Malang – Sebentar lagi Hari Riyaya Unduh-Unduh, (Undhuh – undhuh) Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) segera tiba. Warga jemaat mulai tampak kesibukannya. Secara teologis, Hari Raya Unduh-Unduh sendiri didasarkan pada ajaran Nabi Musa kepada bangsa Israel saat menuai hasil panennya yang pertama ( Ulangan 26:1,2).
Adapun kata unduh-unduh diambil dari bahasa Jawa, unduh yang berarti memetik. Maknanya “Mempersembahkan sebagian dari hasil kerjanya dengan kerelaan hatinya kepada Tuhan”.
Perwujudan, dari makna perayaan uduh-unduh itu sendiri adalah pernyataan syukur atas kelimpahan berkat yang diterima dari Tuhan, sekaligus untuk lebih meningkatkan pengelolaan tanah sawah dimana kalau masih ada kekurangannya untuk pekerjaan yang akan datang.
Perlu diketahui, masyarakat Jawa cenderung dikenal dengan tradisi agrarisnya yang sudah berabad-abad dan kaya dengan tradisi serta adat-istiadat yang kemudian dipengaruhi peradaban Hindu, juga Islam.
Tradisi itu dapat dilihat dari sejarah, para founding father Desa Mojowarno, Jombang Jawa Timur, menganut agama Kristen, yang membuka hutan. Di Desa Mojowarno, mereka membuka hutan dan mengelola lahan pertanian.
Sejak tahun 1923 jemaat GKJW Mojowarno didewasakan di bawah pimpinan pendeta Driyo Mestoko. Jemaat yang saat itu mayoritas pekerjaannya bertani dan Sebagian lagi menjadi pegawai diberikan kebebasan untuk mengurusi diri sendiri, termasuk mengatur pelaksanaan perjalanan kehidupan jemaat untuk mencapai kebutuhan dan perkembangannya
Untuk mencapai perkembangan, baik itu pertanian dan bergereja, tidak lepas dari adat istiadat nenek moyang, tapi dalam pelaksanaannya diselaraskan dengan iman Kristen. Semisal adanya tradisi Jawa yang telah diselaraskan dengan kekristenan dan dirayakan setiap tahunnya, adalah Hari Raya Unduh-Unduh. Tradisi unduh-unduh pertamakali dimulai di Mojowarno sekitar tahun 1930.
Upacara yang sering dilaksanakan oleh para petani Kristen GKJW di Mojowarno yang berkaitan erat dengan Hari Raya Unduh-Unduh. Adapun upacara itu sebagai berikut:
Ketika akan turun mengerjakan sawah, para petani lebih dahulu mengadakan ritual yang disebut Kebet. Kata Kebet berasal dari bahasa Belanda Bidden yang artinya doa. Untuk memudahkan dalam pelafalan Jawa Gebeden maka disebut Kebetan atau yang disingkat Kebet.
Setelah selesai penanaman padi, para petani melakukan upacara Keleman. Puncaknya, saat selesai menuai hasil pertanian, diadakan upacara syukur yaitu yang dikenal “Riyaya Unduh-Unduh”.
Akan tetapi sebelum ada tata cara Kebet dan lainnya, ada keterangan yang tercantum dalam buku “Ngulati Toya Wening” bahwa dahulu kala pada jamannya Coenraad Laurens Coolen di Ngoro ada tatacara bagi petani penggarap sawah di Ngoro, diwajibkan diadakan upacara, memuji Tuhan dan berdoa meminta pertolongan Sang pencipta. Bila tidak terlebih dahulu memuji Tuhan dan berdoa memohon pertolongan Sang Pencipta, tidak diperkenankan turun mengarap sawah.
Pada zaman itu, upacara dimulai dengan tuan CL. Coolen turun ke sawah terlebih dahulu untuk menjalankan bajak sambil memuji Tuhan dan berdoa memohon pertolongan Sang Pencipta dalam mengerjakan sawah sampai selesai. Setelah Coolen selesai melagukan tembang sambil membajak, barulah para petani turun beramai-ramai mengerjakan sawah secara gotong-royong sambil melagukan tembang seperti yang diajarkan Coolen.
Salah seorang pendiri Desa Mojowarno adalah tangan kanan CL. Coolen yang bernama Kyai Ditrotuno, yang memiliki nama baptis Kyai Abisai Ditrotuno. Sebagai orang pertama yang dibaptis di Mojowarno oleh Pdt. JE. Jellesma bersama 55 orang lainnya,pada 8 Desember 1848 dengan nostmbuk 377. Ya, inilah sekelumit cerita sejarah Hari Riyaya Unduh-Unduh GKJW.
Dwi Bambang Irianto. Penulis adalah seorang pemerhati dari lingkungan GKJW. Juga seorang pegiat media sosial.