Pdt. Dr. S. Tandiassa

Yogyakarta – Setelah merayakan usianya yang ke 100 tahun, Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) memasuki babak baru dalam sejarahnya. Di dalam babak baru ini, GPdI berhadapan dengan dunia baru, budaya baru, tradisi-tradisi baru, konsep-konsep ilmu pengetahuan dan teknologi baru, pola berpikir baru, dan juga generasi baru. Singkatnya, setelah melewati waktu seratus tahun, GPdI memasuki sebuah era yang benar-benar berbeda samasekali, sebagai akibat dari perubahan-perubahan yang terjadi di dalam seluruh dimensi kehidupan masyarakat.   

Sayangnya, masih banyak pemimpin senior GPdI tampaknya tidak cukup siap menghadapi arus perubahan dan pembaharuan zaman. Secara mental masih banyak pemimpin senior GPdI tidak cukup kuat menerima kenyataan, yaitu perubahan dalam seluruh dimensi kehidupan masyarakat, termasuk perubahan-perubahan di dalam gereja. Akibatnya perubahan pola berpikir dan gaya hidup, serta perubahan budaya secara global dicurigai sebagai tanda-tanda degradasi spiritual atau langsung difokuskan dengan memaknainya sebagai tanda-tanda akhir zaman. Di sisi lain Sumber Daya Manusia (SDM) dari sebagian besar pempin GPdI tidak cukup memadai untuk bisa beradaptasi dengan dinamika perubahan zaman.

Sebagai kompensasi dari ketidaksiapan secara mental dan lemahnya SDM sebagian pemimpin umat di GPdI dalam menghadapi tuntutan perubahan zaman, adalah konflik. Para senior menuduh kaum Junior sudah keduniawian, sebaliknya kaum Junior menganggap para senior ketinggalan zaman, kuno, dan tidak bisa menyesuaikan diri. Selanjutnya terbentuk pula kelompok-kelompok dalam gereja atas dasar kesamaan idologi, kesamaan status sosial, kesamaan kepentingan, kesamaan etnis, dan kesamaan-kesamaan lainnya. Keberadaan kelompok-kelompok ini pada gilirannya bermuara pada konflik.

Menghadapi realitas dunia di era baru ini, GPdI dituntut untuk ‘bangun’ dan melakukan penyesuaian, perubahan, pembaharuan, penataan, dan bahkan perombakan dalam semua jenjang dan dimensi organisasi. Tanpa mengesampingkan kuasa Allah, GPdI tidak akan dapat berkembang atau bertahan dengan tetap mempertahankan gaya leadership, paradigma, mentalitas, dan pola berpikir yang lama, terlebih lagi jika modal SDMnya masih tetap sama seperti lima – sepuluh tahun yang lalu.

Reformasi:

Istilah yang paling tepat digunakan untuk memulai babak baru sejarah GPdI ini adalah REFORMASI GPdI. Jika GPdI ingin tetap eksis, berkembang dan bertumbuh secara dinamis, dan ingin meraih hasil dan prestasi yang lebih besar daripada masa lalu, serta bisa berdampak terhadap dunia masa kini, tidak ada pilihan lain bagi GPdI kecuali mereformasi diri.

Selain dari itu, harus menyadari pula bahwa GPdI berada di dalam satu era yang di dalamnya terjadi kemajuan dan perubahan begitu cepat dan terus menerus.

Untuk itu, GPdI harus mampu mendayagunakan sarana-sarana sains dan teknologi yang canggih saat ini tersedia, harus bisa mengikuti dan menyesuaikan diri dengan dinamika perubahan zaman, harus cepat mengapgrade SDM para pemimpinnya, harus terbuka pada pemikiran-pemikiran dan budaya-budaya baru, dan membuang perasaan superioritas spiritual. 

Reformasi Visi-Misi

Di dalam konteks era baru, setelah berusia seratus tahun, lalu menginjak tahun pertama pada tahun 2022, pertama-tama yang harus direformasi GPdI, dalam pengertian direformed – dibentuk kembali, diperbaharui, diubah, atau dikonep kembali adalah Visi dan Misi. 

BACA JUGA  Menyongsong Mubes GPdI, Maret 2022 GPdI Mencari Pemimpin Berkualitas

Ungkapan yang lebih tegas, reformasi harus dimulai dari Visi-Misi. Reformasi Visi-Misi tidak hanya bertujuan untuk membuat sebuah Visi – Misi yang berbeda dari yang pernah ada dalam sejarah GPdI – andai pernah ada. Mereformed dan mereformasi Visi-Misi tidak sekedar untuk memenuhi formalitas organisasi, dan juga tidak hanya menciptakan kalimat-kalimat yang sensasional agar memiliki daya tarik.  Visi-Misi GPdI perlu direformed dan direformasi karena:

1.      Menyangkut identitas diri gereja. Visi-Misi membuat GPdI sadar siapa dan apa dirinya, apa tugas dan fungsinya di dalam dunia masa kini.  

2.     Untuk mengembalikan GPdI ke dalam  bingkai Visi – Misi abadi Allah.  

3.     Untuk menyatukan arah pandang para pelayan GPdI ke satu sasaran dan satu tujuan, sebagaimana Visi – Misi  abadi Allah.  

4.     Untuk membuat relevan antara apa yang dikerjakan, diperjuangkan, dan ditawarkan GPdI dengan apa yang dibutuhkan dunia masa kini.    

5.     Visi-Misi sangat erat kaitannya dengan pengelolaan organisasi  dan kepemimpinan GPdI. Visi-Misi menjadi pemandu, penunjuk arah, dan juga berfungsi sebagai rambu-rambu bagi semua pembuat keputusan organisasi GPdI, mulai dari tingkat pusat sampai ke tingkat gembala-gembala jemaat. Tanpa konsep Visi-Misi, program-program, kebijakan-kebijakan, dan orientasi pelayanan GPdI pasti akan melenceng.   

6.     Visi-Misi memberi makna dan nilai pada semua aktivitas pelayanan dan pengabdian yang dilakukan GPdI. Tanpa Visi-Misi, semua yang dilakukan gereja: perjuangan, pengabdian, pelayanan, pengorbanan, dan jerih lelah, tidak akan memiliki makna dan nilai apa-apa. 

Era Reformasi:

Tahun 2022, sebagai awal dari babak baru sejarah GPdI, merupakan TIMING atau waktu yang paling tepat untuk memulai gerakan Reformasi GPdI. Disebut  waktu yang tepat karena:

Pertama: Selama seratus tahun, GPdI dapat dikatakan belum pernah melakukan perubahan apapun baik di bidang organisasi, sistem menejemen, bidang doktrin atau konsep teologia,  bidang pendidikan, mau pun bidang-bidang lainnya. Akibat-nya GPdI tampak sangat monoton, cenderung ortodoks, sehingga mengalami  ketertinggalan.  

Kedua: Tahun 2022 menjadi Timing untuk reformasi GPdI, karena tahun tersebut merupa-kan tahun pertama setelah GPdI genap berusia tepat satu abad pada tahun 2021.   

Ketiga: Bahwa tahun 2022 diposisikan sebagai Timing untuk memulai gerakan Reformasi GPdI, karena tahun tersebut bertepatan dengan waktu penyelenggaraan MUBES dan MUSDA-MUSDA, dalam hal ini adalah pemilihan atau penggantian kepemimpinan GPdI mulai dari tingkat pusat sampai ke tingkat daerah.

Dengan adanya penggantian pemimpin-pemimpin tersebut, diharapkan para pemimpin baru akan mampu menggunakan  moment 2022 sebagai satu tonggak dalam sejarah GPdI untuk memulai sebuah gerakan reformasi demi mengangkat kembali reputasi GPdi, dan demi kemajuan GPdI di masa depan.     

Akan tetapi perlu disadari pula bahwa Reformasi GPdI tidak akan selesai dalam waktu hanya beberapa bulan, atau dalam hitungan satu-dua tahun. Reformasi adalah sebuah proses yang  harus diupayakan, diperjuangkaan secara terus menerus, tanpa batas waktu. Selain itu, sebagaimana lazimnya di dalam setiap gerakan reformasi baik di dunia sosial maupun di lingkup keagamaan, reformasi GPdI tahun 2022 membutuhkan sosok-sosok hamba Tuhan yang sudah mengalami pencerahan pikiran, mampu berpikir maju, cerdas, idealis, dan kritis  serta siap secara mental untuk membayar harga sebuah reformasi.

BACA JUGA  Ketum dan Sekum GPdI, Ikut Tanggungjawab BLK yang Ada Kata “BARESKRIM”? 

Reformasi GPdI 2022, seperti halnya pengalaman dalam gerakan-gerakan reformasi lainnya di bidang apapun,  akan berhadapan dengan kelompok-kelompok yang pro status quo atau yang merasa diri sudah aman dan nyaman. Kelompok-kelompok ini akan merasa gerekan perubahan atau reformasi akan mengganggu kemapanan dan kenyamanan  yang selama ini mereka nikmati.

Tantangan Reformasi:

Perlu untuk disadari ketika gerakan reformasi sedang berjalan (berlangsung), akan ada penghianatan dari oknum-oknum yang berpikiran kerdil dan yang berorientasi pada materi. Para penghianat reformasi biasanya adalah oknum-oknum dari dalam yang opor-tunis. Mereka bisa tega menghianati sahabatnya demi meraih kedudukan dan jabatan. Sahabat bisa berubah menjadi musuh, kawan dekat bisa berubah menjadi lawan.

Reformasi di dalam bidang apapun, memang bukanlah satu pekerjaan yang ringan dan mudah. Harga yang harus dibayar sangat mahal. Pengorbanan yang harus diberikan tidak hanya materi tetapi juga harga diri dan bisa jadi juga nyawa. 

Begitupun  untuk melakukan reformasi di dalam GPdI tentu bukanlah sesuatu yang mudah. Kita seakan berhadapan dengan sebuah banteng raksasa yang sudah berusia 100 tahun. Benteng raksasa itu terdiri dari berbagai sistem, budaya, tradisi, karakter, dan paradigma berorganisasi kuno yang sudah mendarah daging selama satu abad.  

Juga tentu akan berhadapan dengan kelompok status quo atau kemapanan secara ekonomi, mereka merasa sudah nyaman dan aman dengan kondisi kekinian. Tetapi jika kita benar-benar memiliki rasa tanggung jawab moral terhadap GPdI, kita harus siap menghadapi segala situasi, siap membayar harga dan berkorban demi merealisasikan Visi-Misi GPdI 2022.

Visi-Misi tidak dapat terealisasi dengan sendirinya, bahkan jika itu adalah Visi-Misi dari Allah. Visi-Misi adalah mandat Ilahi kepada gereja yang harus diperjuangkan gereja itu sendiri. Dalam memperjuangkan Visi-Misi GPdI 2022 ini,  marilah kita merenungkan  dan menghayati  prinsip yang sudah lazim ini:  Kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Dan kaitkanlah prinsip ini dengan pernyataan agung Yesus bahwa: Selagi hari masih siang kita wajib mengerjakan pekerjaan Allah.

Pdt. Dr. S. Tandiassa. Penulis adalah seorang dosen Sekolah Tinggi teologia Intheos, Surakarta. Juga seorang penulis buku Teologi dan Populer, sudah 12 judul buku. Dan sebagai Ketua Majelis Daerah (MD) Gereja Pantekosta di Indonesia, Daerah Istimewa Jogjakarta

Apa pendapat anda tentang post ini ?
+1
2
+1
0
+1
1
+1
0
+1
0
+1
2
+1
2

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini