Glenn Tumbelaka dan Heidi Awuy, saat ditemui di Plaza Indonesia.

JAKARTA – Wajah yang satu ini tentu sudah banyak yang mengenalinya. Seorang wanita yang terkenal dengan kepiawannya memainkan alat musik petik, Harpa atau Harp di berbagai event di belahan dunia ini. 

Baru – baru lalu, akhir Januari 2023 media ini “mendapati” pendiri School of Harp di Indonesia ini baru saja selesai melayani Tuhan di sebuah Gereja aliran Kharismatik, di Plaza Indonesia, pengembalan Pdt. DR. Abraham C Supit.

Dalam pertemuan itu, perempuan bernama lengkap Heidi Awuy, ditemani suaminya, Glenn Tumbelaka. “Hai, apa kabar bu, pak?” sapa wartawan tabloidmitra.com (MITRA INDONESIA). “Kabar baik,” jawab pasangan suami – istri yang selalu jalan berdua ini.

Perbincangan berlanjut di sebuah restoran walau tidak banyak waktu karena Heidi dan Glenn, sudah ditunggu oleh seseorang yang memang terjadwal untuk makan siang bersama. Sebagai bentuk penghargaannya, suami – istri ini menerima wartawan MITRA INDONESIA, yang kebetulan juga sedang bersama istri untuk jalan – jalan di Plaza Indonesia.

Pada kesempatan itu, baik Heidi dan Glenn terlibat dalam perbincangan yang seru karena menyaksikan pertolongan Tuhan baik sebelum pandemi, saat pandemi dan sekarang, termasuk apa yang membuatnya sampai bisa “terjun” dalam dunia ber khotbah (memberitakan Firman Tuhan) dari atas mimbar atau dalam sebuah ibadah. 

Lahir di Bern, Swiss – 23 Oktober 1962 ini mengaku sebelum terjun dalam dunia memberitakan firman Tuhan, ia dan Glenn memiliki kisah perjalanan mengenal dan mengerti Tuhan yang sebenarnya. 

Cerita itu, menurut putri dari  pasangan Thobias Awuy dan Paule Lavigne ini, awalnya pengenalan akan Tuhan yang mereka miliki hanyalah mengenal di luarnya saja (casing). Satu waktu semua yang mereka kerjakan tidak memberikan hasil yang baik. “Saat itu kami berada pada titik terendah. Kami memang mengenal Tuhan tapi kami sebut saja orang Kristen yang sombong. Kami tidak memiliki Tuhan sebagai Raja,”kata Heidi Awuy.

Seiring berjalannya waktu, pasangan suami istri ini diundang untuk mengisi sebuah acara. Usai acara, pasangan ini didatangi seorang hamba Tuhan ternama di Indonesia, “Heidi bagus banget main Harp nya. Bagaimana kalau keahlian musik Harp nya itu dipakai untuk lagu – lagu rohani,”kata pendeta yang namanya disebutkan oleh Glenn, ternyata sekarang sudah almarhum.

“Waktu itu saya bertanya dalam hati, apa maksudnya lagu rohani? saya tidak ada ide, zonk banget. Ini pendeta tidak mengerti klasik, kali ya?” ceritera Glenn dalam perbincangan dengan media ini.

Pulang dari acara itu, kata – kata hamba Tuhan it uterus mengiang dalam benak pikiran Glenn dan Heidi. Mulai muncul kerinduan pasangan suami istri ini untuk mencari tahu apa perbedaan lagu rohani dan klasik. 

BACA JUGA  Pdt. Jason Balompapueng Dilaporkan Kepada GBI Telah Melakukan Perbuatan Tercela

Satu waktu ada lomba yang akan diikuti salah satu muridnya di School of Harp di Indonesia yang didirikannya meminta untuk dilatihnya mengiringi lagu “Bapa Engkau Sungguh Baik” ciptaan Jeffry S Tjandra dengan alat musik Harp. 

“Di situ titik baliknya, anak murid itu meminjamkan kaset dan kami mendengarkan lagu itu setiap kali untuk latihan. Bersamaan dengan itu, setiap kali lagu itu kami dengar, hati kami luluh, hati kami tersentuh,” Kata Glenn yang di iyakan Heidi.

Hasil dari lomba yang diikuti anak didiknya, menang. Tapi saat itu juga kaset (album) lagu rohani Jeffry S Tjandra itu di bawah kembali oleh muridnya. “DI situlah kami paham kekosongan Tuhan dalam hati kami terisi. Dan harus diakui proses yang harus dilalu untuk mengisi kekosongan itu tidak mudah, berat sekali. Tapi kami jadi memiliki komitmen bahwa tidak ada yang penting dalam hidup ini selain hidup melekat kepada Tuhan,” ungkap Heidi dan diakui Glenn bahwa lewat lagu itulah pertama kami mereka tersentuh, dan merasakan haus akan Tuhan sampai sekarang.  

Asal Mula Melayani Tuhan

Menghadirkan Tuhan secara sungguh dan memegang komitmen untuk hidup melekat kepada Tuhan, membuat jalan pengenalan akan Tuhan suami – istri ini semakin lebar. Bermula, ada keluarga mereka yang terlibat dalam satu persekutuan doa yang selalu mengundang mereka.

Sejak itulah suami – istri ini mulai kenal Firman Tuhan. Dan termotivasi untuk mencari Tuhan dengan banyak membaca Firman Tuhan, dan membaca buku – buku.  “Kami terjun dalam pelayanan, semuanya Tuhan yang atur, sekali lagi tidak instant tetapi melalui proses yang panjang,” kata Heidi.

“Sebenarnya saya dan suami melayani Tuhan adalah kami membagikan pertolongan Tuhan yang terjadi dalam hidup ini. Jadi kami melayani Tuhan adalah bentuk ucapan syukur,” papar ibu dari 4 orang anak.

Diakui Glenn – Heidi, pelayanan yang dijalani saat ini dari komunitas kecil, keluarga, kelompok anak muda yang namanya Light of Jesus Family (LOJF ) Indonesia sampai memenuhi undangan Gereja – gereja. 

“Light of Jesus Family sudah berkembang, dan rencananya akan buka di Surabaya. Ini komunitas katolik,” cerita wanita yang keahliannya memainkan alat musik Harp, lewat berguru kepada sederet nama pakar harpis international  seperti Lieve Van Oudhesem , Manon Le compte, Lucille Brais, Sebastien Lipman, Maria Rosa Calco-Manzano, Alexandre Bonnet.

Pertolongan Tuhan

Komitmen menghadirkan dan meleka dengan Tuhan membuat suami – istri makin merasakan pertolongan Tuhan, khususnya pada waktu pandemi. Saat banyak orang terpuruk, suami – istri ini mengaku pertolongan Tuhan pada mereka makin nyata.

BACA JUGA  Tahun 2020 DKI Siap Menjadi Tuan Rumah Paskah Nasional

“Saat pandemi, puji Tuhan sekolah Harp tidak berhenti, murid – murid kami malah bertambah. Sekarang ada dari usia 5 tahun sampai dewasa. Pada waktu offline, murid kami terbatas tetapi dengan online maka murid kami sampai ke Amerika. Tetapi harus diakui tidak semaksimal kalau onsite. Puji Tuhan, selama pandemi nyata pertolongan Tuhan,” tutur duta World Harp Congress untuk Indonesia, dimana event besar para harpist dunia, yang diadakan setiap 3 tahunan.

“Selain mengajar Harp, kami waktu pandemi banyak waktu bersama, memuji Tuhan bersama dan berdoa bersama. Puji Tuhan, dimasa pandemi kami sekeluarga makin melekat kepada Tuhan. Dan, saat itu Glenn justru dibukakan jalan oleh Tuhan untuk berkarya.  Semuanya tentu karena pertolongan dan perlindungan Tuhan. Jadi kuncinya IMAN,” kata perempuan yang menempuh pendidikan musik formalnya dimulai di Institue de Musique Jaques Dalcroze Jenewa – Swiss, Trinity College of Music- London dan di Ottawa University – Kanada. 

“Selama menjalani hidup ini, di saat apapun, termasuk adanya seperti pandemi, kita harus banyak bersyukur dalam segala hal. Itu yang kami lakukan, kami harus jujur, kami tidak ada hari memberikan peluang untuk down. Tentu ini karena kami keluarga saling bergandengan tangan satu sama lainnya, termasuk memiliki banyak waktu bersama untuk memuji, menyembah dan berdoa kepada Tuhan,” ceritera Oma (nenek) dari 3 cucu ini.

Peraih sertifikat dari “Trinity College of Music” London – England ini mengingatkan, apa yang dihadapi kemarin (pandemi) harus menjadi pelajaran berharga buat umat manusia, khususnya orang Kristiani karena besar kemungkinan ke depan akan menghadapi hal yang lebih buruk lagi. 

“Tapi dengan pengalaman Covid, tentu kita harus mempersiapkan diri sejak dini, sejak masih ada waktu untuk melekat dengan Tuhan. Jadi kalau kita mengalami lagi, kita sudah lebih siap dari pada hal kemarin,” kata ibu yang merintis sekolah Harp diawal tahun 1987  dengan mulai mengajar  dari 1 murid.

Diakhir perbincangan, Glenn dan Heidi menyatakan sangat terbuka bila ada yang mau mengundang mereka untuk pelayanan. “Kami senang kalau melayani di gereja – gereja yang masih merintis, masih pergumulan jumlah jemaatnya. Intinya kami mau melayani di tempat – tempat yang jiwa – jiwanya haus dan lapar,”tutup Heidi.

Apa pendapat anda tentang post ini ?
+1
1
+1
1
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini