Digitalisasi pelayanan gereja di era new normal
Ilustrasi digitalisasi pelayanan gereja

JAKARTA – Pandemi Covid-19 telah membuat banyak lini kelimpungan, termasuk gereja. Dari hasil riset yang dilakukan Bilangan Research Centre (BRC) dimasa pandemi ini banyak gereja yang tidak siap dengan digitalisasi pelayanan.

Hal tersebut diungkap CEO Frontier Group, Ketua BRC Handi Irawan dalam acara Zoominar Temuan Survei Nasional dari BRC tentang “Realita Digitalisasi Pelayanan Gereja Selama Pandemi Covid-19” Selasa (23/6/2020) malam.

Handi Irawan mengungkapkan meskipun banyak gereja yang tidak siap, tapi dapat beradaptasi dengan cepat selama 3 bulan dalam masa pandemi Covid-19. Ini dibuktikan dengan hasil temuan bahwa sebelum pandemi, gereja yang memiliki komisi/departemen digital hanya 41,5% tapi setelah 3 bulan jumlah gereja yang memiliki komisi/departemen digital angkanya naik menjadi 64%.

Dalam risetnya, BRC menggunakan survei kuantitatif dengan metode pengumpulan data secara online. Sedangkan responden terdiri dari para hamba Tuhan yang berada di Jabodetabek, Jawa, luar Jawa dan berasal dari 3 aliran gereja yaitu Mainstrem, Injili, Pantekosta/Kharismatik.

Handi menjelaskan sebelum pandemi sebanyak 36% gereja belum memiliki komisi/departemen digital dan sebanyak 22,5% gereja baru membentuk komisi/departemen digital setelah pandemi Covid-19.

BACA JUGA  Seruan GBI Bagi Umatnya Untuk Pilpres dan Pileg

Jika dilihat dari aliran, gereja Mainstream merupakan aliran yang paling banyak tidak memiliki komisi/departemen digital sebelum pandemi Covid-19 yaitu sebesar 41,3%, sedangkan Injili 42,4% dan Pantekosta/Kharismatik 25,3%.

Handi menjelaskan antara sprititualitas dengan kesiapan gereja melakukan digitalitasi pelayanan memiliki hubungan yang erat. Dari sisi spiritualitas jemaat, dari hasil temuan BRC sebanyak 36% jemaat mengalami kenaikan, 26,4% sama saja, 14,8%mengalami penurunan dan 22,5% tidak tahu.

Di sisi lain, Handi menjelaskan dari pengukuran digital mindset dan perilaku digital terbentuk 4 segmen hamba Tuhan yaitu Ignorant 28,3%, Reactive 47,2%, Climber 17,1% dan Savvy 7,3%.

Dilihat lebih dalam aliran gereja, hamba Tuhan di aliran Mainstream sebanyak 33,1% Ignorant, 49,7% Reactive, 14,4% Climber dan 3,1% Savvy. Sedangkan aliran Injili sebanyak 28,6% Ignorant, 49,8% Reactive, 15,3% Climber dan 6,4% Savvy. Aliran Pantekosta/Kharismatik 24,2% Ignorant, 42,9% Reactive, 21,2% Climber dan 11,6% Savvy.

BACA JUGA  Pdt. Markus Sudarji Tidak Menolak Dicalonkan Ketua BPD GBI DKI di Sidang MD Mei 2023

Sementara itu, Ketua Umum PGI Pdt. Gomar Gultom dalam kesempatan berbeda menjelaskan gereja mau tidak mau harus melek teknologi untuk melayani umat. “Gereja disadarkan bahwa pandemi menyadarkan bahwa dunia digital menjadi basis pelayanan gereja saat ini. Pandemi ini juga mengajarkan kita melakoni hidup dengan menanggalkan segala aksesoris formalistik,” katanya dalam sebuah acara beberapa waktu lalu.

Meskipun, lanjut Pdt. Gomar Gultom saat ini masih banyak pimpinan gereja yang melihat ibadah online sebagai sebuah ancaman untuk kehidupan gerejawi. Alasannya, hilangnya esensi persektuan. “Selama ini ada kegamangan di lingkungan gereja. Layanan online dinilai akan menggerus nilai persekutuan yang bertumpu pada perjumpaan badan (fisik). Gereja identik dengan persekutuan dan persekutuan itu identik dengan pertemuan ragawi,” ungkap Pdt. Gomar. (NW)

Apa pendapat anda tentang post ini ?
+1
6
+1
1
+1
0
+1
0
+1
0
+1
0
+1
1

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini