Jakarta – “Tantangan gereja saat masa pandemi, mengurai kemiskinan di daerah”, tema yang diangkat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) dalam webinar, Senin (22/3/2021), yang digelar secara daring melalui Zoom dan kanal Youtube GMKI Channel.
Pada kesempatan itu, Ketua Umum (Ketum) Sinode Gereja Protestan Maluku (GPM) yang baru terpilih, Pdt. Elifas Tomix (ET) Maspaitella mengungkapkan adanya pandemi Covid-19 tidak mengalangi GPM untuk terus melakukan kegiatan dalam rangka pemberdayaan umat.
“Memberikan pemahaman Covid-19 itu ada dan harus diputus penyebarannya serta mengajak jemaat menerapkan protokol kesehatan. Kami mengingatkan kepada umat bahwa protokol kesehatan adalah tindakan iman dan hikmat. Tindakan iman adalah kita harus memelihara hidup supaya kita bisa memelihara hidup orang lain yang dianugerahkan Tuhan. Tindakan hikmat bahwa adalah wujud dari orang baik dan cerdas,” urainya.
Kegiatan – kegiatan dalam rangka pemberdayaan umat itu, ditegaskan Pdt. ET Maspaitella, telah dilakukan sejak awal pandemi Covid-19 melanda. Yang dilakukan, menanggulangi dampak sosial maupun ekonomi jemaat dengan meningkatkan pelayanan diakonia secara kreatif dan trasformatif. “Kami juga menganjurkan jemaat ke kebun untuk mengolah lahan dengan menanam pangan lokal. Kemudian melakukan sharing dengan jemaat di perkotaan, sehingga hasilnya bisa dijual dan menjadi sumber pendapatan,” tegasnya.
Selain itu, Pdt. ET Maspaitela mengurai dimana GPM juga menangani dampak sosial lain, seperti menghapus stigma sosisal negatif bagi yang terkena Covid-19 dengan membentuk Komunitas Penyembuh/Pulih (Healing Community) berbasis jemaat.
Ke depan, Pdt. ET Maspaitella mengatakan GPM telah mencanangkan kedaulatan pangan lokal sebagai simbol ketahanan ekonomi mandiri lewat 5 cara. Pertama, penguatan pusat produksi pangan lokal. Termasuk mendorong kultur bertani asli dalam bentuk kolaborasi setiap keluarga. Kedua, membentuk jaringan pemasaran dengan berkolaborasi bersama pemerintah. Dalam hal ini berhubungan dengan dukungan infrastruktur perhubungan ekonomi.
Ketiga, penataan jalur dan arus distribusi potensi pangan lokal agar petani dan nelayan merasakan dampak langsung dari kerjanya/lahan dan potensi kelautannya. Keempat, pembangunan industri pengolahan bahan pangan lokal berbasis daerah produksi. Dalam hal ini harus mendapatkan dukungan listrik, air bersih dan tekonologi pengolahan. Kelima, peningkatan keterampilan vokasi melalui jalur informal (BLK Komunitas) maupun formal.
Pdt. ET Maspaitella, menuturkan hal itu dilakukan karena melihat fakta “kemiskinan” di Maluku dan Maluku Utara berkaitan dengan 3 faktor yaitu faktor struktural, kultural dan spiritual.
Berbeda tempat pelayanan tentu juga berbeda cara untuk melayani. Seperti GPM melayani di daerah Maritim, dimana daerah laut lebih besar dari daratan, tentu memiliki tantangan tersendiri. Begitupun dengan Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) yang melayani daerah dimana lebih luas daratan.
Ketua Sinode GKST, Pdt. Jetroson Rense, mengungkapkan untuk melayani dipedesaan tentu memiliki tantangan tersediri. Itu sebabnya GKST melakukan pemetaan untuk melayani pedesaan, dengan memberi nama 4 daerah yang sulit dengan sebutandaerah pekabaran Injil khusus. “Daerah ini betul-betul dalam keadaan yang sulit,” ungkapnya.
Ketua Sinode GKST, Pdt. Jetroson Rense (Foto : dok. Ist)
Namanya daerah Pekabaran Injil Khusus, GKST harus diperlakukan dengan khusus. Termasuk harus meminta klasis yang sudah kuat secara ekonomi untuk bermitra dengan daerah khusus tersebut.
“Misalnya, klasis di daerah khsusus ditopang 4 klasis yang secara ekonomi sudah kuat. Klasis ini membantu di bidang pembangunan gereja, pertanian, pendidikan. Termasuk di situasi pandemi ini, 4 klasis ini terus memikirkan langkah apa yang harus dilakukan,” ungkapnya.
Di sisi yang lain, GKST terus berupaya membangun dialog dengan pemerintah. Sebab, daerah – daerah yang masuk dalam pekabaran Injil khusus ini salah dikarenakan belum tersedianya sarana maupun prasarana jalan yang layak.
Pdt. Jetroson Rense, memberikan contoh, satu daerah yang dikunjunginya. Harga bahan bakar minyak, khususnya bensin mencapai Rp 30 ribu/botol. Sebaliknya, harga jual hasil pertaniannya dijual murah karena tidak tersedianya jalan yang layak.
Fakta – fakta itu, kata Pdt. Jetroson Rense, GKST tidak henti – hentinya berbicara—diskusi dengan pemerintah untuk supaya pemerintah menyediakan, memenuhi sarana dan prasarana, termasuk akses jalan yang layak.