Harry Mandagi dan Istri ( Susan Mandagi )

JAKARTA –  Amanat Agung menjadi titik tolak bagi gereja – gereja besar untuk membuka gereja (baru) di daerah – daerah termasuk yang sudah ada banyak gereja. Konteks dari Amanat Agung Tuhan Yesus Kristus, adalah pergi memberitakan Injil atau kabar baik kepada yang belum pernah mendengar kabar baik. Bukan sekedar menjadi orang percaya tetapi membina kerohanian mereka menjadi murid Kristus. 

Bila ada orang yang membuka gereja baru di lingkungan (Desa/Kelurahan) yang sudah ada banyak gereja, perpindahan jemaat dari satu gereja ke gereja yang baru tidak terhindarkan. Inilah yang sering disebut orang sebagai “memancing ikan di kolam orang”.  Itu kalau ditinjau dari sisi negatif. 

Tidak dapat dipungkiri ada gereja yang gagal membina jemaat menjadikan murid Kristus karena pengajaran yang kurang memadai dari pembimbingnya. Apabila gereja yang baru merintis tersebut diperlengkapi dengan pengajaran yang sehat dan bertanggung jawab serta dapat membina jemaat bertumbuh secara rohani, tidak ada salahnya terjadi perpindahan jemaat dari gereja lain dan ini bisa dianggap positif.  

Tapi apapun alasannya kalau membuka gereja baru di satu lingkungan yang telah ada gereja aliran yang sama maka kembali kepada apa dibalik motivasi melakukan itu. Ini diperlukan penilaian secara objektif, bukan berdasarkan perasaan atau pandangan yang subyektif.

Akibat dari pengajaran yang berpusat kepada diri sendiri, maka apa yang dikejar bukan lagi jiwa – jiwa untuk diselamatkan tetapi jiwa – jiwa yang dapat “dimanfaatkan” untuk kepentingan pribadinya. Jangan heran kalau hari – hari ini banyak pendeta, gembala atau hamba Tuhan yang life style nya menampilkan kemewahan—gaya parlente, tidak sesuai jatidirinya lagi. Yang lebih celaka lagi jemaatnya disimpangkan kepada ajaran yang berpusat kepada manusia (kepentingan pribadi), bukan berpusat kepada Allah yang menjadi inti ajaran Kristen (Rm 11:36). 

Gaya hidup hamba Tuhan yang mewah—hidup parlente memang tidak berdosa. Sekali lagi menggunakan barang mewah itu tidak berdosa tapi ini hal yang tidak sesuai dengan etika yang kristiani.

Biasanya, pendeta – pendeta yang gaya hidupnya tidak sesuai dengan jatidiri seorang Pendeta, Gembala atau Hamba Tuhan, menjadikan alasan bahwa berkat yang digunakan adalah pemberian jemaat. Lagi – lagi tidak ada yang salah tapi itu membuat jemaat yang hidup bersahaja merasa ada jarak yang terbentang jauh dengan sang hamba Tuhan tersebut.

BACA JUGA  Yesus sang Penebus dari Bangsa Yahudi, Bukti Bangsa Israel ( Yahudi ) "Menjadi Istimewa"

Paulus pernah berkata misalnya memakan makanan yang dianggap haram oleh sebagian orang, tidaklah berdosa tetapi apabila melakukannya dihadapan “orang yang lemah imannya” (percaya ada makanan tertentu yang haram) dan bisa membuat orang tersebut tersandung, maka jangan melakukannya dihadapan mereka. Ini dimaksud dengan etika yang sesuai ajaran Alkitab.

Kembali kepada gaya hidup Pendeta, Gembala atau Hamba Tuhan. Banyak orang berpendapat apakah boleh Pendeta, Gembala atau Hamba Tuhan memiliki gaya hidup mewah? Hidup mewah secara lahiriah tidaklah berdosa tetapi apakah dengan berbuat demikian bisa menjadi batu sandungan bagi orang lain atau bagi jemaatnya sendiri? Ini juga yang pernah dikatakan Paulus bahwa segala sesuatu diperbolehkan tetapi tidak semua itu berguna dan tidak semua itu membangun (1 Kor 10:23). Hal ini masuk dalam ranah etika, bukan boleh atau tidak boleh tapi apakah membawa dampak yang baik atau buruk, berguna atau tidak berguna, apakah membangun jemaat atau malah sebaliknya?

Pada umumnya fenomena munculnya  “pastors in style” ini dilatar belakangi oleh theologi yang mengutamakan hal-hal lahiriah sehingga jemaatnya berpandangan jika memberi lebih banyak, Tuhan akan memberkati dengan berlimpah. Bukankah prinsip ini mirip dengan orang berdagang? Prinsip dagang diterapkan menjadi relasi yang “bertransaksi” dengan Tuhan. Bukankah ini menjadikan Tuhan “berhala” yang bisa disuruh untuk memuaskan keinginan pribadi?

Membeli barang mewah tidak dipermasalahkan apabila misalnya seorang hamba Tuhan mampu membeli kendaraan khusus yang cukup mahal untuk digunakan pelayanan ke desa-desa terpencil yang sulit dijangkau dengan kendaraan biasa karena medan yang berlumpur tebal atau berbatu-batu. Selama hamba Tuhan tersebut benar-benar menggunakan kendaraan tersebut untuk kepentingan pelayanan yang sangat sering ke daerah yang kondisinya seperti demikian, tentu tidak ada salahnya. Tetapi sebaliknya jika ada hamba Tuhan yang membeli mobil mewah untuk digunakan pelayanan di kota besar yang jalanannya mulus, maka ini sikap yang tidak bijaksana dan secara etika tidak baik.

Apakah Perpuluhan dan Persembahan itu salah, karena telah membuat Pendeta, Gembala atau Hamba Tuhan, hidup mewah dan melewati perihal kepatutan dan kepantasan (etika) kekristenan sesuai alkitab? 

Tidak ada yang salah dengan jemaat memberikan persepuluhan—bahkan diharuskan seperti pada Matius 23:23  agar segala kebutuhan gereja dapat tercukupi sehingga dapat melayani jemaat dengan baik.

BACA JUGA  Paradoks Natal : Datang untuk Mati Supaya Hidup

Bagaimanapun juga jemaat harus dididik untuk ikut ambil bagian dalam menopang pekerjaan Tuhan. Di sini organisasi Gereja, termasuk Pendeta, Gembala atau Hamba Tuhan perlu kebijakan dalam mengatur pengelolaan keuangan dengan bijaksana agar dapat digunakan tepat sasaran dan semuanya bagi kemuliaan Tuhan. Pengelolaan persembahan yang baik tentunya ditangani oleh suatu tim yang terdiri dari beberapa orang bukan perseorangan.

Bagaimana dengan persembahan yang diberikan langsung kepada gembalanya? Ini kembali lagi kepada aturan yang dibuat dalam suatu gereja apakah persembahan dikelola oleh tim atau oleh perorangan? Idealnya dikelola oleh suatu tim dan penggunaannya diputuskan bersama oleh tim tersebut, tidak oleh satu orang. 

Selain itu, persembahan tersebut sebaiknya dimasukkan kedalam kas gereja karena apabila tidak hal itu bisa berpotensi membuat hamba Tuhan mempunyai gaya hidup mewah yang menjadikannya kurang elok ditinjau dari sudut pandang etika Kristen.

Akan tetapi ada hal yang perlu disadari oleh jemaat adalah menyelidiki dengan  seteliti mungkin kepada siapa persembahan tersebut diberikan karena itu wujud tanggung jawab kepada Tuhan dalam mengelola keuangan. Semua yang ada pada kita adalah milik Tuhan yang Tuhan percayakan untuk dikelola dengan baik, artinya kita adalah bendaharanya Tuhan dan bertanggung jawab langsung kepada-Nya sebagaimana mandat yang Tuhan berikan kepada Adam untuk mengusahakan dan memelihara Taman Eden. Jangan kita berdalih boleh memberikan kepada hamba Tuhan siapa saja dan lepas tanggung jawab kepada hamba Tuhan tersebut apabila persembahan itu disalah gunakan termasuk digunakan untuk kepentingan pribadi hamba Tuhan tersebut. Tidak! Itu adalah tanggung jawab utama si pemberi kepada Tuhan atas persembahan tersebut. 

Bila hal – hal di atas dapat diterapkan, niscaya gaya hidup mewah yang ditampilkan para hamba Tuhan dapat di minimalisir.

Penulis : Harry Mandagi, adalah seorang pemerhati yang memiliki panggilan pelayanan untuk umat Kristiani di Indonesia lintas Sinode Gereja.

Apa pendapat anda tentang post ini ?
+1
0
+1
0
+1
1
+1
0
+1
0
+1
0
+1
1

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini