JAKARTA – Ada pertanyaan mengenai seseorang yang sudah percaya Tuhan Yesus, apa yang harus ia lakukan? Bagaimana sebagai seorang percaya, ia dapat menghidupi apa yang dipercayainya? Apa tujuan utama manusia sebagai orang percaya kepada Kristus?
Tujuan utamanya adalah memuliakan Allah dan menikmati-Nya seumur hidupnya. Artinya, tujuan dan kebutuhan tertinggi sebagai pengikut Kristus adalah hidup untuk kemuliaaan Allah dan menemukan sukacita di dalam-Nya.
Segala hal yang lain seperti ketaatan, pertumbuhan iman, ibadah, perbuatan baik, dan kehidupan sehari-hari, itu akan mengalir dari panggilan utama ini, yang akan bertumbuh dengan seiring waktu. Intinya, seorang yang mengaku dirinya Kristen, hidupnya ditandai dengan hidup yang berbuah (Yoh 15:1-8). Akan tetapi hidup yang berbuah, tanpa beriman kepada Kristus, itu mungkin berarti bagi sesama manusia tapi tidak dihadapan Allah.
Yang dikehendaki Allah adalah percaya kepada-Nya dan melakukan pekerjaan baik. Pekerjaan baik adalah buah atau hasil dari setelah beriman kepada Tuhan Yesus Kristus. Inilah yang dikatakan Paulus setelah menerima keselamatan dari Allah, sebagai orang-orang pilihan-Nya yang diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan perbuatan baik (Ef 2:8-10) – itulah buah yang dihasilkan dari pertobatan yang sejati. Ini selaras dengan dengan apa yang dikatakan Paulus di Flp 2:12-13, untuk mengerjakan keselamatan yang Allah berikan dengan takut dan gentar. Artinya dengan kesungguhan hati, karena Allah sudah terlebih dahulu bekerja dalam diri orang percaya agar dia mampu melakukannya. (Bagian ini dapat dibaca lebih lengkap di rubrik SULUH, dengan judul : Selamat oleh ( Iman ) atau ( Perbuatan ) atau ( Iman + Perbuatan ) ? yang di publish bulan April tanggal 22 Tahun 2024.
Ini adalah satu wujud tanggung jawab yang dikehendaki Allah ketika seseorang itu menjadi orang percaya, meskipun keselamatan itu bukan karena usaha manusia, tapi oleh anugerah dari Allah, iman orang percaya sejati diperlihatkan melalui perbuatannya.
Apa yang harus dilakukan setelah menjadi orang percaya? Ada beberapa hal yang Tuhan Yesus perintahkan, seperti memberitakan Injil dan menjadikan murid, dan banyak hal lainnya. Dalam Kitab Injil, ada beberapa kali orang menawarkan diri untuk mau mengikut Tuhan Yesus kemanapun Dia pergi, tanpa mereka mengerti apa arti mengikut Dia.Mat 8:18-22, ( 18 ) Ketika Yesus melihat orang banyak mengelilingi-Nya, Ia menyuruh bertolak ke seberang. ( 19 )Lalu datanglah seorang ahli Taurat dan berkata kepada-Nya: “Guru, aku akan mengikut Engkau, ke mana saja Engkau pergi.” ( 20 ) Yesus berkata kepadanya: “Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya.” ( 21 ) Seorang lain, yaitu salah seorang murid-Nya, berkata kepada-Nya: “Tuhan, izinkanlah aku pergi dahulu menguburkan ayahku.” ( 22 ) Tetapi Yesus berkata kepadanya: “Ikutlah Aku dan biarlah orang-orang mati menguburkan orang-orang mati mereka”.
Seorang ahli Taurat menawarkan diri mau mengikut Tuhan Yesus kemanapun Dia pergi. Permintaan ahli Taurat direspon Tuhan Yesus dengan jawaban yang cukup membingungkan. Respon Tuhan Yesus: “Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya”, adalah jawaban yang kelihatannya tidak relevan dengan permintaan ahli Taurat itu. Namun, bila dipahami menurut konteks mengikut Tuhan Yesus, apa yang disampaikan-Nya adalah meskipun serigala, binatang yang sering digambarkan dengan konotasi negatif dalam Alkitab (Mat 7:15 ; Luk 10:3 ; Mat 10:15). Namun mempunyai liang atau tempat tinggal di mana serigala bisa merasa nyaman berlindung. Demikian pula burung, binatang di dalam Alkitab yang dianggap binatang yang kurang bernilai (dari sisi harga) misalnya dua ekor burung pipit bisa dibeli dengan harga seduit (Mat 10:29), begitu juga yang dipersembahkan oleh janda miskin sebesar dua peser (seduit) di peti persembahan.
Pada zaman Perjanjian Lama, orang yang mempersembahkan burung di Bait Allah adalah orang miskin. Menurut hukum Taurat, untuk semua anak laki-laki sulung yang baru lahir, orang tua yang mampu harus mempersembahkan korban di Bait Allah yaitu berupa seekor domba dan seekor burung merpati. Namun bagi orang tua tidak mampu, korban persembahannya adalah dua ekor burung tekukur atau dua ekor anak burung merpati – ini juga yang dipersembahkan oleh Yusuf dan Maria ke Bait Allah ketika Yesus lahir (Luk 2:22-24, ref. Im 12:6-8).
Meskipun burung adalah binatang yang dianggap rendah (murah), tapi Yesus katakan burung mempunyai sarang yaitu ada tempat tinggalnya yang nyaman untuk berlindung. Ini di kontraskan dengan Tuhan Yesus yang tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya. Dari pernyataan Tuhan Yesus itu, terurai pesan bahwa mengikut Dia bukanlah kondisi yang selalu mengalami kenyamanan. Intinya, Tuhan Yesus menyindir ahli Taurat ini, sebab dia tidak tahu apa yang dia minta. Mengikut Yesus, bukan sekedar ingin mendapat kenyamanan, diberkati dengan berlimpah, hidup sukses, dan lain sebagainya; yang cukup banyak ditawarkan oleh pengajar-pengajar yang tidak bertanggung jawab. Mengikut Tuhan bukan untuk kepentingan pribadi yang berpusat kepada diri sendiri, tetapi harus berpusat kepada Tuhan. Inti mengikut Yesus bukan mengharapkan hidup nyaman terus-menerus. Kalau ada orang yang mau ikut Yesus dengan motivasi seperti itu, tinggal tunggu waktunya orang itu akan kecewa, jika suatu hari nanti apa yang dia harapkan tidak di alaminya.
Perkataan seorang murid Yesus untuk mengijinkan dia pergi dulu menguburkan ayahnya, baru mengikuti-Nya ( Mat 8 : 21), jangan diartikan secara harafiah. Itu adalah satu ungkapan orang Yahudi pada masa itu untuk menunjukkan bahwa dia belum siap untuk mengikut Tuhan Yesus. William Barclay mengatakan ungkapan itu berarti ayah orang tersebut belum meninggal, dan dia ingin tetap di rumah hingga ayahnya wafat. Ini menunjukkan bahwa orang tersebut masih terikat oleh kewajiban keluarga dan belum siap untuk sepenuhnya mengikut Yesus. William Barclay menekankan bahwa Yesus menuntut kesetiaan penuh dan segera dari para pengikut-Nya. Menunda panggilan Tuhan karena alasan keluarga atau kenyamanan pribadi menunjukkan hati yang belum siap untuk pengorbanan sejati dalam mengikut Tuhan. Ini menjawab arti dari respon Tuhan Yesus kepada permintaan salah seorang murid-Nya (Mat 8 : 22). Dalam bagian ini, Tuhan Yesus tidak mengajarkan untuk mengabaikan tanggung jawab keluarga, tetapi Dia menegaskan bahwa Kerajaan Allah harus menjadi prioritas utama bagi para pengikut-Nya.
Umat Jangan “Tertipu” dengan Ajaran Palsu
Tidak sedikit orang yang hari-hari ini tertipu dengan ajaran mengikut Tuhan Yesus pasti kaya – itu bukan ajaran Tuhan Yesus. Apa yang mereka ajarkan adalah memakai Tuhan Yesus sebagai “alat” untuk memuaskan keinginan diri sendiri, bukan sebaliknya menuruti keinginan Tuhan, yang jelas berlawanan dengan ajaran Tuhan.
Mat 7:13-14 ( 13 ) Masuklah melalui pintu yang sesak itu, karena lebarlah pintu dan luaslah jalan yang menuju kepada kebinasaan, dan banyak orang yang masuk melaluinya; ( 14 ) karena sesaklah pintu dan sempitlah jalan yang menuju kepada kehidupan, dan sedikit orang yang mendapatinya.”
Tuhan tidak pernah menjanjikan ikut Dia akan hidup selalu lancar seperti di jalan tol, tapi ada kalanya bisa mengalami hambatan yaitu masalah, kesulitan, persoalan yang akan dihadapi. Inilah yang membuat banyak orang pada umumnya tidak tertarik mengikut Tuhan kalau banyak kesulitan yang akan dihadapi.
Kebanyakan orang tertarik mengikuti Tuhan Yesus karena tawaran mendapat kenyamanan dalam mengikut Tuhan, itu bukanlah ajaran Alkitab. Mengikut Tuhan bukan mengatur Tuhan untuk menuruti kehendak kita tapi sebaliknya, Tuhan yang mengatur kita untuk menuruti-Nya. Sebagai pengikut Kristus, sejatinya kita tetap mau ikut Tuhan walaupun kita tahu ada banyak tantangan, tapi ada janji Tuhan akan kehidupan kekal bersama-Nya.
Ada satu hal dalam mengikut Tuhan yang akan dialami oleh anak-anak Tuhan sepanjang hidupnya, yang dicatat dalam tiga Injil sinoptik tentang syarat-syarat mengikut Yesus (Mat 16:21-28 ; Mrk 8:31 – 9:1 ; Luk 9:22-27).
Luk 9:22-24 ( 22 ) Dan Yesus berkata: “Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga.” ( 23 ) Kata-Nya kepada mereka semua: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku. ( 24 ) Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan menyelamatkannya.
Injil Lukas mencatat perkataan Tuhan Yesus bahwa jika seseorang mau mengikut Dia, orang itu harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari, yang berarti terus-menerus sepanjang hidupnya. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan “sangkal diri” dan “pikul salib”? Satu pertanyaan yang mestinya setiap anak Tuhan bertanya kepada dirinya sendiri kenapa Tuhan Yesus memberikan perintah yang harus dilakukan sepanjang hidup ini? Ini tentunya sesuatu yang penting untuk diketahui dengan benar.
Pandangan umum orang tentang “menyangkal diri” adalah tidak melakukan sesuatu yang berlawanan dengan firman Tuhan. Pengertian ini tidak salah tetapi terlalu normatif, karena tidak menjelaskan esensinya menyangkal diri.
Arti “sangkal diri”: Makna kebalikan dari “sangkal diri” – Keinginan akan segala sesuatu untuk kepentingan diri sendiri, yaitu untuk memuaskan nafsu dirinya. Intinya segala keinginan yang berpusat kepada kepentingan diri sendiri; itu adalah antonim (lawan kata) dari “menyangkal diri”.
Kalau ini yang terjadi, keinginan-keinginan untuk memuaskan kepentingan diri sendiri, itu menjadi berhala dalam diri kita. Secara umum “berhala” dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang kita ingini/kasihi/sembah, lebih daripada Tuhan.
Arti berhala dalam bagian ini adalah tidak berpusat kepada Tuhan, tetapi sebaliknya berpusat kepada diri sendiri. Berhala dan Tuhan itu saling berlawanan arah. Bukankah ini sering dialami oleh banyak orang, termasuk anak-anak Tuhan? Kita boleh mengatakan kita cinta Tuhan tapi faktanya ketika berdoa, isi doa kita nyaris semua untuk kepentingan diri sendiri. Tidak dapat disangkali, ini adalah natur manusia yang memang masih ditarik oleh dosa.
Allah menciptakan manusia dengan sangat unik menurut peta dan teladan-Nya, berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya. Jika kita melihat manusia, yang kita lihat hanya tampak luarnya saja, tetapi sesungguhnya di dalam diri manusia ada hal-hal yang tidak terlihat.
Sudut Pandang Psikologi
Sigmund Freud memperkenalkan satu teori psikoanalisis yang menjelaskan mengenai kepribadian/sifat dan kelakuan manusia. Dari sudut pandang psikologi yaitu berdasarkan teori psikoanalisis, Sigmund Freud menyebutnya dengan istilah ID, EGO dan SUPEREGO.
ID = primal instinct = insting/naluri utama = dorongan hati yaitu keinginan, yang berhubungan dengan kenikmatan diri.Sedangkan, EGO = bagian rasional (akal budi/pikiran) manusia, yang menjadi penghubung antara ID (drive/dorongan hati/keinginan) dan realitas (kenyataan) di dalam mengambil sebuah keputusan. Lalu, SUPEREGO = hati nurani yang terbentuk dari norma-norma/nilai-nilai sosial. Norma-norma atau nilai-nilai moral yang ada dalam diri manusia ini yang membedakan tentang norma-norma umum yang baik dan yang tidak baik. Semakin banyak seseorang belajar, semakin banyak nilai-nilai yang dia ketahui.
EGO dalam diri manusia yang akan membuat keputusan itu “berperang” dengan ID (drive – dorongan/keinginan yang kuat) dalam diri manusia dengan SUPEREGO (nilai-nilai moral yang dia ketahui). Artinya EGO (keputusan yang akan diambil) itu ada di antara dua kubu yang saling berseberangan / bertentangan yaitu ID (keinginan) dan SUPEREGO (nilai-nilai moral).
Di satu sisi dalam diri manusia ada satu keinginan/dorongan yang kuat akan sesuatu hal, tapi hal itu bertentangan dengan nilai-nilai moral yang dia ketahui dan dia harus membuat sebuah keputusan. Apakah keputusan orang itu akan mengikuti keinginannya atau tidak karena bertentangan dengan nilai-nilai moral yang dia ketahui? Pemahaman ini ditinjau dari sudut pandang psikologi. Lalu, bagaimana menurut sudut pandang filsafat?
Sudut Pandang Filsafat
Para filsuf Yunani yang hidup sekitar tiga ratus tahun sebelum Tuhan Yesus ada di dunia, mereka berpandangan bahwa dalam jiwa manusia itu ada kehendak, di mana kehendak ini bisa dikendalikan oleh akal budi/pikiran atau juga dari hawa nafsu dalam dirinya.
Akal budi dan hawa nafsu dalam diri manusia adalah dua hal yang saling berlawanan, di mana akal budi seharusnya menjadi pedoman dalam membuat keputusan. Artinya keputusan yang diambil seharusnya dikendalikan oleh pikiran/akal budinya. Tetapi hal tersebut tidak selalu terjadi, karena ada kalanya hawa nafsu dalam diri manusia itu yang mengendalikan dirinya sehingga keputusan yang diambil bukan berdasarkan akal budinya tetapi menuruti hawa nafsunya.
Dengan demikian, menurut pandangan filsafat Yunani, kehendak manusia dalam membuat keputusan itu saling tarik menarik antara akal budi dan nafsunya yang berseberangan. Tarik menarik antara hawa nafsu dan akal budi manusia inilah, yang membuat kehendak dirinya “berperang” dalam membuat keputusan, apakah berdasarkan akal budinya atau hawa nafsunya? Kadangkala akal budi menang, tapi ada kalanya digoda oleh hawa nafsu yang begitu kuat dan akhirnya menuruti hawa nafsu, meskipun dirinya sadar bahwa akal budi seharusnya sebagai penentunya. Ini adalah pandangan dari para filsuf Yunani.
Tidak dapat dipungkiri, kita pernah, kalau tidak mau dikatakan sering mengalami situasi seperti yang dijelaskan di atas. Kedua teori, baik menurut pendekatan psikologi maupun filsafat, meskipun ada kebenarannya tetapi mengandung kelemahan. Ada sesuatu hal esensial yang tidak dapat dijelaskan dari kedua konsep ini, mengapa kadang hal yang buruk yang tidak dikehendaki, justru itu yang dilakukan? Sigmund Freud adalah seorang ateis, tentunya dia tidak percaya adanya dosa asal. Sedangkan para filsuf Yunani ini memiliki konsep “Tuhan” yang berbeda dengan Kristen, meskipun mereka percaya bahwa manusia memiliki kondisi “jatuh” tapi tidak sama dengan apa yang dipercayai oleh orang Kristen tentang dosa asal. Kondisi “jatuh” dalam pemikiran filsafat Yunani, manusia harus berjuang untuk kembali kepada kebijaksanaan dan kebaikan. Namun dalam pemikiran para filsuf, jalan kembali bukan melalui penebusan, melainkan melalui filsafat dan pencarian kebenaran.
Pemikiran menurut psikologi dan filsafat tidak sama dengan apa yang dipercayai oleh orang Kristen sesuai apa yang dikatakan dalam Kitab Suci. Apa yang Alkitab katakan waktu manusia jatuh dalam dosa? Dosa menyebabkan kehendak dan akal budi manusia itu sudah rusak alias dicemari oleh dosa di dalam banyak aspek. Artinya tidak dapat datang kepada Allah atas kehendak diri sendiri. Kehendak sudah terbelenggu oleh dosa (Rm 3:10-12, 23).
Sebelum masuk kepada apa yang dikatakan oleh Alkitab mengenai bagian ini yaitu kehendak, pikiran (akal budi) dan keputusan yang diambil, perlunya mengetahui dengan tepat apa yang dimaksud “dibenarkan oleh Allah”? Tanpa mengerti hal ini dengan benar, tentunya akan sulit memahami apa yang dikatakan Paulus dalam salah satu suratnya tentang hal ini yaitu di kitab Roma. Mari simak penjelasan tentang arti “dibenarkan” dengan kutipan beberapa ayat di bawah ini.
Rm 10:9-10 ( 9 ) Sebab jika kamu mengaku dengan mulutmu, bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dalam hatimu, bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan. ( 10 ) Karena dengan hati orang percaya dan dibenarkan, dan dengan mulut orang mengaku dan diselamatkan. ( Rm 3:28 ) Karena kami yakin, bahwa manusia dibenarkan karena iman, dan bukan karena ia melakukan hukum Taurat ( Rm 1:17 ) Sebab di dalamnya nyata kebenaran Allah, yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman, seperti ada tertulis: “Orang benar akan hidup oleh iman.”
Secara singkat, “dibenarkan” (justification) berarti dipandang benar, dianggap benar, diperhitungkan menjadi orang benar, ketika seseorang mengaku dan percaya kepada Yesus Kristus adalah Tuhan, yang telah mati dan bangkit untuk menebus dosa-dosanya. Kita dibenarkan Allah satu kali dan untuk selamanya. Dibenarkan Allah adalah pekerjaan Allah sepenuhnya di dalam kedaulatan-Nya, tanpa ada unsur usaha atau andil manusia sedikitpun di dalamnya.
Untuk lebih memahami hal ini, perlu melihat kondisi Adam dan Hawa sebelum jatuh dalam dosa, kemudian keberadaannya ketika jatuh dalam dosa, dan apa yang terjadi kepada semua keturunan Adam ketika percaya dan mengaku Yesus Kristus adalah Tuhan.
Mari simak penjelasan tentang arti “dibenarkan”, dimulai dari awal penciptaan Adam dan Hawa.
- Adam dan Hawa diciptakan tidak berdosa tapi bisa jatuh dalam dosa (posse pecare). Keberadaan (natur) Adam dan Hawa tidak berdosa dan tidak berdosa juga secara Status dihadapan (dipandangan) Allah.
- Waktu Adam dan Hawa jatuh dalam dosa – Natur nya menjadi berdosa dan secara status juga berdosa di pandangan Allah (non posse non pecare), yaitu satu kondisi dimana Adam dan Hawa tidak mungkin tidak berdosa.
- Karena semua manusia keturunan Adam mewarisi dosa Adam (dosa asal), tetapi ketika kita percaya dalam hati dan mengaku Yesus Kristus adalah Tuhan, kita dibenarkan Allah – Status kita dihadapan (dipandangan) Tuhan menjadi tidak berdosa. Artinya seketika itu juga Allah memandang kita orang benar (orang tidak berdosa) karena kebenaran Kristus di imputasikan (diperhitungkan) kepada kita sebagai kebenaran (Rm 3:28 ; Rm 5:1 ; Gal 2:16 ; Rm 4:5 ; dll). Akan tetapi secara natur, kita masih orang berdosa. Artinya kita tidak diubahkan seketika menjadi tidak berdosa secara natur, tetapi diubahkan secara progresif (bertumbuh dari hari ke sehari), yaitu melalui proses pengudusan (sanctification). Dosa yang masih menempel dalam diri manusia, akan dibersihkan melalui proses pengudusan dari pencemaran dan kerusakan diri akibat dosa, yang dikerjakan oleh Roh Kudus, selama hidup kita di dunia.
Sebuah analogi meski terbatas, misalnya ada seorang pemuda mendaftarkan diri untuk masuk militer, namun tinggi tubuhnya hanya 162 cm atau kurang satu cm dari persyaratan yang ditetapkan yaitu 163 cm. Semua persyaratan sudah terpenuhi kecuali ukuran tinggi tubuhnya. Namun setelah dengan segala pertimbangan, akhirnya pemuda itu diterima menjadi anggota TNI dari sebelumnya hanya seorang warga sipil. Ketika dia diterima, statusnya berubah dari warga sipil menjadi anggota TNI. Namun tinggi tubuhnya tidak berubah (tetap sama 162 cm, bukan menjadi 163 cm). Dia tidak berubah secara natur, yaitu tinggi tubuhnya tetap sama, tetapi statusnya berubah setelah diangkat menjadi anggota TNI. Sebenarnya dia tidak masuk persyaratan (kriteria) yang ditetapkan, namun dia diterima dan itu bukan karena prestasi / usahanya, tapi murni karena pemberian (anugerah).
Demikian pula ketika kita percaya dalam hati dan mengaku Yesus Kristus adalah Tuhan, kita dibenarkan oleh Allah dan di angkat (diadopsi) menjadi anak-anak Allah, yang tadinya anak-anak Iblis (Yoh 1:12 ; Gal 3:26, 4:5). Kita masuk kedalam kelompok Kerajaan Allah. Itulah anugerah yang kita terima, tidak ada prestasi, jasa atau andil kita sedikitpun.
Apa yang dibenarkan oleh Allah adalah secara status (tidak dipandang Allah sebagai manusia berdosa), bukan secara natur yang masih tetap sama yaitu manusia berdosa. Ini adalah hal yang harus diketahui bahwa meskipun kita sudah dibenarkan. Artinya status kita dipandang orang tidak berdosa di hadapan Allah, tapi faktanya kita ini masih manusia berdosa (secara natur).
Secara de jure (hukum) kita sudah dibenarkan, tapi secara de facto (fakta) kita masih orang berdosa. Bapa Reformator, Martin Luther pernah mencetuskan satu ungkapan yang terkenal: “simul justus et peccator” (justified sinner), yang arti harafianya “secara bersamaan, benar dan berdosa”. Setelah dibenarkan oleh iman dalam Kristus, tetap merupakan seorang pendosa karena sifat dosanya belum sepenuhnya lenyap. Tetapi pada saat yang sama, telah dibenarkan oleh anugerah Allah melalui iman. Satu ungkapan yang paradoks namun satu kebenaran seperti yang dinyatakan di dalam Alkitab. Ini selaras dengan apa yang dikatakan oleh rasul Yohanes di 1 Yoh 1:8, 10. ( 8 ) Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita. ( 10 ) Jika kita berkata, bahwa kita tidak ada berbuat dosa, maka kita membuat Dia menjadi pendusta dan firman-Nya tidak ada di dalam kita.
Merujuk ayat 9, sebenarnya itu menerangkan proses pengudusan yang dikerjakan oleh Roh Kudus, dan Tuhan menuntut orang-orang pilihan-Nya untuk ada kemauan dan usaha untuk merespon panggilan hidup benar. 1 Yoh 1:9 Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan.
Itulah sebabnya kita sebagai orang percaya, ada Roh Kudus dalam diri kita yang terus-menerus menguduskan kita. Orang yang benar – benar percaya kepada Tuhan Yesus, mungkin bisa naik turun dalam perjalanan imannya, tapi tidak meninggalkan imannya karena telah telah menjadi orang pilihan-Nya, di mana Allah Tritunggal melindunginya (Rm 10:28-29 ; Ef 1:13-14). Mungkin saja, orang yang benar – benar percaya kepada Tuhan Yesus, bisa jatuh bangun dalam hidup kerohaniannya, namun bila di gambar secara grafik dengan garis lurus, terlihat tren garis yang menanjak. Artinya ada pertumbuhan rohaninya (imannya), sampai akhir hidup orang percaya sejati itu.
Ketika kita dibenarkan Allah, kita adalah ciptaan baru, yang lama sudah lenyap (2 Kor 5:17) – ini bukan menjadi manusia baru seperti dipahami oleh banyak orang pada umumnya. Yang dimaksud ciptaan baru adalah status kita sudah diperbaharui/diubahkan oleh Allah (dikembalikan seperti status Adam sebelum jatuh dalam dosa), hanya bedanya natur kita tidak diubahkan oleh Allah seperti naturnya Adam sebelum jatuh dalam dosa. Ini hal penting yang harus dipahami dengan benar sebelum memasuki penjelasan mengenai perkataan Paulus di kitab Roma.
Apa menurut Alkitab? Paulus pernah menuliskan hal yang mirip seperti ini dalam salah satu suratnya. Rm 7:13-26.
▪ Hukum tarik-menarik dalam diri Paulus, dan juga dalam diri kita semua (karena masih ada dosa). Selama hidup di dunia, ini menjadi perjuangan kita semua menghadapi hukum tarik menarik ini. Ada hukum dosa yang menarik, ada Roh Kudus yang terus mengingatkan kita dan menguduskan kita.
▪ Itulah pergumulan manusia lama dan manusia baru di dalam diri kita. Ketika kita menjadi orang percaya, “yang lama sudah lenyap” dan “yang baru sudah terbit”, menjadi ciptaan baru; itu berbicara mengenai “status” kita dari orang berdosa, sudah tidak dipandang berdosa lagi dihadapan Allah. Itulah “manusia lama” dan “manusia baru” kita “bertarung” karena natur berdosa masih melekat dalam diri kita.
Gal 5:17 Sebab keinginan daging berlawanan dengan keinginan Roh dan keinginan Roh berlawanan dengan keinginan daging – karena keduanya bertentangan – sehingga kamu setiap kali tidak melakukan apa yang kamu kehendaki.
Paulus juga dalam suratnya di Galatia mengatakan, keinginan roh dan keinginan daging itu saling bertentangan – saling tarik menarik. Kadang roh menang, kadang daging menang. Itu sebabnya Tuhan Yesus mengingatkan, kalau kita mau mengikut Dia dengan sungguh-sungguh, kita harus menyangkal diri kita dan memikul Salib.
Bukan hal yang mudah, tapi hidup orang percaya dipimpin oleh Roh Kudus yang senantiasa (terus-menerus) menguduskan orang-orang pilihan-Nya. Di dalam proses pengudusan inilah natur berdosa kita semakin dibersihkan melalui pekerjaan Roh Kudus, melalui firman Allah dan juga kemauan baik dan usaha yang baik dari kita untuk giat dalam hidup benar dan kudus. Allah menghendaki respon dari kita dalam proses pengudusan sebagai wujud tanggung jawab manusia. Orang percaya bisa jatuh tapi tidak akan tergeletak, seperti apa yang dikatakan dalam kitab Mazmur, ada tangan Tuhan yang menopang dan dia akan bangkit kembali (Mzm 37:23-24). Orang-orang yang sudah dibenarkan Allah akan terus bertumbuh ke arah yang baik untuk semakin serupa dengan Kristus. Meskipun selama hidupnya tidak mungkin dapat mencapai sempurna, sampai saat dia dipanggil Tuhan dan Tuhan yang sempurnakan.
Tuhan Yesus juga pernah menegur murid-murid-Nya yang di suruh berjaga-jaga satu jam saja tetapi mereka tertidur ketika menunggu Tuhan Yesus yang sedang berdoa di Taman Getsemani. Keinginan roh dan daging memang saling bertentangan seperti yang dikatakan di Mat 26:41 “……. roh memang penurut, tetapi daging lemah”.
Pengertian tentang “sangkal diri” – meninggalkan segala keinginan egois (berpusat kepada kepentingan diri sendiri – anthropocentris) dan hidup sesuai dengan kehendak Tuhan (berpusat kepada Allah – theocentris).
Paulus berkata, masih dalam kitab yang sama, Rm 14:8 Sebab jika kita hidup, kita hidup untuk Tuhan, dan jika kita mati, kita mati untuk Tuhan. Jadi baik hidup atau mati, kita adalah milik Tuhan.
Ayat eksplisit menerangkan Allah adalah pusatnya, bukan manusia. Setelah melihat penjelasan ini, sekarang kita mulai bisa mengerti kenapa Tuhan Yesus memberikan nasehat, kalau mau ikut Yesus “sangkal dirimu dan pikul salibmu”.
Kita sudah mengerti apa yang dimaksud dengan “menyangkal diri”, bagaimana dengan “memikul salib”? Apa arti “memikul salib”? Sangkal diri dan pikul salib – seperti satu mata uang koin, di mana satu sisinya “sangkal diri”, dan sisi lainnya “pikul salib”, adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
“Sangkal diri” adalah tindakannya, sedangkan “pikul salib” adalah akibatnya (hasilnya). Artinya, didalam dua gaya tarik, yang satu dorongan untuk melakukan sesuatu yang kita tahu itu hal yang bertentangan dengan firman Tuhan. Misalnya perbuatan keduniawian, yang akhirnya kita tidak jadi melakukan (mengekang diri), itulah pikul salib. Kita “sangkal diri” untuk tidak melakukan, walau ada dorongan yang kuat untuk melakukannya karena memang itu yang kita kehendaki. Sehingga perasaan yang timbul (dihasilkan) oleh keputusan yang berlawanan dengan kehendak kita itulah yang disebut “pikul salib”.
Yohanes Pembaptis juga pernah mengatakan hal serupa tentang sangkal diri, tetapi dengan istilah yang berbeda, namun sama secara esensi. Yoh 3:30 Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil.
Hal yang berpusat kepada diri kita harus semakin kecil, tetapi pusatnya harus ditujukan kepada Allah. Berpusat kepada manusia dan berpusat kepada Allah adalah dua hal yang saling bertolak belakang. Kalau pusatnya kepada manusia, akibatnya pusat kepada Allahnya semakin berkurang (kecil). Begitu sebaliknya, jika pusatnya kepada Allah semakin besar, otomatis berpusat kepada manusianya semakin kecil (berkurang). Itulah arti “menyangkal diri” yang terus menerus harus dilakukan untuk merubah dari berpusat kepada diri sendiri, kepada semakin berpusat kepada Allah.
Memang tidak mudah, itulah sebabnya Allah menguduskan kita secara progresif sehingga kita semakin hari bertumbuh ke arah yang lebih baik seperti yang Allah kehendaki. Itulah proses hidup kita sebagai orang percaya dalam mengikut Tuhan. Jangan pernah tawar hati menghadapi pergumulan hidup sebagai orang percaya, tapi percayalah Allah lebih tahu apa yang terbaik bagi orang-orang pilihan-Nya, dan Dia menyediakan apa yang dibutuhkan selama hidup di dunia ini. Soli Deo Gloria
Penulis : Harry Mandagi, adalah seorang pemerhati yang memiliki panggilan pelayanan untuk umat Kristiani di Indonesia lintas Sinode Gereja.
MITRA INDONESIA : Bagi Lembaga Gereja, Gereja Lokal, Persekutuan Doa, yang ingin kegiatannya diberitakan di media ini, dapat menghubungi lewat pesan WA : 081717178455. (Ini hanya melalui Pesan, tidak telepon)