JAKARTA – “Jangan menghakimi” adalah kata yang sering terucap dari mulut orang terutama di kalangan orang-orang Kristen. Benarkah Alkitab mengajarkan orang Kristen tidak boleh menghakimi terutama diantara kalangan sesama orang Kristen sendiri? Mat 7:1-5 adalah bagian dari firman Tuhan yang sering dipakai untuk melarang orang menghakimi orang lain supaya mereka sendiri tidak dihakimi. Walaupun larangan dalam ayat-ayat ini sudah terkenal, tetapi makna di dalamnya, masih sering kabur (samar-samar) bagi sebagian orang. Oleh karena kurang memahaminya bagian dari firman Tuhan ini dengan baik, beberapa orang Kristen memilih untuk bersikap toleran dan permisif terhadap dosa atau kesalahan orang lain.
Ada sebagian orang yang mengatakan menghakimi orang itu sama dengan menilai orang lain itu tidak lebih baik dibandingan dengan dirinya. Bukankah hal itu tidak adil dengan membuat penilaian terhadap seseorang dalam satu aspek yang buruk tetapi mengabaikan aspek yang lain yang lebih baik dalam diri orang itu? Bukankah kebaikan setiap manusia yang sudah berdosa itu tidak sempurna alias seringkali ada motif-motif lain dibelakang kebaikan itu dan hanya dia sendiri yang mengetahuinya? Beberapa bahkan beranggapan bahwa mereka tidak berhak untuk mengurusi atau menilai pandangan maupun sikap orang lain. Atas dasar pandangan umum inilah yang mengatakan bahwa siapa saja yang menilai orang lain berarti dikategorikan “menghakimi”. Tidak heran, seseorang yang menganggap orang lain bersalah seringkali diberi label “menghakimi”.
Benarkah larangan untuk menghakimi harus dipahami seperti itu? Bagaimana ajaran Alkitab yang benar mengenai hal ini?
Dalam zaman pasca-modernisme sekarang ini, pengaruh zaman yang begitu kuat dengan pandangan yang serba “relatif” termasuk juga pandangan mengenai moral yang menjadi relatif, bahkan didalam kebenaran pun bersifat relatif. Artinya apa yang dianggap kebenaran yang mutlak didalam Alkitab, didalam era pasca-modernisme pandangan itu tidak dianggap mutlak tetapi menjadi relatif, dimana setiap orang bisa mempunyai pandangan “yang benar” menurut masing-masing orang. Inilah pengaruh zaman yang juga sudah mempengaruhi sebagian orang Kristen, terutama di gereja-gereja Barat.
Contoh, didalam Alkitab perilaku LGBT sangat dikecam Allah sampai Allah membumi-hanguskan kota Sodom dan Gomora yang berisi kelompok orang-orang demikian. Akan tetapi apa yang terjadi pada zaman pasca-modern sekarang ini? Perilaku LGBT tidak boleh dihakimi karena dengan menghakimi berarti kita tidak mengasihi mereka; bukankah Tuhan memberikan perintah untuk mengasihi sesama manusia? Kelompok ini tidak menerima mereka dinilai karena menganggap mereka sudah dihakimi, tanpa sadar dengan berkata demikian mereka justru telah menghakimi juga orang yang menilai mereka. Bukankah mereka juga menggunakan standar ganda? Benarkah oleh karena alasan kasih, tidak diperbolehkan menilai kesalahan? Dalam kalimat lain, kalau mengasihi ya tidak usah menghakimi.
Kata “menghakimi” sering diasumsikan bahwa yang tidak menyetujui LGBT berarti tidak mengasihi mereka. Mereka memandang menyetujui sebagai wujud kasih dan ketidaksetujuan sebagai wujud kebencian atau ketidakpedulian. Konsep seperti ini jelas mengandung kekeliruan logis dan praktis dimana mereka telah terjebak pada kekeliruan dilema. Tidak menyetujui dan mengasihi tidak harus dikontraskan. Penilaian terhadap satu perilaku yang salah tidak terhindarkan dan itu jangan dipertentangan dengan ketiadaan kasih; justru itulah satu wujud kasih dengan menyatakan kesalahan agar kebenaran dapat dinyatakan.
Lagipula dalam kehidupan sehari-hari kasih justru diekspresikan ketika seseorang terpaksa tidak menyetujui sikap atau keputusan orang lain yang dianggap salah dan bisa membahayakan orang tersebut. Hal yang harus dicamkan, jangan atas nama kasih lalu mengorbankan kebenaran terhadap perbuatan yang salah.
Menyalahkan pandangan orang lain seringkali dianggap sikap mencampuri urusan orang lain. Mengapa mereka berpandangan seperti ini? Itu biasanya mereka menganggap moralitas berada dalam ranah personal dan semua itu terserah kepada masing-masing orang.
Sebenarnya tidaklah sukar menemukan kesalahan cara pandang diatas sebab jika moralitas benar-benar adalah masalah personal, mengapa orang itu mengekspresikan pandangan moralnya di ranah publik (sosial media)? Kalau dia secara terbuka memberikan dukungan terhadap suatu tindakan dengan mengutarakan pendapat moral di ranah publik, tentunya dia tidak boleh melarang orang lain untuk menyikapi pandangannya. Kalau dia meyakini bahwa pandangannya benar, bukankah seharusnya dia tidak perlu kuatir dievaluasi oleh orang lain? Biarlah dia berdiskusi dengan orang yang menyalahkan dia, lalu membiarkan orang banyak untuk menilainya.
Pandangan ini memang sulit untuk diterapkan didalam kehidupan karena jika seseorang menganggap moralitas berada diranah personal, orang itu tidak berhak untuk menyalahkan orang lain yang menyalahkan dia, lantaran dia mengemukakan pandangannya misalnya di sosial media. Bukankah sikap orang lain itu masuk dalam ranah personal bagi orang itu juga? Pertanyaannya kalau dia merasa berhak untuk mencampuri karena dia sudah lebih dahulu mencampuri, itu menunjukkan bahwa moralitas tidak benar-benar-benar ada di dalam wilayah personal. Moralitas dapat dijadikan konsumsi publik apabila terjadi persentuhan kepentingan antar dua pihak yang berseberangan. Dengan demikian siapa saja yang merasa terganggu dengan sikap atau pilihan orang lain berhak untuk mencampuri sikap atau pilihan itu.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Spirit seperti ini memang sudah ada dari sejak nenek moyang manusia yaitu Adam dan Hawa dimana mereka ingin memiliki otonomi moral dalam menentukan yang baik dan yang jahat (Kej 3:6) dan tidak bergantung kepada apa yang baik dan jahat menurut Allah. Inilah kesalahan terbesar manusia pertama yang tertipu oleh iblis karena mereka sesungguhnya tidak bisa menentukan apa yang baik dan yang jahat dengan menurut standard Allah tetapi mereka menentukan menurut standard kebenaran manusia yang jelas-jelas tidak sempurna itu.
Kembali kepada perkataan Tuhan Yesus yang melarang para pengikut-Nya untuk menghakimi di Mat 7:1-5. Kata “menghakimi” dalam teks Yunani menggunakan kata krinō, yang memiliki beberapa arti seperti: menilai, membedakan, menghukum atau menghakimi. Mana arti yang benar itu tergantung kepada konteks yang ada. Apabila bernuansa negatif, kata krinō diterjemahkan sebagai: menghakimi”, dalam arti suka menyalahkan orang lain. Penafsiran yang bertanggung jawab harus menjadi pedoman utama dalam memahami larangan “jangan menghakimi”.
Konteks dari Mat 7:1-5 harus diamati dengan teliti agar tidak salah menfasirkannya. Apakah benar ayat-ayat ini mengajarkan bahwa kita tidak berhak untuk mengkritik atau menyalahkan orang kecuali kita sendiri bebas dari kesalahan? Itu berarti bahwa kita tidak boleh mengkritik sama sekali karena adakah manusia yang bebas dari kesalahan? Larangan untuk menghakimi yang dikatakan oleh Tuhan Yesus bukan berarti penilaian terhadap kesalahan orang lain itu diabaikan.
Apabila dikatakan kritikan/penilaian tidak diperbolehkan terhadap orang yang membuat kesalahan, tafsiran ini akan bertentangan dengan 2 Tim 4:2 “Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran”. Dengan meneliti bagian selanjutnya yaitu Mat 7:6, Tuhan Yesus mengingatkan untuk tidak melihat bahwa semua orang itu sama. Ada orang-orang tertentu yang demikian bebal sehingga nasihatpun tidak pantas lagi diberikan kepada mereka. Ada penilaian-penilain tertentu yang pantas diberikan kepada seseorang, tentunya dengan satu observasi dan pertimbangan yang sangat teliti seperti apa yang dikatakan oleh Tuhan Yesus pada ayat-ayat selanjutnya di Mat 7:15-23.
Secara khusus Tuhan Yesus memperingatkan para pengikut-Nya untuk berhati-hati dengan para nabi palsu. Mereka berpenampilan seperti domba tetapi sesungguhnya mereka adalah serigala yang buas (Mat 7:15). Dalam bagian ini diperlukan penilaian yang arif untuk mengetahui kepalsuan mereka sehingga penilaian kepada mereka itu dilakukan secara obyektif seperti apa yang dikatakan oleh Tuhan Yesus: “Janganlah menghakimi menurut apa yang nampak, tetapi hakimilah dengan adil” (Yoh 7:24).
Jika demikian, penghakiman seperti apa yang dilarang di Mat 7:1-5? Dalam bagian firman tersebut ada dua penghakiman yang dilarang Tuhan Yesus yaitu yang pertama adalah perghakiman yang tidak berbelas kasihan (ayat 2). Kecenderungan manusia adalah menggunakan ukuran yang berat alias tidak seimbang dalam menilai kesalahan orang lain, tanpa melihat keberadaan diri mereka sendiri seperti apa (band. Rm 2:1-3). Inilah yang disebut penghakiman yang tidak berbelas kasihan (Yak 2:12-13). Penghakiman semacam ini bukan hanya menghasilkan penghakiman terhadap diri orang lain tetapi justru juga menetapkan standard penghakiman bagi dirinya sendiri.
Penghakiman kedua yang dilarang pada bagian ini adalah penghakiman yang munafik. Manusia cenderung menganggap diri mereka lebih baik daripada orang lain sehingga mereka menilai orang lain itu lebih buruk. Orang lain dilihat lebih berdosa daripada diri mereka sehingga penghakiman mereka itu diwarnai dengan kesombongan karena ketidaksadaran apakah diri mereka lebih baik dari orang lain?
Ini seperti contoh orang Farisi yang berdoa di Bait Suci yang berkata: “Ya Allah, aku mengucap syukur kepadaMu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini” (Luk 18:11). Dibalik penghakiman yang salah ada “roh yang yang menganggap diri sendiri benar”, Itulah sebabnya Tuhan Yesus menambahkan Mat 7:3-5 (Luk 6:41-42) untuk memperjelas tentang hal ini. Kalimat “mengeluarkan selumbar dari mata saudara” (Mat 7:4), adalah jelas bahwa bukan tujuan Kristus untuk tidak saling melakukan pendisiplinan.
Sebaliknya, baik ‘pendisiplinan diri sendiri’ maupun ‘saling melakukan pendisiplinan’ dianjurkan dalam kata-kata ini. Kalimat ‘pertama-tama keluarkan balok dari matamu sendiri’ (Mat 7:5) adalah syarat utama untuk saling melakukan pendisiplinan dimana Tuhan Yesus mengajarkan pendisiplinan terhadap diri sendiri harus dilakukan terlebih dahulu.
Alkitab memberikan pedoman penting dalam bagaimana menilai orang lain. Jangan terburu-buru menilai orang hanya karena melihat penampilan luarnya saja (Yoh 7:24) tanpa melihat semua fakta yang ada seperti yang dikatakan di Ams 18:13. Kita harus bijak dalam menilai orang dengan mempertimbangkan dengan teliti berdasarkan semua fakta yang ada. Ini juga selaras dengan apa yang di ingatkan oleh rasul Paulus kepada jemaat Korintus untuk tidak menghakimi sebelum waktunya (1 Kor 4:5).
Setiap perbuatan dosa bukan hanya boleh di tegur tetapi harus ditegur. Kita bukan hanya diijinkan, tetapi bahkan diharuskan, untuk mengecam semua dosa; kecuali kita memilih untuk memberontak terhadap Allah sendiri. Ini yang disebut dengan disiplin gereja atau siasat gereja dalam menghadapi seseorang yang berbuat dosa seperti yang diajarkan oleh Tuhan Yesus di Mat 18:15-20.
Gereja mula-mula diberikan otoritas untuk menghakimi seseorang yang berbuat dosa, tentunya diawali dengan ditegur dibawah empat mata. Jika pelaku pelanggaran berat itu mengakui kesalahannya dan mau berbalik, artinya dia sudah mendapat pengampunan dari Tuhan. Apabila dia tidak mengindahkannya, maka dua atau tiga orang saksi diperlukan untuk penegasan atas kesalahannya. Jika dia tetap tidak mengakuinya, maka langkah selanjutnya persoalan ini dibawa kepada jemaat. Jika dia tetap tidak mengindahkannya, maka anggaplah dia sebagai orang yang tidak mengenal Allah. Ini adalah satu gambaran otoritas pengadilan gereja dalam menghadapi dan memutuskan satu perkara. Tuhan memberikan otoritas kepada gereja ini terlihat pada Mat 18:18-20. Ayat ini sering ditafsir secara keliru keluar dari konteks oleh sekelompok orang Kristen yang mengatakan apabila dua atau tiga orang sepakat berdoa, apalagi semakin banyak orang sehati/sepakat berdoa meminta segala sesuatu kepada Tuhan, permintaan mereka pasti akan dikabulkan oleh Bapa di surga karena apa yang mereka ikat (minta) di dunia akan terikat (dikabukan) di surga dan apa yang dilepaskan di dunia akan terlepas di surga. Ini adalah penafsiran yang tidak bertanggung jawab.
Menafsir ayat tidak boleh keluar dari konteks dan mencopot/melepas ayat itu terpisah keluar dari ayat-ayat yang lainnya. Ayat ini adalah kelanjutan dari ayat 15-17 mengenai menghakimi perbuatan dosa dalam konteks gereja. Apa yang di ikat di dunia adalah perkara kesalahan seseorang yang sedang diadili dinyatakan bersalah karena tidak mau mengakuinya sampai tahap dihadapan jemaat, maka Bapa di surgapun menyetujui bahwa benar orang itu bersalah. Dua atau tiga orang berkumpul dalam nama Tuhan berbicara mengenai minimal ada dua atau tiga orang saksi yang hadir, disitulah Tuhan juga “hadir” mengesahkan permintaan gereja akan vonis yang diberikan kepada orang itu. Gereja diberikan otoritas untuk menghakimi dan mengekskomunikasikan (mengucilkan) orang tersebut dari gereja kecuali orang tersebut mengakui kesalahannya dan mau berbalik ke jalan yang benar.
Pengajar sesat
Apabila ada ada yang mengajarkan ajaran sesat, terutama bila di sebar-luaskan lewat sosial media, apakah kita harus menanggapi dan meluruskan ajarannya? Tentu harus dinyatakan apa yang salah, di tegur dan di nasihati dengan kesabaran dan pengajaran yang benar (2 Tim 4:2). Dalam hal ini, “menghakimi” orang yang menyebarkan ajaran sesat tidak terhindarkan karena ajaran tersebut sudah di sebar-luaskan lewat sosial media yang dapat di akses oleh siapapun secara bebas diseluruh dunia.
Paulus juga menegur jemaat Korintus karena mereka sangat lambat dalam menyikapi ajaran sesat yang masuk ke dalam gereja mula-mula, dimana pengajar sesat ini menyebarkan ajaran tentang Yesus tetapi sebenarnya “Yesus” yang lain (2 Kor 11:4). Ajaran sesat adalah hal yang serius di mata Tuhan yang harus disikapi dengan cepat serta meluruskan ajaran yang salah tersebut karena ini bisa berdampak luas mempengaruhi anak-anak Tuhan terutama di era sosmed sekarang ini.
Paulus bahkan mengutuk dengan keras orang-orang yang mengajarkan ajaran sesat yang dia sebut sebagai “Injil yang lain” (Gal 1:6-9). Ajaran sesat muncul dalam berbagai bentuk, tetapi yang paling berbahaya adalah yang pengajaran yang kelihatannya mirip dengan Injil Kristus dan bahkan menggunakan nama Tuhan Yesus tetapi sesungguhnya mereka ini adalah nabi-nabi palsu (Mat 7:15-23) yang memutarbalikkan Injil Kristus. Dalam hal ini rasul Paulus menggunakan kata yang sangat keras daripada kata “menghakimi” yaitu anathema sebanyak 2x yang berarti “terkutuklah” bagi para pengajar sesat ini (Gal 1:8-9).
Tuhan Yesus juga menggunakan kata-kata keras ketika Dia mengecam para ahli Taurat dan orang-orang Farisi (Mat 23:1-36). Tuhan Yesus menggunakan 8x kata-kata “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi” atas perilaku mereka.
Lalu bagaimana dengan Tuhan Yesus dalam menyikapi para pengajar sesat? Tuhan Yesus menggunakan kata “celakalah” bagi para pengajar ajaran sesat (Mat 18:18:6-7 ; Mrk 9:42 ; Luk 17:1-2). Bahkan Tuhan Yesus mengatakan lebih baik sebuah batu kilangan diikatkan pada leher penyesat itu dan ditenggelamkan ke dalam laut, dengan kata lain menjatuhkan “hukuman mati” bagi mereka. Demikian seriusnya pengajaran sesat itu di mata Tuhan dan tidak ada kompromi bagi mereka apabila mereka tidak mau berbalik kepada ajaran yang benar, dalam hal ini penghakiman pantas dilakukan buat mereka.
Penghakiman tidak boleh berdasarkan akal dan hati nurani manusia, karena baik akal maupun hati nurani manusia sudah dikotori/dicemari oleh dosa sehingga tidak bisa dijadikan standard. Penghakiman terhadap ajaran sesat harus dilakukan berdasarkan Kitab Suci (Alkitab). Yoh 7:24 “Janganlah menghakimi menurut apa yang nampak, tetapi hakimilah dengan adil”. Menghakimi dengan adil adalah menghakimi berdasarkan otoritas Alkitab, bukan kita yang menghakimi, tetapi firman Tuhan itulah yang menghakimi orang itu.
Intinya, secara umum menghakimi tidak sama dengan menilai. Dalam budaya postmodern yang sangat diwarnai oleh relativisme, kebenaran ini perlu ditegaskan ulang. Tidak salah untuk menilai orang lain salah, asalkan hal itu dilakukan dengan benar: tidak sombong, tidak merasa diri lebih baik, dengan lemah-lembut dan penuh kasih (Tit. 3:2). Soli Deo Gloria.
Penulis : Harry Mandagi, adalah seorang pemerhati yang memiliki panggilan pelayanan untuk umat Kristiani di Indonesia lintas Sinode Gereja.