JAKARTA – Badan Pengurus Harian (BPH) Gereja Bethel Indonesia (GBI) menyelenggarakan seminar keluarga dalam rangka Puncak Bulan Keluarga GBI tahun 2018, Selasa (26/06/2018), di Grha Bethel Indonesia, di Jl. Ahmad Yani, Jakarta Pusat, dengan tema “GBI Berperan Aktif dalam Pendampingan Bencana (krisis) pada Keluarga Anak dan Remaja”.
Pembicara dalam seminar ini, Ketua I, yang membawahi pembinaan keluarga di BPH GBI, Pdt. Dr.dr. Dwidjo Saputro, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Dr. (Cand) Siti Hikmawatty, S. ST, M.Pd dan moderatornya, Pdt. dr. Josafat Mesach, M.Th.
Juga tampak hadir, Ketua Departemen Teologia GBI Pdt. Hengky So, Ketua DPA GBI Joel Manalu dan Bendahara Umum GBI Pdt. Ir. Suyapto Tandyawasesa.
Pada awal, moderator, Pdt. dr. Josafat Mesach, M.Th, membuka dengan mengungkapkan data yang dimilikinya bahwa saat ini bencana dalam keluarga semakin dekat. Semakin banyak anak dan keluarga terpapar dengan kejadian hidup yang menimbulkan trauma. “Data statistik menunjukkan angka kejadian kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) makin meningkat, angka perceraian juga makin meningkat. Kejadian KDRT terhadap perempuan yang tercatat pada tahun 2017, adalah 335.062 kasus (96,16%). Kejadian terhadap anak dalam keluarga/pengasuh alternatif berdasarkan laporan kepada Komisi Perlindungan Anak selama 7 tahun terakhir adalah 18.57% dari seluruh jumlah kekerasan pada anak (26.954 kasus),” katanya.
Setelah mengungkapkan data, Pdt. dr. Josafat Mesach, M.Th, memanggil para pembicara untuk mengambil tempat di depan dan langsung memberikan kesempatan kepada Dr. (Cand) Siti Hikmawatty, S. ST, M.Pd untuk memaparkan materinya berjudul “Perlindungan Anak dan Keluarga Terhadap Kekerasan di Indonesia”.
Menurut Siti, anak korban kekerasan berpotensi dua kali lipat melakukan kekerasan ketika mereka dewasa. Kekerasan juga berdampak kepada minimnya prestasi anak. “Lalu apa yang harus kita lakukan? Kasih itu yang bisa mengobati, itulah inti dari semua persoalan yang terjadi,” tegasnya dan berkata sistem perlindungan kepada anak ada tiga elemen yaitu pertama sistem kesejahteraan sosial bagi anak dan keluarga, kedua sistem peradilan dan ketiga sistem perubahan perilaku sosial. “Masalah ini semua element bangsa harus terlibat, masyarakat, pemerintan dan orangtua,” paparnya.
Sedangkan Pdt. Dr.dr. Dwidjo Saputro, mengatakan apa yang dijelaskan Dr. (Cand) Siti Hikmawatty, S. ST, M.Pd, memperlihatkan kondisi dunia tidak makin baik. “Di semua jenis kekerasan terus meningkat, dan yang paling meningkat itu korban kekerasan kepada anak secara fisik dan seksual,” paparnya
Sebagai hamba Tuhan Pdt. Dr.dr. Dwidjo Saputro, bertanya, apa betul perintah Tuhan itu memprofokasi manusia melakukan kekerasan? Kalau itu tidak, lalu kenapa sampai anak harus menjadi korban kekerasan fisik dan seksual.
Tambahnya, sebenarnya yang harus dilindungi adalah otak, sebab kalau otaknya baik maka perilakunya baik. “Hukum yang pertama dari ALLAH adalah kasih. Kemudian, Yesus mengulanginya dengan berkata hukum pertama adalah mengasihi kepada Tuhan dan kedua mengasihi kepada sesama. Otak itu memang diciptakan untuk mengasihi. Kalau kita mengasihi maka anak akan lebih berani dan lebih pintar. Tapi faktanya, anak itu menjadi korban kekerasan fisik dan seksual. Siapa yang salah? Menurut data, perempuan lebih tinggi perhatiannya kepada anak. Kalau lihat ini, yang salah adalah para pria, para suami. Memang laki-laki itu ngomong tok, kok. Anaknya gak di urus,” tegasnya dan menjelaskan memang Allah menciptakan laki-laki duluan. Tapi juga para perempuan juga harus mengerti karena perempuan itu diciptakan untuk menolong pria.
Kata Pdt. Dr.dr. Dwidjo Saputro, kembali soal otak, kalau otak ruwet maka semuanya akan ruwet, tapi kalau otak penuh kasih maka semuanya akan kasih alias damai. “Kasih itu yang mewarnai semua hukum Allah, maka otak ini menjadi otak yang luar biasa, otak yang luar biasa itu otak yang pintar, pintar cari kesalahan orang lain, cari celah, itu otak setan. Kalau otak orang pintar itu otak yang penuh kasih,” jelasnya dan mempertegas, Otak mulai tercemar ketika ada dosa. Sejak ada dosa, mulai ada kekerasan di rumah tangga. Kekerasan itu bentuk nyata melawan Tuhan, menyembah setan.
Pdt. Dr.dr. Dwidjo Saputro, berkata, alkitab tidak hanya berpesan pria dan wanita harus saling mencintai tetapi juga berpesan kekerasan itu dibenci oleh Tuhan. Ingat! Perceraian itu juga sebagai bentuk kekerasan. “Perceraian itu bukan hal yang bijaksana. Jika suami-istri adalah pengikut Kristus maka penyelesaiannya adalah pertobatan dan rekonsiliasi. Ini pentingnya konseling,” tandasnya dan menambahkan kekerasan harus dilawan dengan pertobatan dan pengampunan.
Usai acara, digelar konfrensi pers yang dihadiri Badan Pekerja Harian GBI seperti Ketua Umum, Pdt. Japarlin Marbun, Ketua Pembinaan Wilayah Pdt. Ferry H Kakiay, Bendahara Umum GBI Pdt. Ir. Suyapto Tandyawasesa, M.Th, Pdt. dr. Josafat Mesach, M.Th, dan Pdt. Dr.dr. Dwidjo Saputro dan sebagainya.
Dalam penjelasannya, Pdt. Japarlin Marbun mengatakan GBI memiliki konsentrasi penuh pada keluarga. Untuk itu, GBI membentuk Pokja keluarga unggul supaya keluarga bisa menemukan jalan keluar ketika menghadapi sebuah masalah. “Kalau kita lihat manusia diciptakan untuk menikah. Baca kitab Kejadian. Jadi, pernikahan itu adalah keindahan karena sesuai rencana Tuhan. Tetapi faktanya pernikahan banyak berakhir dengan tidak baik. Dalam konteks itulah kita perlu menolong sehingga jemaat dapat membangun keluarga yang baik,” tegasnya.
Pdt. Ir. Suyapto Tandyawasesa, M.Th dalam menambahkan, bulan keluarga GBI bukan hanya sebuah gerakan sesaat melainkan gerakan yang akan dilakukan terus menerus. “Kami berharap gerakan ini akna menular ke sinode-sinode lain,” katanya. (Suratinoyo)
Emang mantap kontennya. Semangat min untuk sering-sering
update. saya diam-diam baca dan share tiap kontenmu lho.
Baru sempet baca postingan ini hari ini, dan ternyata kontennya menarik banget.
Kayaknya aku akan sering mampir di mari, semangat update
terus kontennya ya min.