JAKARTA – Umat Kristiani, khsusunya pembaca MITRA INDONESIA, yang berada di Jakarta pasti pernah melihat merek Gereja dengan singkatan GKJ. Pada umumnya pembaca MITRA INDONESIA mengenal singkatan GKJ adalah Gereja Kristen Jawa. Ups, GKJ yang berada di Jakarta, bukan Gereja Kristen Jawa saja, ada juga Gereja aliran Injili yang bernama Gereja Kristen Jakarta.
Awal berdirinya Gereja Kristen Jakarta (GKJ) tidak lepas dari adanya perantau – perantau suku Tionghoa (HAKA) dari Kalimantan Barat, yang beragama Kristen. “Perantau dari Kalimantan Barat yang ada di Jakarta, profesinya bermacam – macam tetapi kebanyakan waktu itu penjahit,” tutur Djana Yusuf, Ketua Umum GKJ kepada media ini.
Beberapa orang dari perantau suku Tionghoa (HAKA) yang beragama Kristen, pada 20 Februari Tahun 1965 bersepakat membentuk Persekutuan Doa (PD) dengan menggunakan Bahasa HAKA dan Mandarin. “Pada 20 Februari Tahun 1965 dilihat dan dirasa perlu oleh para perantau dari Kalimantan Barat membentuk PD yang berbahasa HAKA. Jadi memang GKJ ini latarbelakangnya selain Mandarin, HAKA,”kata Djana Yusuf
PD pertama kali, (20 Februari 1965) digelar di Jl Jembatan 5, Gudang Arang. Lama kelamaan PD itu “diminati” oleh rekan – rekan perantau dari Kalimantan—tempat digelarnya PD tidak dapat menampung lagi karena makin banyak yang ikut.
“Orang makin banyak yang ikut, khususnya dari Suku Tionghoa (HAKA), membuat tempat di Gudang Arang sudah tidak dapat menampung. Masih ditahun 1965, cari – cari tempat, dapat pinjaman di Jl. Kartini Raya yaitu milik GKPI,”.
Seiring berjalannya waktu, ada rumah tua yang disebut – sebut rumah angker—rumah “berhantu” yang dijual dengan harga “murah”. Pengurus PD akhirnya membeli rumah tua tersebut, beralamat di Jl. Kartini 5 No. 16 C untuk dijadikan tempat ibadah.
Rumah yang dibeli di Jl. Kartini 5 No 16, dijadikan tempat ibadah HUT ke 1, tepat pada 20 Februari tahun 1966. Fakta menunjukkan rumah tempat PD para perantau dari Kalimantan Barat ini sudah tidak dapat menampung yang hadir berjumlah sekitar 150 jiwa.
Pengurus PD membentuk panitia untuk membangun rumah ibadah di Jl. Kartini 5 No 16 C agar umat Tuhan yang ikut PD semuanya tidak sampai ikut beribadah dari jalan depan rumah tersebut.
“Namanya masih rumah, pasti ruanganya terbatas, orang beribadah waktu itu sampai membludak. Pada saat itu pengurus berusaha membangun tempat ibadah, tetapi dana yang diperlukan tidak sedikit, waktu itu kami akui kesulitan dana,”ungkapnya.
Djana Yusuf, mengatakan untuk membangun tempat ibadah yang kelak diberi nama Gereja Kristen Jakarta, telah melahirkan ceritera 3 cangkir teh. Bermula ceritera itu dari sesama panitia mendengar ada seorang pengusaha beragama Kristiani suka membantu orang, apalagi untuk pembangunan Gereja. Panitia menugaskan tiga orang panitia untuk menemui orang kaya dengan harapan mendapatkan bantuan pembangunan tempat beribadah. Sementara itu, panitia yang lain menunggu di tempat ibadah yang ada di Jl. Kartini 5 No 16 C.
Tiga panitia itu tiba di rumah seorang pengusaha. Saat itu kebetulan yang menerima ketiga orang panitia itu adalah pengusaha itu sendiri. Tiga orang panitia pembangunan mendapatkan sambutan hangat dari pengusaha kaya tersebut, “Silahkan duduk, saya tinggal dulu karena ada urusan yang harus diselesakan,” kata pengusaha ditirukan Djana Yusuf.
Pihak panitia tentu tidak dapat “menahan”, dan akhirnya hanya bisa mengiyakan. Tentu hanya bisa berharap apa yang dikerjakan oleh pengusaha tersebut bisa dengan segera selesai—agar panitia juga dapat segera bertemu dengannya.
Saat pengusaha itu pergi meninggalkan ketiga orang panitia di ruang tamu, Asisten Rumah Tangga (ART) menyuguhkan teh. Ketiga orang panitia minum perlahan—sopan agar ketika pengusaha ikut bergabung dalam pertemuan itu teh nya belum habis.
Tapi apa yang terjadi? Gelas teh pertama habis, pengusahanya belum juga menemui panitia. ART kemudian mengganti dengan gelas kedua. Teh yan ada di gelas kedua sudah mau hampir habis, pengusahanya belum juga menemui ketiga orang panitia. Sambil berbincang – bincang ketiga orang panitia pembangunan, bertanya kepada ART “Tuan masih sibuk?” jawab ART, “Masih sibuk, kata tuan tunggu,”.
ART melihat teh yang ada di gelas kedua sudah habis, diberikan gelas ketiga yang juga masih berisi teh. Sampai teh di gelas ketiga sudah mau habis, pengusahanya belum juga menemui panitia yang ada di ruang tamu. Melihat gelagat dan sudah terlalu lama menunggu, ketiga orang panitia pembangunan ijin pamit.
“Pada waktu itu, tidak tahu alasannya kenapa ART bukan refill atau isi ulang teh di gelas yang pertama, melainkan setiap gelas teh sudah kosong, gelasnya diambil dan diganti dengan gelas baru yang sudah terisi teh. Kelamaan menunggu, ketiga orang panitia pulang dengan saling berkata bahwa belum berkat,” ceritera Djana Yusuf.
Ketiga orang panitia pembangunan tersebut balik kanan menuju tempat Jl. Kartini 5 No 16 C—untuk menyampaikan hasil pertemuannya kepada teman – teman panitia pembangunan yang sudah menunggu.
Ketiga orang panitia pembangunan menyampaikan dengan sedih bahwa untuk membangun Gereja tidak bisa bergantung kepada orang kaya melainkan harus bergantung, bersandar dan berharap kepada Tuhan. “Ceritera ini menghiasai perjalanan sejarah GKJ,”papar Djana Yusuf.
Pengalaman 3 cangkir teh itu menjadi pengalaman dan pelajaran berharga dalam perjalanan GKJ—bahwa GKJ tidak “dibangun” karena minta – minta kepada manusia tetapi karena berharap dan bersandar serta meminta kepada Tuhan. “Itu sebabnya, GKJ dalam kebutuhan apapun tidak akan pernah meminta kepada orang di luar, semuanya dari jemaat untuk Tuhan. Untuk itu GKJ memiliki semboyan, Swadaya, Swatantra dan Swasembada,” terang Djana Yusuf.
GKJ yang ada di Jl. Kartini 5 No 16 C tadinya Gereja lokal. Seiring berjalannya waktu, mulai buka cabang pertama di Bandengan, buka lagi di Jl. Tambora Jembatan 5, dan di Sunter, serta di Muara Karang, kemudian di Ampera.
Adanya perkembangan itu, Gereja di Jl. Kartini 5 No 16 C tidak disebut lagi Gereja lokal tetapi menjadi Gereja pusat. “Melalui pertimbangan kebutuhan dan lain sebagainya maka dibentuklah Sinode pada tahun 1975. Sebelum menjadi Sinode GKJ, sudah terlebih dahulu, tepatnya tahun 1965 dicatatkan sebagai Yayasan Gereja Kristen Jakarta. Kebutuhan menjadi Sinode itu juga karena ada aturan bahwa Gereja tidak boleh di bawah Yayasan,”
Ditanya apakah GKJ, akan buka di kota – kota besar di Indonesia, Djana Yusuf, tegas menjawab tetap konsisten dengan nama GKJ yaitu di Jakarta. “Jadi sampai sekarang GKJ masih pada prinsip namanya yaitu GKJ di Jakarta. Adanya perkembangan Wilayah di Jakarta, banyak orang pindah ke Cibinong, Tangerang ataupun Cikarang. Mau tidak mau kita harus membuka pos dan juga mendewasakan pos – pos yang ada di Jabodetabek—tapi di Jakarta Selatan kami belum punya cabang atau Pos. Kalau di Tangerang kami memiliki 4 Gereja cabang, Cibinong 1 Gereja cabang, dan di Cikarang 1 Gereja cabang,”.
Bicara soal membuka pos pelayanan atau Pos Penginjilan (PI) diurai Djana Yusuf di GKJ ada ketentuan, untuk pos jemaat bisa didewasakan bila sudah memiliki 120 jemaat dewasa, dan memiliki kemampuan financial serta Sumber Daya Manusia (SDM). “Kemarin baru kita dewasakan Pos PI yang di Cikarang menjadi Gereja,”paparnya.
Diungkap Djana Yusuf, bila di satu daerah ataupun kota ada banyak umat GKJ tetapi di tempat itu sudah ada Gereja Tionghoa maka GKJ tidak akan membuka pos atau cabang. Seperti di Harapan Indah, Bekasi dan di Depok, banyak orang Tionghoa dari HAKA, tetapi karena ada banyak Gereja Tionghoa maka GKJ tidak masuk.
“Kita ini namanya GKJ, zaman bisa berubah, untuk itu saya tidak bisa klaim bahwa GKJ hanya akan ada di Jabodetabek, takutnya setelah pengurus yang baru (bukan saya) lalu memiliki kebijakan lain, “terangnya.
“Prinsip saya, untuk apa bikin Gereja baru tetapi sama dengan Gereja yang sudah ada di kota tersebut? Bagi saya, lebih baik kami membantu gereja yang ada, itu lebih baik. Sebab kita bukan mau bangun kerajaan keluarga tetapi bangun kerajaan Surga,” tegasnya dan berkata sampai sekarang GKJ itu ada16 cabang di Jakarta, sebagian besardalam ibadah menggunakan bahasa Indonesia dan diterjemahkan dalam bahasa HAKA.
Struktur Organisasi dan “Pemerintahan GKJ”
GKJ memiliki struktur organisai yang unik. Kenapa unik? Organisasi GKJ yang harus menjadi Ketua Umum tidak boleh seorang pendeta tetapi harus kaun awam.
“Saya jemaat di GKJ Sesion City, saya ini awam, pengusaha. Saya sebagai majelis Gereja lokal dengan menjabat Ketua Departemen Pembinaan. Kalau di GKJ, Ketua Majelis Jemaat Gereja lokal awam, kalau gembalanya harus pendeta,” ungkapnya.
Ditambahkan oleh Djana Yusuf, yang boleh menjabat Ketua Sinode di GKJ, sesuai Anggaran Dasar harus awam, Pendeta tidak boleh. Alasannya agar supaya pendeta konsentrasi pada pemberitaan firman dan doa, tidak urus teknis perkembangan organisasi, seperti ke pemerintah atau membuka cabang.
Masa tugas Ketua Sinode di GKJ, dijelaskan Djana Yusuf, saat ini 4 tahun dan hanya diperbolehkan 2 periode berturut – turut. Bila ada keinginan dari pemegang hak suara untuk seorang yang sudah 2 periode memimpin maka harus jeda (berhenti) satu periode.
“Saya terpilih menjadi Ketua Sinode 2010 – 2014, dan 2014 – 2018. Aturan di GKJ seorang Ketua Sinode hanya bisa dijabat 2 perode berturut – turut. Bila ingin jadi Ketua lagi maka harus ada jedah satu periode. Saya jedah satu periode lalu terpilih lagi di tahun 2022 – 2026,”.
Djana Yusuf mengatakan saat ini menjadi periodenya yang terakhir sebagai Ketua Umum GKJ. Pasalnya, ada aturan di GKJ usia maksimum pada saat dipilih umur 65 tahun. Saya harus pension diakhir masa jabatan karena usia. Saya sebelum menjabat sebagai Ketua Umum, lama bertugas sebagai Departemen Pembinaan,”ungkapnya dan membuka.
Djana Yusuf saat ini selain menjabat sebagai Ketua Umum GKJ, juga menjabat sebagai Ketua Yayasan Misi HAKA Indonesia. “Kemarin saya mengantar tamu dari Malaysia, Sekjen (Sekum) HAKA dunia mengunjungi Indonesia. HAKA di dunia ini kalau menurut data, ada lebih dari 100.000.000 orang,” tutupnya.