Jakarta – Menjelang Sidang Majelis Sinode Am (MSA) dan Sidang Sinode Am Gereja Protestan di Indonesia (GPI), GPI menggelar webinar sebanyak 4 seri. Seperti pada seri pertama yang diadakan, Rabu (23/6/2021), mengambil tema “Memperkuat Komitmen Keesaan dan Kemandirian Gereja Menghadapi Konteks Kekiniaan: Kajian Historis-Teologis.”
Para narasumber terdiri dari Pdt. Prof. Dr. Samuel B. Hakh (Badan Penasihat GPI), Pdt. Dr. Ridel Gosal (Dosen UKIT Tomohon), Pdt. Elifas Maspaitela (Ketua Sinode GPM), Pdt. Dr. Margie Ririhena (Pendeta GPIB), dengan moderatgereja or Pdt. Henrek Lokra (Komisi Teologi PGI).
Dalam pengantar, Ketua Umum BPH MSA GPI, Pdt. Dr. Liesje A Sumampouw berharap webinar ini dapat memberikan masukan yang konstruktif dalam merumuskan pokok pikiran GPI 5 tahun ke depan. Sehingga kehadiran GPI di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk semakin dirasakan.
Pdt. Dr. Liesje A Sumampouw. (Foto: istimewa)
Sementara itu, Pdt. Samuel Benjamin (Badan Penasihat GPI) menjelaskan tentang sejarah lahirnya GPI dan perkembangan serta perjalanan GPI hingga saat ini.
Kemudian, Pdt. Margie (Pendeta GPIB) menceritakan perjalanan GPIB. Menurutnya, gereja perlu menjadikan sejarah untuk memasuki arena konstruktif berteologi yang relevan dalam konteks kekinian.
“Kaitannya menggereja bersama GPI dalam konteks kekinian, gereja perlu merumuskan diri dalam menjawab konteks yang ada, bahkan dalam perubahan masif yang terjadi,” katanya.
Pdt. Margie menjelaskan gereja perlu menjadi sahabat yang ramah demi mengupayakan jejaring kerjasama melalui beberapa bentuk dalam rangka kohesi sosial untuk lebih bersahabat. Caranya dengan mencari titik temu antara landasan kohesi melalui dialog antar iman dan interspiritual gereja “sadar konteks.”
“Model konstuksi teologis dan eklesiologis yang bersifat triumfalistik, tidak lagi relevan bagi kehidupan gereja dan masyarakat modern yang cair. GPIB dan anggota GPI sejatinya mengembangkan diri sebagai ecclesia docens (gereja yang mengajar) sekaligus sebagai ecclesia discens (gereja yang belajar). Belajar dari saudara maupun agama lainnya di sekitarnya,” urainya.
Gereja yang cair, kata Pdt. Margie adalah gereja yang melampaui dogma triumfalistik yang sekian lama cenderung dihidupi banyak gereja. “Maka itu peran ekumenis GPI dapat dijalankan dengan menjadi dirinya selaku ‘ruang terbuka’ yang mempertemukan secara interkultural juga interreligius, gereja-gereja anggota GPI sebagai saudara yang sesungguhnya seperti perumpamaan pokok anggur,” jelasnya.
Katanya lagi, dalam fungsi kritis, gereja terlibat dalam kritik ideologi. Sedangkan dalam fungsi konstruktif, gereja menggumuli dan mengusulkan model-model inovatif. “GPI masih sangat dibutuhkan sebagai perekat, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari gereja mandiri sebagai ibu yang menyatukan anak-anak,” ungkapnya.
Pdt. Elifas Maspaitela (Ketua Sinode GPM) dalam pemaparannya menjelaskan tentang keesaan gereja. Menurutnya, keesaan dan kemandirian, merupakan dua sisi dalam eklesiologi yang menunjukkan gereja menyejarah dalam masyarakat dan berelasi dengan semua ciptaan. Hal itu berjalan seiring perubahan zaman atau platform peradaban yang berkembang di muka bumi.
“Di GPM, awalnya hanya memandang keesaan hanya hubungan antar denominasi gereja. Tapi ketika dihadapkan pada konflik kemanusiaan tahun 1999, pada sidang sinode 2005-2010, GPM secara berani melakukan lompatan teologi untuk mengatakan bahwa saudara agama lain adalah bagian sesama manusia,” katanya.
“Dan kita terpanggil bukan hanya meng-esa membangun kesatuan dengan warga gereja tapi juga meng-esa kepada seluruh umat manusia tanpa membedakan agama,” lanjut Pdt. Maspaitela.
Ketua Sinode GPM Pdt. E.T. Maspaitela. (Foto: istimewa)
Pdt. Maspaitela mengungkapkan ketika diperhadapkan pada krisis lingkungan tahun 2011, GPM melakukan “koreksi” ulang mengenai oikumene. “Oikumene harus dibangun terhadap atau dengan ciptaan Allah yang lain. Karena itu penghuni bumi dalam pengertian oikos, bukan hanya manusia tapi seluruh ciptaan Allah,” ungkapnya.
Lebih jauh, gerakan oikumene dalam gereja pun harus masuk dalam isu-isu kemanusiaan, lingkungan atau sosial. Ini penting diperhatikan agar oikumene bukan hanya sebagai relasi struktual (sesama sinode).
“Kesatuan gereja harus diwujudkan dalam peran sosial di tengah masyarakat dan lingkungan hidup. Koinonia transformatif ini lebih bersifat kolaboratif, bagaimana gereja berkolaborasi dengan umat beragama yang lain, pemerintah, elemen sosial, untuk menjalankan tanggung jawab bersama di muka bumi terhadap lingkungan, dan problem-problem lainnya,” katanya.
“Saya kira GPI butuh waktu untuk merenungi hal-hal ini, juga beberapa masukan yang disampaikan supaya kita bisa menata langkah ke era yang baru ke dalam kehidupan bergereja,” tambah Pdt. Maspaitela.
Sebagai informasi, saat ini GPI memiliki 12 Gereja Bagian Mandiri yaitu: GMIM, GPM, GMIT, GPIB, GPIBT, GKLB, GPID, GPIG, GPIBK, GPI-Papua, IECC dan GERMITA.