.
Ketiga dari iman adalah yang disebut fiducia. Fiducia dari akar kata fide (iman = trust) berarti bukan cuma percaya, tetapi mempercayakan diri. Jadi iman itu penting, manusia percaya pada apa yang manusia tahu, itu juga penting; tetapi iman juga berbicara tentang manusia mempercayakan dirinya kepada Allah. Jadi bukan hanya sekedar percaya kepada Allah tetapi mempercayakan diri kepada Allah – ini dua hal yang berbeda.
Apa artinya mempercayakan diri? Mempercayakan diri berarti bahwa iman bukan hanya sebuah titik tetapi adalah sebuah garis yang panjang yang awalnya adalah Allah, dan yang ujungnya juga adalah Allah. Pada saat manusia pertama kali percaya, manusia yakin sudah diselamatkan. Setiap manusia yakin pada saat percaya kepada Yesus, menyerahkan diri kepada Dia, pasti diselamatkan. Tetapi iman tidak berhenti di sana. Iman itu sebuah kontinuitas. Maka dari itu Yakobus mengatakan iman tanpa perbuatan adalah iman yang kosong (palsu), karena iman yang sejati pasti akan menghasilkan buah pertobatan (perbuatan baik); tetapi jangan dibalik karena perbuatan baik tidak membuat orang selamat.
Iman bukan hanya masalah tahu sesuatu itu benar – itu notitia; iman bukan hanya masalah percaya sesuatu terjadi perubahan dalam perasaan dan emosi – itu ascensus; tetapi iman juga tentang fiducia yaitu bagaimana mempercayakan diri seutuhnya kepada Allah, menyandarkan diri seutuhnya kepada Allah. Ketiga unsur ini disebut iman yang sejati. Ketiga unsur ini bisa dimiliki oleh anak-anak Tuhan bukan karena kemampuan tapi Allahlah yang menganugerahkan.
Ada orang yang mungkin tahu tentang Allah, ada orang yang mungkin percaya pada kebenaran tetapi belum tentu mempercayakan diri kepada kebenaran. Contohnya iblis saja ternyata kenal Tuhan Yesus. Mrk 5:6-7 orang yang kerasukan roh jahat memanggil Tuhan Yesus dengan sebutan “Yesus, Anak Allah Yang Mahatinggi”.
Pada peristiwa lain, ada seorang yang kerasukan roh jahat juga di Mrk 1:23-26 dimana orang kerasukan roh jahat itu memanggil Tuhan Yesus dengan sebutan “Yesus orang Nazaret” dan kenal Yesus sebagai “Yang Kudus dari Allah”.
Alkitab berulang kali menunjukkan ternyata iblis mengenal siapa Yesus. Iblis mengenal Yesus adalah Anak Allah dan Dia maha kudus, Dia dari tempat yang maha tinggi. Pertanyaannya, darimana iblis mengenal Yesus? Bagaimana iblis bisa mengenal siapa Yesus? Iblis sebelum jatuh dalam dosa adalah malaikat yang menyertai Allah. Darimana asalnya Iblis? Kitab Yud 1:6 mengatakan ada malaikat-malaikat yang tidak taat kepada Allah. Iblis adalah malaikat yang memberontak kepada Allah lalu dibuang oleh Allah menjadi iblis. Dalam Why 4:12 bapa gereja Agustinus menafsirkan ekor si naga itu menyeret 1/3 bintang. Iblis menyeret antek-antek dan anak buahnya yaitu roh jahat. Agustinus menafsirkan Why 4:12 ekor si naga itu menyeret 1/3 bintang dilangit berarti dia membawa 1/3 dari jumlah malaikat di surga untuk mengikuti iblis.
Oleh karena itu jangan heran kalau iblis mengenal Yesus. Sebab iblis (dahulunya malaikat) sebelum jatuh ke dalam dosa bekerja (melayani) pribadi Anak (Yesus Kristus) di dalam kekekalan di surga. Maka setiap kali iblis bertemu dengan Tuhan Yesus, selalu dia menyapa “aku tahu siapa Kamu, hai Yesus Anak Allah yang maha tinggi”.
Iblis bisa tahu nama Tuhan Yesus, Iblis bisa tahu gelar Tuhan Yesus “Anak Allah yang maha tinggi”, dan berbagai gelar lainnya. Dari sisi pengetahuan tentang gelar Tuhan Yesus, iblis juaranya; dia hafal. Manusia diingatkan hal penting dalam bagian ini, meskipun iblis bisa kenal dan sebut nama Tuhan Yesus, bisa sebut berbagai gelar Tuhan Yesus dengan utuh tapi dia tidak pernah beriman kepada Tuhan Yesus.
Banyak orang bisa sebut nama Tuhan Yesus; banyak orang bisa tahu Yesus Anak Allah, Yesus Anak Manusia, Yesus dari tempat yang maha tinggi; tapi sebenarnya tidak sungguh-sungguh beriman kepada Tuhan Yesus. Ini yang disebut dengan iman yang palsu. Maka dari itu Roma 10:9-10 mengatakan keselamatan itu karena manusia mengaku dengan mulut dan percaya dalam hati, bukan cuma dalam hati tetapi ada wujudnya di luar, bukan cuma ada wujudnya di luar tetapi juga menyangkut masalah hati kita.
Sebagai rangkuman, iman yang benar mengandung unsur pertama mengenai pemahaman yang disebut notitia yaitu apa yang diketahui tentang Tuhan Yesus secara cognitive (pengertian dalam pikiran); unsur kedua yang disebut ascensus apa yang kita percayai, sesuatu yang terjadi dalam perasaan kita, menyetujui, mau mempersembahkan dan mengundang Dia dalam hidup kita; dan unsur ketiga menyangkut aspek fiducia, bukan cuma percaya tapi kita mempercayakan diri kepada Tuhan, kita menyandarkan diri kita kepada Dia – itu adalah iman yang sejati.
Iman sejati harus ada 3 unsur (notitia, ascensus, fiducia) didalamnya; hilang satu, itu adalah iman yang palsu. Kalau hanya sebatas memiliki notitia, tahu siapa Yesus, hafal gelar-gelar Yesus tetapi tidak punya iman yaitu tidak memiliki ascensus, tidak mau mengundang Yesus ke dalam hatinya; dan tidak ada fiducia, tidak mau menyerahkan dirinya kepada Yesus – maka ini iman yang palsu, bahkan bukan iman sama sekali.
Sudahkah engkau memiliki iman yang sejati kepada Tuhan Yesus dalam hidupmu? Siapa Yesus yang engkau kenal dalam hidupmu? Apakah engkau hanya mengenal Yesus sebagai penyembuh? Apakah engkau hanya mengenal Yesus sebagai penolong, sebagai pemberi berkat? Kalau engkau tidak memiliki 3 unsur penting ini dalam dirimu tentang iman, engkau belum memiliki iman yang sejati dihadapan Tuhan. Semua hanya karena anugerah Tuhan yang bisa membuat kita memiliki iman yang sejati. – Soli Deo Gloria –